"Cinta itu buta, itulah mengapa aku bisa jatuh cinta padamu." -Langit Senja Pratama-
"Tidak, kamu salah. Cinta itu tidak buta, kamu saja yang menutup mata." -Mutiara Anindhita.
.
Ketika cinta jatuh di waktu yang tidak tepat, lantas apa yang mesti kita perbuat?
Terkadang, sesuatu yang belum sempat kita genggam, justru menjadi yang paling sulit untuk dilepaskan.
Follow IG @itayulfiana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ita Yulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SETIA — BAB 5
...Di antara biji kopi hitam dan kata-kata cinta yang terukir oleh pena, aku menemukanmu dalam secangkir kehangatan yang tak pernah berakhir....
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
POV Tiara
Aroma kopi yang kuat dan musik jazz yang lembut mengalun di udara, menyambutku saat memasuki Kafe Fiksi & Kopi Noir. Suara gemuruh mesin kopi dan desisan uap yang keluar dari nozzle menciptakan irama yang menenangkan. Aku takjub dengan suasana yang sempurna bagi orang sepertiku, yang suka menghabiskan waktu untuk menulis atau pun membaca buku-buku favorit. Di dalam kafe, deretan rak buku yang memenuhi dinding dengan buku-buku berjejer rapi, menambah kesan hangat dan nyaman. Pencahayaan lembut dari lampu meja dan sorotan pada rak buku membuat suasana semakin intim. Mengapa aku baru menemukan tempat ini sekarang? Ternyata, kota sekitar tempat tinggalku memiliki permata tersembunyi seperti ini.
Aku menginjakkan kaki di sini karena Senja yang memilih tempat ini untuk kami membahas masalah tabrakan Reyhan kemarin, dan aku berterima kasih karena dia memilih tempat setenang dan sehangat ini.
Saat aku menyapukan pandangan ke sekeliling, aku melihat pengunjung lain yang fokus dengan buku di tangan masing-masing, ditemani secangkir kopi di atas meja. Suara obrolan pelan dan tawa lembut sesekali terdengar, menambah kesan kafe sebagai tempat yang ramah dan nyaman. Kemudian, aku melihat sosok yang kucari, sedang melambaikan tangan ke arahku dengan senyum sumringah. Dia duduk di lantai 2, dengan posisi yang strategis sehingga bisa melihat pintu masuk kafe dan menyambut kedatanganku. Aku balas tersenyum dan segera menuju tangga hitam di sudut kanan ruangan untuk naik ke lantai atas.
Aku mendekati meja tempat Senja duduk, dan dia menyambutku dengan senyum yang lebih lebar. "Akhirnya kamu datang juga," katanya, sambil berdiri menarik kursi di seberang tempat duduknya. "Duduklah," ucapnya, masih dengan senyuman yang membuatku merasa sedikit lebih santai. Sama sekali tidak ada kesan bahwa pertemuan kali ini untuk membahas masalah kemarin.
"Terima kasih," kataku sambil melepas tas dan meletakkannya di atas meja sebelum duduk.
Senja duduk kembali, senyuman masih terukir di wajahnya. "Jalanan ke sini macet, ya?"
Aku tertawa kecil, mengangguk. "Sangat, tapi sepadan. Tempat ini sungguh luar biasa. Suasananya tenang, dan bukunya sangat banyak," kataku sambil memandang sekeliling.
Senja tertawa. "Jadi kamu suka tempatnya?"
"Tentu saja, sepertinya ini akan menjadi tempat favoritku, menggantikan kafe tempat kita pertama kali bertemu."
Senja kembali tertawa. "Sudah kuduga. Aku juga suka tempat ini. Oh ya, tempat tinggalku dekat dari sini, jadi aku sering ke sini kalau akhir pekan dan kalau sedang tidak ada kesibukan," katanya santai.
Aku mengangguk, sedikit iri dalam hati. "Oh ya? Wow, keren sekali. Sayangnya aku jauh, kalau dekat pasti aku juga sering-sering ke sini," ucapku, sambil kembali menyapukan pandangan ke sekeliling.
Senja tersenyum kembali. "Kalau masalah itu solusinya sangat gampang, kamu tinggal pindah rumah saja di daerah sekitar sini. Di sini banyak kok hunian yang bisa kamu beli atau sewa."
Aku tertawa. "Aku rasa solusimu itu tidak semudah kedengarannya, tapi aku senang kamu punya tempat favorit yang bisa kamu bagi denganku. Terima kasih, ya," ujarku tersenyum tulus.
Senja mengangguk, lalu menunjuk pelayan yang baru saja lepas dari tangga, sedang berjalan menghampiri kami. "Aku sudah pesan kopi untukmu, silakan diminum dulu."
"Terima kasih," ucapku, sambil menyambut aroma kopi yang baru disajikan. "Mm... kopinya enak," kataku setelah mencobanya. Aku memang suka kopi.
Senja hanya menanggapi pujianku dengan senyuman hangat. "Aku senang kamu bisa datang. Aku memang ingin membicarakan sesuatu hal yang cukup penting denganmu," kata Senja, suara lembutnya mengalahkan suara musik jazz yang mengalun di latar.
"Oh, tentu saja aku akan datang. Bukannya kita bertemu di sini karena memang ingin membicarakan hal yang penting," kataku, menjeda ucapan beberapa detik. "Mengenai kecerobohan adikku kemarin, aku benar-benar minta maaf yang sebesar-besarnya," ucapku dengan perasaan bersalah. "Oh ya, apa kamu sudah membawa mobilmu ke bengkel resmi? Berapa ganti rugi yang harus kubayar?"
Senja tiba-tiba saja tertawa, membuatku penasaran apa yang dia tertawakan. "Apa ada yang lucu?" tanyaku dengan kening berkerut.
"Tidak, tidak apa-apa," jawabnya, berusaha mengulum senyuman. "Bagiku, kamulah yang lucu."
Aku mengernyit, tidak mengerti. "Maksudnya?"
"Sudah, lupakan," katanya, sambil menarik kursinya lebih maju. "Sebenarnya aku mengajakmu kemari bukan sepenuhnya ingin membahas mengenai masalah kemarin. Mengenai kecelakaan kecil itu, aku tidak akan mempermasalahkannya dan kamu tidak perlu membayar ganti rugi sepeser pun."
Aku terkejut, tidak menyangka dia akan mengatakan hal seperti itu. "Loh, mana boleh seperti itu. Mobilmu kan—" Senja memotong ucapanku dengan cepat.
"Aku bilang tidak perlu," katanya tegas, tapi dengan senyum yang menenangkan. "Aku sudah memperbaikinya dan biayanya tidak seberapa, jadi kamu tidak perlu membayar ganti rugi apa pun."
"Aku jadi tidak enak," ucapku, menyandarkan punggungku pada sandaran kursi.
Senja tersenyum, mencoba meyakinkanku. "Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Sungguh," katanya lembut.
"Lalu... jika tujuanmu memanggilku kemari bukan untuk membahas masalah itu, memang hal penting apa yang katanya ingin kamu bicarakan denganku?" tanyaku penasaran, sambil kembali mencondongkan tubuh ke depan.
Senja lagi-lagi tersenyum. Sepertinya senyuman tak pernah lekang dari wajahnya semenjak kami bertemu. "Begini, aku punya teman penerbit, dan aku ingin bertanya padamu, apakah kamu tertarik ingin membukukan ceritamu?"
Aku terdiam, tak menyangka tawaran seperti itu malah akan datang dari pria di hadapanku. Tentu saja aku sangat ingin sejak lama. Memang penulis mana yang tidak ingin memeluk karyanya dalam bentuk fisik.
Karena aku masih diam, Senja kembali menjelaskan. "Begini, beberapa waktu lalu aku pernah mengirim link karyamu pada temanku itu, dan setelah dia baca, katanya ceritamu punya potensi untuk booming di pasaran."
Aku merasa jantungku seketika berdebar kencang, tak percaya apa yang baru saja kudengar. "Oh, ya? Serius temanmu yang penerbit itu berkata begitu?" tanyaku, berusaha menahan kegembiraan.
Senja mengangguk mantap, senyumnya semakin lebar. "Ya, aku serius. Kalau kamu mau, aku bisa mengenalkanmu padanya."
Aku tersenyum lebar, tak bisa menyembunyikan kegembiraan. "Boleh, tapi...." Tiba-tiba aku terpikir akan sesuatu. Bukankah semua karya yang kuunggah di platform sudah terkontrak? Artinya, aku tidak bisa seenaknya mengklaim hak cetak tanpa izin dari pihak platform.
"Tapi kenapa?" Raut penasaran di wajah Senja terlihat jelas.
"Semua novelku sudah dikontrak oleh platform," jawabku.
"Oh, begitu. Apa tidak ada jalan keluar lain?" tanya Senja, matanya berbinar dengan rasa penasaran.
"Belum tahu. Tapi aku akan mencoba menghubungi editorku dulu. Untuk saat ini aku belum bisa menentukan keputusan apa pun," kataku.
Senja mengangguk mengerti. "Kalau begitu kabari aku jika kamu sudah ada keputusan. Dan siapa tahu pihak platform mau bekerja sama dengan temanku untuk menerbitkan bukumu."
Aku mengangguk. "Tentu. Apa pun keputusannya, aku akan tetap mengabarimu nanti," ujarku.
"Aku tunggu kabar baik darimu," katanya, sambil menatapku dengan mata yang berbinar.
Aku tersenyum, merasa yakin bahwa ada perubahan baik yang akan terjadi pada karierku di masa depan. Namun, di waktu yang bersamaan ponselku bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari nomor Reyhan. Setelah membuka lalu membacanya, perasaanku langsung campur aduk, antara sedih, khawatir dan takut.
"Senja aku minta maaf, aku harus pergi sekarang," kataku, sambil berdiri dari dudukku.
"Kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Senja. Dia ikut berdiri dan ikut terlihat khawatir.
"Aku juga belum tahu pasti, tapi aku harus segera ke rumah sakit sekarang," jawabku, sambil bergegas mengambil tas dan berlari pergi meninggalkan kafe.