Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.
Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.
Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.
Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Mengutarakan Niat
“Ayah…” panggil Eliana pelan begitu ayahnya mendekat, dengan penuh hormat ia segera mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Tatapan ayah Eliana tajam meneliti putrinya, lalu beralih pada sosok pria asing di sampingnya. “Siapa dia, El?” tanya ayahnya datar, suaranya mengandung wibawa yang membuat suasana ruang tamu seketika terasa tegang.
Revan yang sejak tadi menahan degup jantungnya, langsung maju setapak. Ia tidak mau terlihat ragu. Dengan cepat ia mengulurkan tangan. “Selamat siang, Pak. Saya Revan” Suaranya terdengar mantap meski jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya.
Ayah Eliana menerima uluran tangan itu dengan wajah tetap dingin. Tidak ada senyum, hanya genggaman singkat namun kuat.
“Ayo, masuk dulu. Kalian pasti lelah.” Suara lembut ibu Eliana memecah ketegangan. Beliau memberi isyarat agar mereka duduk. Kemudian ibu Eliana meminta bibi untuk menyiapkan minuman.
Begitu semua duduk, ayah Eliana langsung melontarkan pertanyaan pada putrinya.
“Tumben, El. Biasanya kalau pulang selalu sendiri atau bersama Nadia. Tapi sekarang, kamu pulang dengan seorang pria.” Wajah ayah Eliana tetap dengan raut datar.
Eliana hanya diam. Ia ingin melihat reaksi Revan, apa yang akan pria itu katakan. Eliana bertekad, jika Revan berani jujur dan mengatakan apa yang seperti Revan katakan padanya, maka ia akan menerima pria itu.
Sementara itu, perasaan Revan benar-benar tidak karuan. Ia sudah terbiasa menghadapi berbagai macam klien dengan sifat berbeda, tetapi kali ini terasa lain. Seolah nyawanya berada di ujung tanduk. Namun, ia tak boleh gentar. Ia harus ingat niat awalnya datang menemui orang tua Eliana.
“Maaf, Pak, Bu, jika kedatangan saya membuat kalian terkejut. Sebelum menyampaikan maksud kedatangan saya, izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Revan, Revan Dikta Wijaya,” ucapnya tegas.
Mendengar nama ‘Wijaya’, ayah Eliana sempat terdiam. Ada sesuatu dalam benaknya, seolah mengingat sesuatu. Tapi ia menganggapnya hanya kebetulan.
“Maksud kedatangan saya ke sini... saya ingin melamar putri Bapak dan Ibu,” ujar Revan lancar dan mantap.
Ruangan seketika hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Ayah dan ibu Eliana saling berpandangan.
“Benarkah, El?” tanya ibunya memastikan.
“benar Bu,” jawab Eliana.
“Kalau Bapak dan Ibu setuju, InshaAllah besok malam keluarga saya akan datang ke sini, untuk melamar secara resmi. Dan dua hari setelah itu, kami akan melangsungkan pertunangan di kota,” lanjut Revan, berusaha tetap tenang.
“Secepat itu?” Ayah Eliana mengernyitkan dahi. “Jangan-jangan hubungan kalian sudah terlalu jauh?”
“Tidak!” jawab Eliana dan Revan bersamaan
Ayah Eliana menyandarkan tubuhnya ke kursi, pandangannya penuh selidik. “Lalu kenapa harus buru-buru? Mengapa tidak seperti orang kebanyakan, berkenalan lebih dulu, saling menilai, baru memutuskan?”
Revan menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Ia berusaha tetap tenang. Hatinya penuh pergulatan. "Haruskah aku jujur? Bagaimana jika orang tua Eliana menolak? Tapi aku tidak boleh berbohong. Apa pun keputusan mereka, aku akan berusaha meyakinkan."
Dengan penuh keyakinan, Revan menceritakan pada Pak Ridwan dan Bu Fatma persis seperti yang sebelumnya ia ceritakan kepada Eliana.
“Jadi…” suara berat Pak Ridwan terdengar, “…kamu melamar putri saya hanya karena calon tunanganmu sebelumnya kabur?” Tatapannya tajam menusuk Revan.
Revan segera menggeleng. “Tidak, Pak. Memang pertunangan yang diatur Mama saya batal karena calon itu pergi. Tapi sungguh, niat saya pada Eliana bukan untuk menjadikannya pengganti. Saya serius dengan anak Bapak dan Ibu. Saya yakin, dialah yang tepat untuk saya.”
Pak Ridwan belum puas. “Bagaimana jika suatu saat calon yang kabur itu kembali, lalu ibumu memaksa kamu melanjutkan hubungan dengan dia?”
Revan menjawab mantap. “Saya pastikan itu tidak akan terjadi. Saya tidak akan kembali padanya. Saya sudah menemukan orang yang benar-benar saya inginkan, dan itu Eliana.”
Kini giliran Bu Fatma yang angkat suara. “Kenapa kamu bisa begitu yakin? Apa kalian pernah saling mengenal sebelumnya?”
Revan menarik napas panjang, lalu menjawab dengan tenang.
“Kalau bertemu langsung sebelumnya memang tidak pernah, Bu. Tapi saya ingat betul, suatu pagi saat perjalanan menuju kantor, saya melihat seorang gadis yang dengan beraninya menolong seekor kucing yang hampir tertabrak. Entah kenapa, saat saya memikirkan perihal keadaan yang saya alami, saya teringat kembali pada kejadian itu. Saya lalu berdo'a kepada Tuhan, kalau memang gadis itu adalah jodoh saya, semoga dimudahkan untuk bertemu dengan nya. Saya tidak tahu siapa dia, tidak tahu harus mencari ke mana, tapi do'a itu yang membuat saya yakin. Dan siangnya, do'a itu langsung terjawab. Saya bertemu Eliana, meski dengan cara yang tidak terduga.”
Pak Ridwan langsung menoleh pada putrinya. “Benar itu, El?”
Eliana menunduk, wajahnya memerah. “Benar, Yah. Kami bertemu tanpa sengaja, waktu El habis berbelanja. El tidak sengaja menabrak revan.”
Suasana hening. Pak Ridwan dan Bu Fatma saling bertatapan, seolah berbicara dengan mata. Lalu Pak Ridwan berdiri. “Bu, ayo ikut bapak sebentar.”
Mereka meninggalkan Revan dan Eliana di ruang tamu. Revan berusaha duduk tenang, meski keringat dingin mengalir di pelipisnya. Eliana sendiri hanya bisa berdo'a dalam hati agar keputusan orang tuanya adalah yang terbaik.
Di ruang belakang, Pak Ridwan menghela napas panjang. “Bagaimana menurutmu, Bu?” tanya pak Ridwan kepada istrinya.
Bu Fatma menimbang. “Melihat gelagatnya, dia sungguh-sungguh. Kalau tidak serius, dia bisa saja berbohong. Terlihat jelas dari setiap kata-kata nya, dan Eliana pun terlihat menerimanya.”
Pak Ridwan mengangguk. “Ayah juga berpikir begitu. Hanya saja, semuanya terjadi begitu cepat. Kita perlu menguji keseriusannya.”
“Uji bagaimana, Pak?” tanya Bu Fatma.
“Nanti Ibu akan tahu,” jawab Pak Ridwan, lalu mengajak istrinya kembali ke ruang tamu.
Saat kembali, Pak Ridwan menatap Revan dengan tenang. “Kami salut dengan keberanianmu. Tidak banyak orang berani bicara jujur sepertimu. Tapi… kami masih butuh bukti. Bagaimana kami bisa yakin kamu serius dengan putri kami?”
Revan menunduk hormat. “Pak, Bu… saya benar-benar serius. Jika Bapak dan Ibu masih ragu, saya siap melakukan apa saja untuk membuktikannya.”
Pak Ridwan terdiam, ia juga bingung bukti seperti apa yang dia inginkan. Tapi Revan mendahului. “Sebagai bukti, saya akan memberikan sebagian saham perusahaan saya untuk Eliana. Anggap saja itu sebagai mahar pernikahan kami kelak.”
Suasana kembali hening. Pak Ridwan dan Bu Fatma sama-sama terkejut. Mereka tidak menyangka Revan akan mengucapkan hal sebesar itu.
Eliana spontan bersuara, “Re… apa itu tidak berlebihan?” Suaranya bergetar.
Revan menatapnya lembut. “Tidak, El. Aku yakin dengan keputusanku.”
Pak Ridwan menoleh pada istrinya, dan Bu Fatma pun mengangguk pelan. Keputusan besar itu cukup menjadi tanda kesungguhan Revan. “Baiklah,” kata Pak Ridwan akhirnya. “Kalau begitu, kami terima niatmu.”
Senyum lega terukir di wajah Revan. Eliana ikut tersenyum tipis sambil menunduk.
Hari sudah beranjak sore. Revan berpamitan pulang. “Pak, Bu, terima kasih banyak atas penerimaan kalian. InshaAllah, besok malam setelah Isya, saya akan datang bersama keluarga untuk melamar secara resmi.”
“Kami akan menunggu,” jawab Pak Ridwan.
Revan pun melangkah keluar, diantar oleh Eliana dan kedua orang tuanya hingga halaman depan. Namun, baru saja ia hendak pergi, tiba-tiba terdengar suara ceria dari arah pagar.
“Eh, ada tamu!” seru Rosa, adik Bu Fatma, yang baru saja datang bersama putrinya, Sela.
Sela menatap lekat-lekat pada Revan. Senyum manisnya langsung tersungging, matanya berbinar penuh rasa kagum. Tampan sekali… siapa dia?