NovelToon NovelToon
Suami Setengah Pakai

Suami Setengah Pakai

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

Teriakanku menggema di seluruh rumah, memecah keheningan malam yang menyesakkan. Tak sampai sepuluh detik, pintu kamarku didobrak terbuka. Ayah masuk lebih dulu, disusul Ibu dan Mas Danu yang berlari dari ruang tamu. Wajah mereka pucat pasi, dipenuhi kepanikan.

"Ada apa, Arini?!" seru Ayah.

Pandangan mereka lalu jatuh pada pemandangan di lantai: aku yang terduduk syok, dengan tubuh Kak Binar yang terkulai lemas di pangkuanku.

"BINAR!" jerit Ibu, suaranya melengking histeris. Ia menghambur ke arah kami, mencoba mengangkat kepala putrinya. "Sayang, bangun, Nak! Jangan takutin Ibu!"

Mas Danu adalah yang paling cepat menguasai diri. Dengan gerakan sigap, ia berlutut di sampingku, memeriksa denyut nadi di leher Kak Binar. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras.

"Nadinya lemah. Kita harus bawa dia ke rumah sakit. Sekarang!" perintahnya, suaranya tegas dan tidak terbantahkan.

Tanpa menunggu persetujuan, ia dengan hati-hati mengangkat tubuh Kak Binar. Begitu ringan, seolah tak berbobot. Aku melihat wajah kakakku dari dekat. Pucat seperti kertas, dengan jejak air mata yang mengering di pipinya. Matanya terpejam rapat. Ia tampak begitu damai, kontras dengan kekacauan yang baru saja ia ciptakan.

"Arini, ambil tas Kakakmu! Cepat!" bentak Ibu, menarikku dari lamunan bekuku.

Aku bergerak seperti robot. Otakku terasa kosong, tidak mampu memproses apa pun. Aku menyambar tas tangan Kak Binar di atas meja riasnya, mengambil kunci mobil, dan mengikuti mereka keluar. Seluruh kejadian itu terasa sureal, seperti aku sedang menonton sebuah adegan sinetron yang tragis.

Perjalanan ke rumah sakit adalah neraka senyap. Mas Danu menyetir dengan kecepatan tinggi, matanya lurus menatap jalanan tapi pikirannya jelas tidak di sana. Ibu duduk di kursi belakang, memangku kepala Kak Binar sambil terus-menerus merapalkan doa dan sesekali terisak pilu. Ayah di samping Mas Danu hanya bisa memijat keningnya, gumamannya terdengar seperti penyesalan yang tak berujung.

Dan aku? Aku duduk di kursi penumpang paling belakang. Terasing. Tak terlihat. Aku bisa merasakan tatapan tajam Ibu dari kaca spion tengah. Tatapan yang menyalahkan. Tatapan yang seolah berkata, 'Ini semua salahmu.'

Di unit gawat darurat, Kak Binar langsung dibawa masuk ke ruang tindakan. Pintu putih itu tertutup di depan kami, menjadi penghalang yang memisahkan kami dari nasibnya. Kami berempat terduduk di kursi tunggu yang dingin dan keras. Aroma antiseptik yang tajam memenuhi udara, bercampur dengan aura kecemasan dari keluarga pasien lain.

"Ini semua gara-gara kamu," desis Ibu tiba-tiba, memecah keheningan. Ia tidak menatapku, tapi kata-katanya ditujukan lurus ke jantungku. "Kalau saja kamu tidak egois. Kalau saja kamu mau mengerti perasaan kakakmu!"

"Sudah, Bu. Jangan mulai," tegur Ayah pelan, suaranya lelah.

"Kenapa jangan mulai, Yah? Ini kenyataannya!" balas Ibu, suaranya meninggi. "Binar itu rapuh! Dia sudah cukup menderita karena penyakitnya, kenapa adiknya sendiri harus menambah bebannya? Apa salahnya berkorban sedikit demi kebahagiaan saudaranya sendiri?"

Aku menunduk, menatap ujung sepatuku. Aku tidak punya tenaga untuk berdebat. Setiap kata Ibu terasa seperti cambukan, menanamkan rasa bersalah semakin dalam di benakku.

"Bukan begitu caranya, Bu," Mas Danu akhirnya angkat bicara. Suaranya rendah dan berat. "Jangan menyalahkan Arini. Ini... ini salah saya. Saya yang seharusnya bisa menguatkan Binar, bukan malah ikut menyeret Arini ke dalam masalah kami."

Aku mengangkat kepala, menatapnya dengan terkejut. Sebuah pembelaan? Dari orang yang paling tidak kuduga?

Tapi Ibu tidak terima. "Kamu terlalu baik, Danu! Jelas-jelas Arini yang memancing emosi Binar. Ibu dengar sendiri tadi dia bicara soal cerai. Dia pasti sudah putus asa karena penolakan adiknya!"

Setiap menit terasa seperti satu jam. Jarum jam di dinding seolah berdetak mengejek penderitaanku. Setiap kali pintu ruang tindakan terbuka, kami semua serempak menoleh dengan penuh harap.

Setelah penantian yang terasa seperti selamanya, seorang dokter muda keluar. Wajahnya tampak lelah tapi tenang.

"Keluarga Nyonya Binar?"

Kami berempat serempak berdiri. "Kami, Dok," jawab Mas Danu cepat. "Bagaimana kondisi istri saya?"

Dokter itu tersenyum tipis. "Kondisinya sudah stabil. Pasien hanya mengalami syok berat akibat tekanan psikologis yang ekstrem, ditambah kelelahan fisik. Tensi darahnya sempat turun drastis, itu yang menyebabkan beliau pingsan. Kami sudah memberinya infus dan penenang. Sebaiknya beliau dirawat inap satu atau dua hari untuk observasi."

Kami semua menghela napas lega. Tapi perkataan dokter selanjutnya kembali menjadi senjata bagi Ibu.

"Saran saya, untuk sementara waktu, tolong jauhkan pasien dari sumber stres," lanjut dokter itu. "Kondisi psikisnya sangat mempengaruhi kesehatan fisiknya saat ini. Beliau butuh ketenangan dan dukungan penuh dari keluarga."

Setelah dokter itu pergi, Ibu langsung menatapku. Tatapannya lebih tajam dari pisau. "Kamu dengar itu? Sumber stres! Itulah kamu, Arini! Kamu adalah sumber penyakit kakakmu!"

"Ibu, cukup!" kali ini suara Ayah meninggi. "Kita di rumah sakit! Jaga sikapmu!"

Aku tidak tahan lagi. Udara di ruang tunggu ini terasa beracun, menyesakkan paru-paruku. "Arin... Arin mau cari udara segar sebentar," pamitku dengan suara bergetar.

Aku berjalan tanpa tujuan menyusuri koridor rumah sakit yang sepi. Lampu neon yang terang benderang terasa menusuk mata. Suara decit sepatu perawat dan pengumuman dari pengeras suara menjadi musik latar dari kehancuranku.

Aku berhenti di depan sebuah jendela besar yang menghadap ke taman rumah sakit yang gelap. Aku bisa melihat pantulan diriku di kaca. Seorang gadis yang tampak kuyu, dengan mata bengkak dan bahu yang merosot. Aku tidak mengenali diriku lagi.

Semua berputar di kepalaku. Wajah Kak Binar yang memohon. Tangisan Ayah. Amarah Ibu. Tatapan tersiksa Mas Danu. Dan kata-kata terakhir Kak Binar sebelum pingsan.

Aku akan relakan dia, Rin. Aku akan minta cerai.

Itu adalah ancaman yang paling kejam. Dia tahu persis apa yang harus dikatakan untuk menghancurkanku. Jika aku tetap menolak dan mereka bercerai, atau lebih buruk lagi, Kak Binar mencoba bunuh diri, aku akan selamanya hidup sebagai penyebabnya. Aku akan menjadi monster di mata keluargaku sendiri. Mereka telah mengikatku dengan rantai tak kasat mata yang terbuat dari rasa bersalah dan tanggung jawab.

Aku berdiri di sana, di ujung jurang yang mereka ciptakan untukku. Di satu sisi, ada kebebasanku. Mimpiku. Masa depanku. Tapi jalan itu kini dipenuhi duri tajam berupa rasa bersalah seumur hidup dan cap sebagai adik durhaka. Di sisi lain, ada sebuah pengorbanan total. Jalan di mana aku harus menyerahkan segalanya, menjadi bayangan, menjadi alat demi "kedamaian" keluarga. Jalan itu gelap dan tanpa harapan, tapi setidaknya... setidaknya di jalan itu, aku tidak akan menjadi pembunuh kebahagiaan—atau nyawa—kakakku.

Pilihan macam apa ini?

Aku menarik napas panjang, merasakan dinginnya kaca jendela di keningku. Aku sudah lelah berperang. Lelah berteriak di ruangan kedap suara. Mungkin... mungkin inilah takdirku. Sejak awal, aku memang ditakdirkan untuk hidup dari sisa-sisa.

Dengan langkah berat, aku kembali ke ruang tunggu. Mereka bertiga masih di sana, duduk dalam keheningan yang canggung. Saat aku datang, mereka semua menatapku. Menunggu.

Aku tidak menatap salah satu dari mereka. Pandanganku lurus tertuju pada pintu putih di mana kakakku terbaring.

"Bagaimana prosedurnya?" tanyaku. Suaraku terdengar asing di telingaku sendiri. Datar, hampa, dan tanpa emosi.

Mereka bertiga tampak bingung. "Prosedur apa, Nak?" tanya Ayah pelan.

Aku akhirnya memberanikan diri menatap mereka. Pertama Ibu, lalu Ayah, dan terakhir... Mas Danu. Mataku bertemu dengan matanya yang dipenuhi keterkejutan dan... kesedihan yang mendalam untukku.

"Prosedur pernikahannya," kataku, setiap kata terasa seperti pecahan kaca di mulutku. "Kapan saya harus bertemu penghulu?"

Hening. Ibu menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca karena lega. Ayah memejamkan matanya, seulas ekspresi sakit melintas di wajahnya sebelum ia mengangguk pasrah.

Dan Mas Danu... dia hanya menatapku. Tidak ada kebahagiaan di matanya. Yang kulihat hanyalah rasa bersalah yang begitu besar, seolah ia baru saja menjatuhkan hukuman mati padaku.

Aku memalingkan wajah darinya, kembali menatap pintu putih itu.

"Tolong sampaikan pada Kak Binar kalau dia sudah sadar," lanjutku dengan nada dingin yang sama. "Dia menang. Dia mendapatkan apa yang dia mau."

Aku kemudian menatap lurus ke arah Mas Danu, memastikan ia mendengar kata-kata terakhirku dengan jelas.

"Tapi jangan pernah berharap saya akan tersenyum di hari pernikahan kita, Mas. Karena bagi saya, itu bukanlah hari pernikahan. Itu adalah hari pemakaman masa depan saya."

1
Ma Em
Akhirnya Arini sdh bisa menerima Danu dan sekarang sdh bahagia bersama putra putrinya begitu juga dgn Binar sdh menyadari semua kesalahannya dan sdh berbaikan , semoga tdk ada lagi konflik diantara Arini dan Binar dan selalu rukun 🤲🤲.
Ma Em
Arini keluargamu emang sinting tdk ada yg normal otaknya dari ayahmu ibumu juga kakakmu yg merasa paling benar .
Sri Wahyuni Abuzar
ini maksud nya gimana yaa..sebelumnya arini sudah mengelus perutnya yg makin membuncit ketika danu merakit ayunan kayu..kemudian chatingan sm binar di paris (jaga keponakan aku) ... lhaa tetiba baru mau ngabarin ke ortu nya arini bahwa arini hamil...dan janjian ketemu sama binar di cafe buat kasih tau arini hamil..
kan jadi bingung baca nya..
Sri Wahyuni Abuzar
danu yg nyetir mobil ke rumkit..ayah duduk di kursi samping danu..lalu binar dan ibu nya duduk di kursi belakang..pantas kalau arini bilang dia seperti g keliatan karena duduk di depan..di kursi depan bagian mana lagi yaa bingung aku tuuh 🤔
Noivella: makasih kak. astaga aku baru sadar typo maksudnya kursi paling belakang😭😭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!