NovelToon NovelToon
Bukan Cinderella Sekolah: Deal Sinting Sang Pangeran Sekolah

Bukan Cinderella Sekolah: Deal Sinting Sang Pangeran Sekolah

Status: sedang berlangsung
Genre:Si Mujur / Diam-Diam Cinta / Idola sekolah / Cinta Murni
Popularitas:111
Nilai: 5
Nama Author: Dagelan

Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.

Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”

Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.

Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.

Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5: Satu Pertanyaan Yang Mematikan

Seperti sebuah permainan, operasi menghindari Cakra gagal malah berubah jadi—misi konyol yang melibatkan seluruh warga sekolah tanpa mereka sadar.

Begini ceritanya.

Hari itu, jam istirahat kedua. Kantin sekolah sedang chaos seperti biasanya: antrean mi goreng kayak barisan pendaftaran CPNS, suara blender jus berkompetisi dengan teriakan kasir, dan meja-meja penuh geng yang sedang gosip soal siapa yang baru jadian. Aroma minyak bawang, saus, dan keringat bercampur jadi satu—aroma khas kantin yang selalu sukses membuat perutku bergejolak.

Aku duduk di pojokan, menyendiri seperti pahlawan tanpa pengikut. Fokus makan bakso kuah yang rasanya lebih mirip air rebusan harapan. Kuahnya bening, baksonya kenyal—tapi entah kenapa, rasanya tetap hambar. Aman. Sunyi. Sampai bayangan seseorang menutupi mangkukku.

“Tuh kan, insting gue bener,” suara itu lagi. Nada santai. Nada yang bikin aku pengen lempar sendok—atau minimal mencelupkan headphone mahalnya ke dalam kuah bakso.

Aku mengangkat wajah, dan tentu saja—Cakra berdiri di sana, dengan nampan di tangannya, lengkap dengan dua roti bakar—yang pinggirannya gosong—dan segelas es lemon tea yang entah kenapa sudah terasa kayak properti marketing. Warnanya terlalu kuning, esnya terlalu banyak—seperti usaha berlebihan untuk menarik perhatian.

“Lo ngikutin gue?” tanyaku, tanpa basa-basi.

“Enggak. Lo aja yang milih tempat duduk strategis banget,” katanya sambil duduk di depanku tanpa izin. Kursi plastik itu berdecit—seolah memprotes beban yang baru saja ditimpakan padanya.

“Strategis gimana?”

“Pas di bawah kipas angin—yang baling-balingnya udah mau copot—deket colokan—buat charge HP—dan paling jauh dari gosip manusia.”

Aku menyipitkan mata. “Lo observatif banget buat orang yang katanya nggak ngikutin.”

Dia tersenyum, mengangkat bahu acuh tak acuh. “Profesional. Proyek pura-pura butuh observasi lapangan.”

“Proyek pura-pura? Yang mana nih? Soal pacaran palsu atau memancing gosip biar kelihatan natural?”

“Dua-duanya,” jawabnya santai, mengaduk es lemon tea dengan gaya yang terlalu tenang untuk suasana perang dingin kayak gini. Sendoknya beradu dengan gelas, menciptakan suara tring kecil yang—entah kenapa—terdengar provokatif.

Aku menghela napas. “Lo sadar gak sih, kita tuh malah makin mencolok?”

“Nggak juga. Lo cuma ngerasa mencolok karena lo belum biasa diperhatiin,” katanya pelan. Matanya menatapku—intens, seolah berusaha menembus topeng datarku.

Kalimatnya cuma satu, tapi cukup buat aku kehilangan ritme napas setengah detik. Untung aja suara blender jus menyelamatkan suasana.

Aku menatapnya dengan wajah datar—topeng andalanku. “Nih, lo mulai lagi dengan kalimat yang bisa dijual ke sinetron sore.”

Dia tertawa kecil, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Lo pikir gue bercanda?”

“Lo selalu keliatan kayak bercanda, Cak. Bahkan pas lo serius.”

“Dan lo selalu keliatan kayak nggak peduli, bahkan pas lo beneran peduli.” balasnya cepat.

Aku membeku sebentar. Sial. Cowok ini tahu cara membalas kata-kata seperti refleks napas. Aku merasa seperti sedang bermain pingpong dengan lawan yang selalu berhasil mengembalikan bola dengan sempurna.

Skakmat. Cowok ini emang jagoan urusan balas dendam verbal. Akhirnya aku memutuskan strategi klasik: pura-pura sibuk makan. Menyeruput kuah bakso—yang entah kenapa terasa semakin hambar—dan mengunyah bakso dengan kekuatan penuh. Tenggorokanku tercekat.

Beberapa detik lewat dalam diam. Sampai tiba-tiba, Cakra menyodorkan sepotong roti bakar ke arahku.

“Coba deh.”

“Gue gak doyan manis,” jawabku cepat.

“Padahal lo manis banget,” ucapnya tanpa beban, lalu menambahkan sebelum aku bisa protes, “—roti bakarnya maksudnya.”

Aku memelototinya. “Lo tahu gak sih, sarkas dan flirt lo tuh kayak campuran cabai sama gula. Gak jelas rasanya tapi nyangkut lama.”

“Berarti efektif dong.” katanya santai. Dia menggigit roti bakarnya—dengan ekspresi puas—seolah sedang menikmati kemenangan kecil.

Aku mendengus, menatap jam dinding di kantin. Lima menit lagi bel masuk. Lima menit lagi kebebasan. Tapi entah kenapa, lima menit itu terasa kayak lima jam kalau dia masih di depanku.

“Dar, lo tuh nggak punya kerjaan lain ya?”

“Punya,” katanya cepat. “Bikin lo berhenti pura-pura gak suka nongkrong bareng gue.”

Aku hampir menyemburkan bakso. Kuah panas itu nyaris menyembur keluar dari hidungku. Persetan jaga image didepan dia. “Lo tuh seriusan?”

“Gue cuma bilang apa yang pengen gue bilang.” jawabnya tenang, sambil meneguk lemon tea. Esnya bergemerincing—seolah menyuarakan keberaniannya.

“Ya, lo juga boleh nahan dikit. Kita kan lowkey.”

“Lowkey bukan berarti nggak jujur, Sa.”

Dia menatapku lama. Matanya—berwarna cokelat gelap—terlihat serius, tulus, dan—entah kenapa—sedikit menyedihkan. Aku merasa seperti sedang melihat sisi lain dari Cakra yang selama ini tersembunyi di balik topeng popularitasnya.

Dan untuk pertama kalinya hari itu, aku benar-benar kehilangan kata. Bukan karena dia romantis—tapi karena aku mulai sadar, Cakra yang kukenal di luar, mungkin bukan Cakra yang kulihat sekarang.

Sebelum suasana makin canggung, aku buru-buru berdiri. “Gue ke kelas dulu.”

“Bareng?”

“Enggak. Lo duluan.”

Dia tersenyum kecil. “Oke. Tapi jangan kabur lewat taman belakang lagi, ya.”

Aku mendelik. “Lo pasang CCTV di sekolah, ya?”

“Enggak,” katanya sambil berdiri. “Gue cuma hafal semua jalur kabur lo.”

Dan dengan santainya, dia berjalan duluan, meninggalkan aku yang masih terdiam sambil menatap roti bakar yang kini terasa seperti bukti kejahatan emosional. Roti itu—dengan pinggiran gosong dan taburan meses yang berantakan—terlihat seperti simbol dari kekacauan yang baru saja ditimbulkan Cakra dalam hidupku.

Sore harinya, aku mencoba fokus belajar di kamar. Kamarku—berukuran 3x3 meter—dipenuhi poster band indie dan buku-buku bekas. Aromanya—campuran debu, kertas, dan parfum lavender—selalu berhasil membuatku merasa nyaman.

Tapi fokusku lebih sering melayang ke kalimat “Lowkey bukan berarti nggak jujur.”

Aku nggak tahu sejak kapan kata-kata itu mengganggu banget di kepala. Aku yang biasanya bisa dengan mudah menepis hal-hal sentimental, kali ini malah gagal total. Aku merasa seperti sedang berhadapan dengan soal matematika yang rumusnya belum kutemukan.

Aku bahkan menulis sesuatu di jurnal pribadiku—catatan bodoh yang seharusnya gak akan pernah dilihat siapa pun.

✎ Catatan tambahan (yang nggak akan di akui pernah ditulis):

Cakra Adinata Putra:

Kenapa lo bisa ngomong hal sederhana kayak gitu tapi kedengarannya kayak fakta ilmiah yang bikin gue pengen mikir semalaman?

Aku menutup buku cepat-cepat, menampar pipi sendiri dua kali, lalu mengalihkan pikiran ke PR matematika. Soal-soal aljabar itu—seharusnya—lebih mudah dipecahkan daripada teka-teki bernama Cakra Adinata Putra.

Tapi, tentu saja, semesta lagi-lagi gak berpihak.

Notifikasi pesan masuk.

📩 [Cakra Adinata]

Lagi ngitung rumus pelarian dari gue, ya?

Aku menatap layar ponsel. Kata “blokir” menari-nari di pikiranku. Tapi entah kenapa jariku malah mengetik balasan.

📨 Lagi ngitung rumus biar hidup gue balik normal.

Pesan terkirim. Satu menit. Dua menit.

Balasan muncul.

📩 [Cakra Adinata]

Kalo hidup lo balik normal, proyek kita bubar dong?

Aku menggigit bibir. Sial.

Tiga titik muncul lagi.

📩 [Cakra Adinata]

Kalau lo mundur, berarti bayarannya gak jadi.

Aku membuang ponsel ke kasur. “Sialan.” Tapi bibirku malah nyengir kecil. Aku merasa seperti sedang terjebak dalam permainan yang aturannya tidak kupahami. “Ya terserah, mau nggak dibayar juga.” Tapi aku sudah terlanjur penasaran dengan apa yang sebenarnya cowok itu sembunyikan.

Esok hari yang ke-4, rumor baru menyebar cepat:

“Katanya Kayyisa dan Cakra keliatan bareng di taman, loh.”

“Beneran? Duh, aku kira hubungan mereka cuma buat tugas!”

“Gila, berani banget Kayyisa deketin Cakra!”

Aku duduk di kelas, memandangi jendela sambil menahan diri buat nggak lempar penghapus ke siapa pun yang ngomongin. Pemandangan di luar—pohon-pohon yang bergoyang ditiup angin—terlihat lebih menarik daripada wajah-wajah kepo teman-temanku.

Cakra datang beberapa menit kemudian, santai kayak gak ada apa-apa, dan langsung duduk di bangkunya. Dia melemparkan tasnya ke atas meja—dengan gaya cuek—seolah tidak ada badai gosip yang sedang menerjang sekolah.

Pas matanya bertemu dengan mataku, dia nyengir—nyengir kemenangan, tepatnya. Aku tahu tatapan itu. Tatapan “Selamat diburu gosip.”

Begitu istirahat tiba, aku menyeretnya ke lorong belakang kelas. Lorong itu—biasanya sepi—dipenuhi coretan-coretan iseng dan aroma pesing yang menyengat. Tempat yang sempurna untuk membahas masalah serius tanpa gangguan.

“Lo lihat, kan, hasil proyek lo?”

Dia ngangkat alis. “Gosip?”

“Gosip yang bisa jadi bahan skripsi. Lo sadar nggak, sekarang tiap gue jalan, semua mata pada nempel?”

“Berarti mereka nggak rabun.” katanya enteng.

Dia menatapku, menahan tawa. “Lo lucu banget kalo marah.”

Aku memutar bola mata. “Lo tuh kebal kritik, ya?”

“Enggak. Gue cuma lebih milih nikmatin reaksinya daripada mikirin kata-katanya.”

Aku mendengus. “Cakra, lo tuh... impossible.”

Dia menatapku serius, lalu tiba-tiba berkata, “Lo sadar gak, setiap kali lo bilang ‘impossible’, mata lo selalu ngelirik ke kanan bawah?”

Aku langsung refleks menatapnya. “Lo ngitung arah pandang gue sekarang?”

Dia nyengir. “Observasi lanjutan aja.”

Aku nyaris kehabisan kata. Cowok ini bukan cuma bikin bingung, tapi juga kayak punya skrip rahasia buat ngerusak pertahanan mental orang. Aku merasa seperti sedang berhadapan dengan hacker yang selalu berhasil membobol sistem keamananku.

Sumpah, kalau hubungan ini proyek, harusnya aku dapat bonus kesabaran tiap minggu. Atau minimal, voucher gratis untuk terapi kejiwaan.

"Lo dapet apa dari semua ini, Cak?" tanyaku, tiba-tiba. Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tanpa bisa kutahan.

Cakra terdiam sejenak, menatap langit-langit lorong yang penuh sarang laba-laba. Dia menghela napas panjang, lalu menatapku. "Gue... pengen ngerasain sesuatu yang beda."

"Beda gimana?"

Dia mengatupkan bibirnya, menggeleng pelan. "Lo nggak akan ngerti."

"Coba jelasin," desakku.

Cakra menatapku, tatapannya sulit dibaca. Ada kesedihan, kelelahan, dan—entah kenapa—kerinduan. "Gue cuma pengen... ya, pengen ngerasain gimana rasanya jadi orang biasa. Walaupun cuma sebentar."

Kalimat itu terucap lirih, hampir seperti bisikan. Aku bisa merasakan ada beban berat yang dipikulnya. Beban yang tidak bisa kubayangkan.

“Oh ya, soal perjanjian kita,” kata Cakra mulai membuka suara lagi, sedikit seperti menahan nafasnya sejenak melanjutkan. “Gue ada ide.”

Aku menatapnya curiga, menyerobot. “Ide? Gue nggak suka kedengarannya.”

“Gimana kalau selama seminggu, gue traktir lo apa aja?”

“Traktir?” Dahiku berkerut pelan.

“Iya. Makan siang, es krim, buku—apa aja yang lo mau.” balasnya dengan enteng, memang benar kayaknya banyak duit. Dan niat membuang-buang uang secara percuma ke pakir miskin sepertiku.

“Kenapa?” tanyaku, menyipitkan mata. “Lo mau nyogok gue biar nggak marah-marah terus?”

Cakra tertawa. “Bukan gitu. Gue cuma pengen... ya, bikin lo lebih nyaman sama proyek ini.”

“Dengan cara menghabiskan uang lo?”

“Anggap aja ini investasi,” katanya, mengedipkan mata. “Investasi dalam proyek kita.”

Aku mendengus. “Lo tuh emang nggak bisa serius, ya?”

“Serius itu membosankan, Sa. Mendingan kita nikmatin aja.”

Sorenya di jam pulang sekolah, aku duduk sendirian di halte depan. Langit udah mulai jingga, dan udara mulai adem. Aku akhirnya bisa bernapas tanpa suara Cakra di sekitar. Hari ini juga aku tidak ada shift, alias libur akhirnya ada waktu untuk aku bernafas dan memiliki waktu luang untuk berpikir sejenak di sana.

Halte itu—terbuat dari besi berkarat—selalu ramai dengan anak sekolah dan orang-orang yang menunggu bus. Aromanya—campuran asap rokok dan knalpot—tidak terlalu menyenangkan, tapi entah kenapa aku merasa nyaman di sana.

Atau... setidaknya itu yang kupikirkan.

Karena beberapa detik kemudian, seseorang duduk di sebelahku. Tanpa suara. Tanpa izin.

Dia menatap lurus ke depan, ekspresinya kosong.

Gila sih dalam beberapa hari aja dia muncul terus udah kayak setan. Ada dimana-mana! Batinku terkejut dengan refleks mengelus dada pelan.

“Gue nunggu bus juga,” katanya tenang. Tapi suaranya—terdengar lelah.

Aku menatapnya, malas. “Lo gak punya mobil, ya?”

Dia mengangguk. Jelas sekali berbohong.

“Terus?”

Cowok dengan rambut hitam itu mengangkat bahu. “Gue pengen ngerasain hal normal.”

“Duduk di halte bareng gue bukan hal normal, Cak. Itu eksperimen sosial.”

Dia tertawa pelan. Tapi tawanya—tidak bersemangat. “Ya, tapi eksperimennya menarik.”

“Oh iya, soal kelas mulai besok lo bisa langsung ikutan. Jam empat sore naik ke gedung laboratorium, ruangannya sebelahan sama ruang TIK.”

“Ya, makasih.” Entah kenapa aku juga jadi tertular energi tidak semangatnya. “Tapi besok hari Minggu.”

Aku menatap lurus ke depan, mengabaikan suara tawa yang mulai terdengar samar dari Cakra yang juga sedang bergumam tidak jelas kudengar. Bus datang, tapi aku gak langsung naik.

Entah kenapa, aku cuma pengen diam sebentar. Ngerasain angin sore, ngerasain tenang—meski di sebelahku ada cowok yang entah kenapa selalu berhasil bikin segalanya rumit.

Dan, di tengah-tengah keramaian itu, aku sadar sesuatu:

Cakra Adinata memang bukan cowok yang bisa dihindari. Dia kayak noda tinta di kertas putih—makin digosok, malah makin melebar. Dan hari ini, noda itu—terlihat lebih gelap dari biasanya.

Mungkin, proyek ini tidak seburuk yang kubayangkan. Tapi aku mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya disembunyikan Cakra?

✨ Bersambung...

1
Yohana
Gila seru abis!
∠?oq╄uetry┆
Gak sabar nih nunggu kelanjutannya, semangat thor!
Biasaaja_kata: Makasih banyak ya! 😍 Senang banget masih ada yang nungguin kelanjutannya. Lagi aku garap nih, semoga gak kalah seru dari sebelumnya 💪✨
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!