NovelToon NovelToon
Aku Menikahi Iblis Surgawi!

Aku Menikahi Iblis Surgawi!

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Identitas Tersembunyi / Harem / Romansa / Ahli Bela Diri Kuno
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: ZhoRaX

Mati tertabrak truk? Klise.
Tapi bangun di dunia penuh sihir, monster, dan wanita cantik berbahaya?
Shen Hao tidak menyangka, nasib sialnya baru dimulai.

Sebagai pria modern yang tengil dan sarkastik, ia terjebak di dunia fantasi tanpa tahu cara bertahan hidup. Tapi setelah menyelamatkan seorang gadis misterius, hidupnya berubah total—karena gadis itu ternyata adik dari Heavenly Demon, wanita paling ditakuti sekaligus pemimpin sekte iblis surgawi!

Dan lebih gila lagi, dalam sebuah turnamen besar, Heavenly Demon itu menatapnya dan berkata di depan semua orang:
“Kau… akan menjadi orang di sisiku.”

Kini Shen Hao, pria biasa yang bahkan belum bisa mengontrol Qi, harus menjalani hidup sebagai suami dari wanita paling kuat, dingin, tapi diam-diam genit dan berbahaya.
Antara cinta, kekacauan, dan tawa konyol—kisah absurd sang suami Heavenly Demon pun dimulai!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZhoRaX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH 2

Hari itu langit Tianxu berwarna biru pucat, dengan awan-awan tipis yang mengalir seperti benang sutra.

Kabut spiritual yang biasanya melayang rendah mulai menghilang, tergantikan oleh cahaya lembut yang menembus sela dedaunan.

Shen Hao duduk di beranda rumahnya, mengupas akar tumbuhan yang ia temukan di tepi sungai.

Di sebelahnya, periuk tanah kecil mengepulkan uap wangi.

Aroma sup ikan dan sayur liar memenuhi udara — sederhana, tapi menenangkan.

“Kalau ada kecap asin dan nasi putih, ini bisa dibilang hidangan kelas dunia…” gumamnya pelan sambil mengaduk sup itu dengan ranting.

“Sayang, dunia ini nggak punya beras. Atau mungkin aku yang belum nemu petanya.”

Ia meneguk kuahnya sedikit, lalu menghela napas lega.

Rasanya asin, agak getir, tapi cukup untuk membuat perutnya hangat.

Setelah makan, ia berjalan menyusuri sisi rumah.

Beberapa pohon yang kemarin ia tebang sudah ia tumpuk rapi untuk dijadikan bahan kayu bakar.

Tanaman-tanaman yang ia rawat — beberapa berdaun perak, ada juga yang berbunga biru — tampak tumbuh lebih cepat dari biasanya.

“Heh? Baru kemarin sore aku siram, kok udah segini tinggi?”

Ia jongkok, menatapnya heran.

Daun tanaman itu tampak berkilau halus, seperti diselimuti energi spiritual.

Ia menggaruk kepala.

“Mungkin pupukku terlalu hebat… padahal cuma tanah sisa dapur.”

Sambil bersenandung kecil, ia lanjut memeriksa taman kecilnya.

Sekawanan kupu-kupu bercahaya beterbangan di sekitar bunga biru, dan seekor kelinci dengan tanduk kecil tampak menatapnya dari jauh.

Hewan itu hanya diam, lalu melompat pergi tanpa rasa takut — seolah sudah mengenalnya.

“Lucu juga,” katanya sambil tersenyum. “Dulu tiap hewan lihat aku pasti langsung kabur. Sekarang malah nongol sendiri.”

Setelah itu ia menghabiskan sebagian harinya di danau, memperbaiki jaring ikan yang mulai sobek, lalu memunguti ranting kering untuk bahan api malam nanti.

Saat sore tiba, matahari Tianxu memancarkan warna keunguan yang memantul di permukaan air, membuat semuanya tampak seperti mimpi.

Shen Hao duduk di batu besar itu lagi, menatap bayangannya di air.

“Dua tahun di sini, dan aku belum bosan dengan pemandangan ini…” katanya lirih.

“Mungkin karena di dunia ini nggak ada bos kantor, nggak ada tagihan listrik, nggak ada—”

Ia berhenti, menatap ke langit.

Seekor burung hitam melintas cepat di atasnya, sayapnya besar dan matanya berkilau samar.

Shen Hao hanya mengangkat alis.

“Hm. Burung itu lagi. Setiap sore nongol terus. Jangan-jangan dia juga nganggur kayak aku.”

Ia tertawa kecil, lalu melanjutkan duduknya dengan santai, menikmati udara sore yang segar.

Malam pun datang perlahan.

Kabut spiritual mulai kembali, menari lembut di sekeliling rumah.

Shen Hao menyalakan lentera kecil di ruang utama, lalu menatap bara api di tungku.

“Kalau dipikir-pikir, dunia ini nggak seburuk itu.”

Ia bersandar di dinding, tersenyum kecil. “Asal tidak ada yang datang mengacau, aku bisa hidup begini selamanya.”

Ia tidak tahu, saat ia berkata begitu, di luar sana kabut spiritual di sekitar rumahnya mulai berputar perlahan, seperti menyambut sesuatu.

Udara terasa sedikit lebih berat, dan dari kejauhan… terdengar samar-samar suara langkah kaki.

Namun Shen Hao tidak menyadarinya.

Ia sudah tertidur di kursinya, dengan tangan bersilang di dada, wajah tenang, dan senyum kecil tersisa di bibirnya.

Dan malam itu berlalu tanpa gangguan —

ketenangan terakhir sebelum hari-hari damainya mulai retak.

 

Suara ketukan terdengar pelan tapi berulang.

“Tok… tok… tok…”

Shen Hao menggeliat di kursinya, wajahnya menempel di lengan, rambutnya acak-acakan.

Suara ketukan itu terus berlanjut, sedikit lebih keras kali ini.

“Ugh… siapa juga yang datang sepagi ini…” gumamnya dengan suara serak, lalu berdiri setengah malas.

Ia berjalan menuju pintu dengan langkah lambat, masih setengah mengantuk.

Begitu membuka pintu, udara pagi langsung menyapa wajahnya.

Dan di depan sana — berdiri seorang pria tua berambut putih, mengenakan jubah sederhana dengan tongkat kayu di tangannya.

“Tuan Bao…?” Shen Hao mengucek matanya, mencoba memastikan penglihatannya.

“Eh, benar ya? Wah, sudah lama banget aku nggak lihat Anda ke hutan.”

Tuan Bao tersenyum tipis.

“Shen Hao… masih hidup, rupanya.”

“Masih,” jawabnya datar sambil menguap. “Mau masuk? Atau sekadar memastikan aku belum jadi pupuk?”

Tuan Bao menggeleng kecil, lalu melangkah masuk.

Matanya menelusuri ruangan itu perlahan — sederhana, tapi terasa bersih dan hangat.

Aroma sup sisa semalam masih tercium samar, dan kabut spiritual tipis terlihat berkumpul di langit-langit rumah.

“Tempatmu ini… semakin aneh setiap kali aku datang.”

Suara Tuan Bao rendah, tapi ada nada serius di dalamnya.

“Ah, jangan bilang Anda iri karena kabut spiritualnya gratis?”

Shen Hao tertawa kecil sambil menyiapkan dua cangkir teh.

“Silakan duduk, Tuan Bao. Tapi jangan harap teh ini bisa menyaingi teh istana. Ini teh daun liar.”

Pria tua itu menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum kecil.

“Selalu santai, ya, anak ini…”

Mereka duduk di meja kayu kecil di tengah ruangan.

Beberapa menit pertama hanya diisi suara burung di luar dan uap tipis dari teh hangat di cangkir.

Akhirnya, Tuan Bao membuka percakapan.

“Beberapa hari ini, ada sesuatu yang aneh di sekitar hutan ini. Kabut spiritual meningkat tajam, bahkan binatang buas menjauh dari sini.”

Shen Hao meneguk tehnya pelan.

“Oh, jadi bukan cuma aku yang ngerasa begitu, ya?”

Kening Tuan Bao berkerut. “Kau sadar?”

“Ya… tapi kupikir cuma efek cuaca. Atau mungkin karena aku masak terlalu sering.”

“Shen Hao.” Suara Tuan Bao kini sedikit berat. “Kau tidak melakukan sesuatu… semacam latihan atau ritual, kan?”

Shen Hao menatap cangkirnya sebentar, lalu menjawab datar, “Kalau yang Anda maksud dengan ‘latihan’, ya aku sempat mencoba berkultivasi lagi kemarin. Tapi seperti biasa, gagal. Batuk darah sedikit. Jadi aku tidur.”

Wajah Tuan Bao seketika berubah.

Matanya membulat, menatap Shen Hao lekat-lekat.

“Batuk darah… dan setelah itu kau tidur?”

“Iya, kenapa?”

Tuan Bao tidak langsung menjawab. Ia menatap lantai, menghela napas panjang, lalu berdiri.

Langkahnya pelan, tapi auranya tiba-tiba terasa berat.

Ia menatap ke arah dinding, di mana kabut spiritual tipis tampak bergerak seperti sedang mengikuti napas Shen Hao.

“…Bodoh atau beruntung, aku benar-benar tak tahu yang mana.”

“Hah?”

Tuan Bao menatapnya lagi, kali ini dengan mata tajam namun penuh keheranan.

“Shen Hao, apa kau sadar? Tubuhmu saat ini… tidak mungkin milik seseorang yang ‘gagal’. Energi spiritual mengalir di sekitarmu — stabil dan alami.”

Shen Hao berkedip beberapa kali, lalu menatap dirinya sendiri.

“Jadi… aku tidak gagal?”

Tuan Bao menghela napas berat.

“Tidak. Kalau tebakanku benar, kau sudah menembus Foundation Establishment. Dan tanpa bantuan siapa pun.”

Ruangan itu hening.

Hanya suara burung dari luar yang terdengar samar.

Shen Hao menatap Tuan Bao tanpa ekspresi selama beberapa detik, lalu mengangkat bahu santai.

“Oh… jadi begitu. Pantas saja tidurku enak.”

Tuan Bao hampir tersedak teh yang baru ia teguk.

“Enak katamu?! Anak ini…”

Shen Hao tersenyum lebar.

“Yah, saya kan tidak tahu. Lagian kalau begitu artinya saya hebat dong, kan?”

Pria tua itu menatapnya lama, lalu tak tahan menahan tawa kecil.

“Kadang aku berpikir… dunia memang suka bercanda. Orang-orang di Muqing bertahun-tahun gagal menembus tahap itu, dan kau—melakukannya sambil mengeluh dan tertidur.”

Shen Hao meneguk teh miliknya santai.

“Yah, mungkin truk yang nabrak aku dulu benar-benar kendaraan keberuntungan.”

Tuan Bao hanya bisa menggeleng, antara heran dan kagum.

Namun di balik tawa kecil mereka, mata tuanya menatap ke luar jendela — ke arah pepohonan yang mulai bergetar halus karena aliran energi spiritual yang menguat.

Ada sesuatu yang berubah.

Dan perubahan itu dimulai dari rumah ini… dan pemuda berambut hitam bermata ungu di depannya.

1
mu bai
sebaiknya menggunakan bahasa indo formal lebih cocok thor
ZhoRaX: ok.. nanti diubah
👍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!