NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nonton film Nganu

Tubuh Kemala masih bersandar di dada Tama. Detak jantung pria itu terasa begitu dekat di telinganya, keras dan tidak beraturan. Nafas keduanya saling memburu, tak satu pun bergerak atau mengucap sepatah kata pun.

Dalam keterkejutan dan kegugupan yang bercampur, Tama menunduk tanpa sadar. Tatapannya jatuh ke wajah Kemala yang begitu dekat. Nafas gadis itu menghangat di pipinya, dan dalam sekejap-tanpa pikir panjang, bibir Tama menyentuh bibir Kemala.

Sekilas. Hanya sekejap. Ringan seperti sentuhan angin. Tapi cukup untuk membuat dunia Kemala runtuh seketika.

Matanya membelalak. Tubuhnya menegang. Nafasnya tercekat. Jiwanya membeku.

Lalu, dalam gerakan refleks yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri, Kemala refleks mendorong tubuh pria itu.

"Om...!"

Tidak sempat menyelesaikan kalimat, ia langsung berlari keluar dari kamar itu. Malu dan salah tingkah. Langkahnya cepat, napasnya memburu, wajahnya panas membara. Tidak menoleh sedikit pun. Tak ingin melihat ke belakang. Tak ingin mengingat apa yang baru saja terjadi.

Tama tetap berdiri di tempatnya. Matanya menatap

Pintu yang kini tertutup. Nafasnya berat, jari-jarinya gemetar. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mengacak rambutnya, frustrasi.

"Apa yang barusan kulakukan?" gumamnya lirih, penuh penyesalan. Ia memejamkan mata erat, menggertakkan gigi.

"Astaga... ada apa aku ini? Ya Tuhan, apa aku sudah gila?" runtuknya pada diri sendiri.

Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Perasaan bersalah menggerogoti hatinya seperti racun. Ia sadar, yang ia lakukan tadi salah. Sangat salah. Namun suasana tadi membuatnya khilaf.

Namun yang lebih menyakitkan dari rasa bersalah itu... adalah kenyataan bahwa sesaat tadi, hatinya benar-benar berdebar karena sentuhan itu.

Kemala menutup pintu kamarnya dengan keras, lalu bersandar di baliknya. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun tak karuan. Seluruh tubuhnya bergetar hebat.

Kedua tangannya mencengkeram bathrobe yang menutupi tubuhnya, seolah mencari perlindungan dari rasa syok yang menghantam dirinya tanpa ampun.

'Barusan itu... ci-ciu man?' pikirnya gemetar. Mata Kemala membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Ia menyentuh bibirnya yang masih terasa hangat. Sekejap. Singkat. Tapi sangat nyata.

"Ya Tuhan..." bisiknya lemah. Tubuhnya perlahan-lahan meluncur turun ke lantai, bersandar pada pintu. Kaki lemas, seperti kehilangan tenaga. Otaknya memutar kembali kejadian tadi-pelukan tiba-tiba, terpeleset, dan... bibir mereka bersentuhan. Bukan mimpi. Bukan ilusi. Itu nyata. Dan itu Om Tama.

Meskipun singkat, meskipun mungkin tidak disengaja -itu tetap salah. "Kenapa aku nggak bisa bergerak tadi? Kenapa aku diam aja?" ucapnya lirih, merasa marah pada dirinya sendiri.

Kemala kembali menyentuh bibirnya. Wajahnya matang bak kepiting rebus. Tadi itu adalah ci uman pertamanya. Ia memeluk lututnya, membenamkan wajah di sana, mencoba meredakan degup jantung yang l i ar. Tapi bibirnya masih terasa geli, panas, dan rasanya aneh itu. "Om Tama..." bisiknya menyebut nama pria matang Selepas magrib, Tama sibuk mondar-mandir di dapur. Wajahnya sedikit berminyak karena terkena uap tumisan, dan beberapa potong sayur masih menempel di talenan. Ia sudah menyiapkan hidangan terbaik yang bisa ia masak-ayam kecap manis, tumis buncis wortel, sup jagung, dan sepiring nasi hangat. Semua terlihat rapi di atas meja makan, lengkap dengan dua piring dan gelas yang sudah ia siapkan Tama memang sangat ahli dalam memasak. Beberapa menu andalan di cafe-nya merupakan resep turun temurun. Itulah sebabnya sejak lulus kuliah manajemen dan bisnis, dirinya malah memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Awalnya cafe D'Lux miliknya sangat ramai, namun karena banyak saingan dan lokasi kurang strategis, cafe tersebut kini mulai sepi.

Iming-iming dari Erina yang menjanjikan akan memberikan modal, membuatnya tidak bisa berkutik ketika istrinya itu bersikukuh ingin Kemala ada di rumah ini. Istrinya bahkan terang-terangan mengatakan bahwa Kemala adalah ATM berjalan. Ia akui, dirinya kurang tegas karena sadar dengan kondisi ekonominya saat ini.

"Semoga Kemala suka. Aku akan minta maaf soal yang tadi," gumamnya

jam di dinding menunjukkan pukul 19.00.

Ia menarik napas panjang, lalu berdiri di depan pintu kamar Kemala. Diketuknya pelan dua kali.

Tok. Tok.

"Kemala... ayo makan malam. Om udah siapin semuanya," ucapnya dengan suara setenang mungkin.

Beberapa detik hening. Namun suara langkah kaki mendekat dari balik pintu memberikan harapan.

Kemala membuka pintu perlahan. Rambutnya sudah kering dan ia mengenakan baju santai, longgar, berwarna biru muda. Wajahnya bersih tanpa riasan, namun justru itu yang membuat Tama terpaku sejenak. Gadis itu menunduk, tak berani menatap mata pria yang beberapa jam lalu secara tidak sengaja menyentuh batas yang tak

Seharusnya.

"Aku masih kenyang, Om" ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan.

"Kamu marah?" tanya Tama lembut.

Kemala terdiam. Ia tidak marah, namun entah ini namanya apa? Antara kecewa, gugup dan yang lebih menggelikan, ia malah ingin merasakannya lagi. Lebih lama dan intens.

"Aku gak marah, Om. Ya sudah, sebentar aku ambil hape dulu ya, Om!"

Tama mengangguk sambil tersenyum. Ia masih mengenakan celemeknya. Mereka berdua berjalan menuju meja makan, langkah mereka terdengar jelas dalam keheningan rumah yang sepi tanpa kehadiran Erina. Dimana wanita itu? Entahlah... Tama tidak terlalu mempedulikannya. Ia merasa akhir-akhir ini Erina berubah. Tama beberapa kali mencoba menghubunginya dan mengatakan bahwa dia sudah pulang. Niatnya Tama akan pulang lusa, namun karena kondisi ibunya yang membaik, ia pun hanya menginap satu malam saja. Saat duduk berhadapan, suasana begitu sunyi. Hanya suara sendok yang menyentuh piring dan sesekali de sah napas mereka yang teredam oleh detak jantung yang berdentum lebih keras dari biasanya.Tak ada obrolan ringan. Tak ada candaan seperti biasanya. Hanya rasa canggung dan gugup yang menebal di antara mereka.Kemala menyuapkan makanan ke mulutnya perlahan. Sementara Tama hanya sesekali melirik, memastikan gadis itu mau makan. Setidaknya, itu membuatnya sedikit lega.

Beberapa menit berlalu.

Kemala meletakkan sendoknya. "Makanannya enak, Om... terima kasih," ucapnya dengan suara pelan, namun tulus.

Tama menatapnya. Wajahnya terlihat lelah namun tetap tenang. Dan tanpa pikir panjang, saat Kemala hendak berdiri untuk membereskan meja, tangan Tama menyentuh pergelangan tangannya.

Deg.

Kemala terkejut. Tubuhnya kembali membeku.

Sentuhan itu. Lagi-lagi membangkitkan rasa yang membuatnya takut... namun anehnya tak ingin lari.

Tama menarik tangannya lembut, memintanya duduk kembali.

"Kemala..." ucapnya pelan. Mata mereka bertemu.

"Om minta maaf. Yang tadi itu... Om khilaf. Om gak bermaksud seperti itu. Om juga gak akan menyalahkan kamu kalau kamu cerita ke Tante Erina. Tapi... Om cuma ingin satu hal. Maaf darimu."

Suara itu lirih, nyaris serak. Kemala bisa melihat gurat penyesalan yang begitu dalam di wajah pria itu. Jauh dari kesan ca bul atau agresif. Justru terlihat seperti seseorang yang bingung dan menyalahkan dirinya sendiri. Hatinya bergetar. "Aku... aku tahu Om nggak berniat seperti itu," ucap Kemala akhirnya. Suaranya nyaris gemetar. "Aku cuman kaget. Tapi aku gak marah kok, Om."

Tama menunduk. Beban berat seolah menguap sedikit dari dadanya.

Mereka kembali terdiam. Tapi kali ini bukan karena canggung. Melainkan karena ada yang berubah. Rasa kasihan, simpati dan perasaan aneh bercampur dalam emosi yang tak bisa mereka definisikan.

Kemala menggigit bibir bawahnya. Satu pikiran kembali menyeruak di kepalanya suara malam itu. Suara desa-han yang terdengar dari kamar Tante Erina. Dan itu... bukan suara Om Tama.

Penasaran, ia pun bertanya pada Tama. "Om semalam ada di rumah atau dimana?"

Tama mengerutkan keningnya. "Memangnya kenapa, Mala?"

"Gak apa-apa kok, pengen tahu aja."

Tama tersenyum hangat. "Om kan lagi ke Malang, berangkat dari kemarin malam. Om gak sempat pamit, soalnya kamar kamu nutup terus. Pas kamu mandi dan Om gak sengaja meluk karena Om pikir kamu itu Erina, nah itu Om baru banget pulang."

Kemala mangut-mangut. Sekarang jelas, suara laki-laki semalam bukan Om Tama. Dan pagi tadi, Tante Erina berbohong Dengan mengatakan bahwa Om Tama ada di rumah dan berangkat subuh sekali.

Kemala memandangi pria di hadapannya. Bagaimana bisa seseorang yang memperlakukannya begitu hangat, begitu lembut, justru disakiti oleh istrinya sendiri?

"Aku makin curiga jika Tante Erina selingkuh," gumam Kemala tanpa sadar.

Tama tertegun. "Apa?"

Kemala buru-buru menggeleng. "Ah, nggak. Nggak apa-apa. Ehm kalau gitu aku beresin dulu bekas makannya ya, Om."

Tama terdiam, lalu tersenyum tipis. Ia menghela napas panjang. "Sambil nunggu tante kamu pulang, Om beli kue tadi. Kamu suka kue cokelat, kan?"

Kemala menatapnya.

"Temani Om ngopi ya, nanti Om buatkan teh melati.

Gimana kalau sambil nonton film? Biar gak bete."

Kemala diam beberapa detik, lalu perlahan mengangguk.

"boleh..."

Tama tersenyum lega. "Oke, kamu tunggu di sofa. Om siapin dulu teh dan kue nya."

Gadis itu beranjak menuju ruang tengah, duduk di sofa abu-abu besar yang empuk. Ia memeluk bantal kecil, mencoba menenangkan hatinya. Entah kenapa, meski semua ini terasa salah... tapi ia juga merasakan kehangatan yang telah lama ia rindukan.

"Kamu pilih aja film yang mau kamu tonton. Di luar hujan, emang cocok nonton sambil ngemil," ucap Tama sambil berjalan ke dapur.

Kemala mengangguk kecil, menyeka rambutnya yang

Sempat jatuh ke dahi, lalu bangkit dari sofa. Suara hujan yang membasahi genting terdengar seperti irama yang menenangkan, menghapus sedikit demi sedikit kecanggungan di antara mereka.

Ia berjongkok di depan bufet kaca yang berisi tumpukan kaset DVD. Sebagian besar film di sana berbahasa Inggris, beberapa dengan cover menakutkan khas genre horor. Di antara semua itu, ada beberapa dengan huruf asing, Jepang barangkali, dan satu kaset dengan judul yang mencolok perhatian. Wajah pemeran wanitanya di cover terlihat cantik dan misterius, dengan latar rumah tradisional khas Thailand. Tanpa pikir panjang, Kemala mengambil kaset itu.

"Om, aku mau yang ini!" serunya dari ruang tengah.

"Ya, nyalain aja!" jawab Tama dari dapur, terdengar sedang mengaduk teh di gelas. Ia tidak tahu film apa yang dipilih Kemala. 'Paling film horor. Gadis-gadis kan suka film misteri gitu,' batinnya.

Kemala segera menyalakan televisi dan DVD player.

Tak lama, layar menampilkan logo produksi film diiringi suara musik khas Asia Tenggara. Ia duduk bersila di atas sofa, menatap layar dengan rasa penasaran.

Tama, yang sedang menuang teh melati ke dalam cangkir, menajamkan telinga. Nada pembuka film itu terasa tidak asing. Lalu, seketika ia membelalak, meletakkan teko di atas meja dengan sedikit suara berdenting.

"Astaga... jangan-jangan..." gumamnya.

Tanpa pikir panjang, ia membawa nampan berisi dua

Cangkir teh dan sepiring brownies dan satoples kacang lalu melangkah cepat ke ruang tengah. Sesampainya di sana, matanya langsung tertuju pada layar televisi.

Kemala duduk terpaku, matanya membesar melihat adegan pembuka yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Wajahnya mulai memerah.

Tama menghela napas, lalu menaruh nampan di atas meja. Ia duduk perlahan di samping Kemala, menyadari posisi mereka yang hanya berdua dalam suasana malam yang sunyi, ditemani suara hujan yang tak kunjung reda.

"Kamu yakin mau nonton ini?" tanyanya pelan.

Kemala tidak langsung menjawab. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu perlahan menoleh. "Nggak tahu, Om... aku kira ini film biasa. Eh ternyata..."

Tama menatap wajah gadis itu. Kemala tampak malu namun juga penasaran.

Ia tersenyum samar. "Nonton aja, gak apa-apa. Kamu udah dewasa. Cuman s3mi kok, nggak parah."

"Emang boleh, Om?"

Kemala menunduk. Wajahnya semakin memerah, tapi ia tidak menjauh. Bahkan tubuhnya sedikit lebih dekat dari sebelumnya. Tama tahu ini bukan situasi yang seharusnya. Tapi entah mengapa, tubuhnya tidak bergerak menjauh. Hatinya menjerit, tapi pikirannya seperti tertahan dalam kabut tebal.

"Kamu mulai nakal ya. Lucu juga kamu," ucapnya sambil menyenggol pundak Kemala pelan.

Kemala terkekeh kecil, walau canggung. "Aku nggak

Tahu itu film kayak gitu... sumpah, Om..."

Tama tertawa pelan. "Udah, tenang aja. Anggap ini hiburan sambil nunggu Tante kamu pulang."

Kemala mengangguk pelan. Mereka pun melanjutkan menonton, sesekali mencicipi teh dan cemilan. Tidak ada percakapan panjang, hanya sesekali saling melirik, mencuri pandang. Hujan semakin deras, seperti mengaburkan batas antara yang benar dan salah.

Satu jam berlalu, film masih berjalan. Beberapa adegan membuat Kemala merasa risih, tapi anehnya, ia juga tidak bisa menghentikan tontonan itu. Ada sesuatu yang membuatnya terpaku. Atau mungkin, karena pria di sebelahnya yang sejak tadi begitu membuatnya nyaman.

Tama sendiri mulai gelisah. Tubuhnya terasa panas dingin, beberapa kali Ia mencuri pandang ke arah Kemala. Gadis itu tidak lagi menunduk malu-malu. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya menyimpan gejolak yang sulit dijelaskan.

Saat adegan di layar semakin intens, Tama menghela napas pelan. Ia menyandarkan punggungnya di sofa, mencoba menetralisir pikirannya yang mulai terusik. Lalu tanpa sadar, tangan kirinya menyentuh lengan Kemala-sekilas, seperti gerakan spontan karena terlalu terbawa suasana.

Kemala menoleh. Lagi.

Tatapan mereka bertemu.

Sejenak suasana hening. Yang terdengar hanya suara hujan, dan film yang terus bergulir di latar belakang.

"Om..." bisik Kemala, nyaris tak terdengar.

Tama tersenyum namun tidak melepaskan pegangannya. Jemarinya tertaut, tanpa sekat dan makin erat. Hal tersebut membuat Kemala bingung, antara lari ke kamar atau meneruskannya?

Dan di titik inilah, logikanya berperang. Malam itu, tak ada yang tahu bahwa benih ketertarikan telah tumbuh tanpa mereka sadari. Ada sesuatu yang pelan-pelan berubah. Batas mulai kabur. Dan mungkin, kedekatan ini akan membawa mereka ke jurang yang lebih dalam.

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!