“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Mentari pagi menembus jendela dapur, menyoroti aroma nasi hangat dan suara ceret air mendidih.
Andin berdiri di depan meja makan, menyiapkan sarapan sederhana—telur dadar, sayur sop, dan roti panggang.
Meski perutnya sudah besar, ia tetap memaksa bergerak pelan, ingin membuat pagi itu terasa istimewa.
Tak lama kemudian, Raka keluar dari kamar dengan pakaian kerja rapi. Wajahnya terlihat sedikit lelah, tapi masih memancarkan ketenangan.
Ratna sudah duduk di meja, menyesap kopi hangat tanpa banyak bicara.
Andin menoleh dan tersenyum cerah.
“Selamat pagi semuanya.”
Raka menatap istrinya lembut.
“Pagi, Din. Kamu udah bangun sepagi ini? Harusnya istirahat aja.”
Andin terkekeh kecil. “Aku cuma nggak enak. Tadi malam kamu pulang larut, aku malah ketiduran. Maaf ya, nggak sempat nunggu.”
Raka menatap wajah istrinya yang polos itu, lalu tersenyum samar.
“Nggak apa-apa, Din. Aku ngerti kok. Kamu sekarang butuh banyak istirahat, bukan begadang nungguin aku.”
Andin menatapnya dalam, senyum bahagia perlahan tumbuh di wajahnya.
“Terima kasih, Rak. Kamu selalu sabar dan pengertian. Aku benar-benar beruntung jadi istrimu.”
Raka menunduk, mengaduk kopinya pelan. Ada sesak kecil di dadanya—perasaan bersalah yang tak bisa dijelaskan.
Ia menatap Andin sekilas, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan.
Ratna, yang duduk tak jauh dari mereka, hanya memperhatikan dalam diam. Matanya bergulir dari Andin yang tersenyum tulus… ke arah Raka yang berusaha menyembunyikan sesuatu dalam tatapannya.
“Raka, nanti kamu ke toko, kan?” tanya Ratna tenang.
Raka mengangguk.
“Iya, Bu. Ada pesanan kue ulang tahun. Kita harus siapin dari pagi.”
Andin menatap ibunya dan tersenyum.
“Ibu juga ikut lagi? Wah, aku jadi tenang kalau kalian berdua yang urus toko. Aku bisa istirahat tanpa khawatir.”
Ratna tersenyum samar. “Iya, Nak. Ibu bantu semampunya.”
Tapi di balik senyum itu, ada tatapan yang tak bisa dijelaskan—tatapan yang sesekali mengarah pada Raka, seperti bayangan halus yang nyaris tak terlihat.
---
Setelah sarapan, Raka mencium kening Andin sebelum berangkat.
“Jangan capek-capek, ya. Aku pulang sore nanti.”
Andin tersenyum lembut, mengelus perutnya.
“Hati-hati di jalan, Ayah kecil ini nunggu pulang.”
Raka terkekeh pelan. “Iya, Ibu kecil juga istirahat yang banyak.”
Mereka saling bertukar tatapan hangat, membuat suasana rumah terasa penuh kasih.
Namun, dari belakang, Ratna memperhatikan mereka dengan pandangan yang sulit ditebak—antara kagum, iri, dan sesuatu yang lebih gelap.
Hari itu, Andin merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia.
Ia menatap foto pernikahannya di meja rias, jari-jarinya menyentuh bingkainya pelan.
“Raka,” bisiknya lembut, “aku yakin kita akan jadi keluarga yang sempurna.” bisiknya pelan.
Sementara itu, di sisi lain...
Raka dan Ratna sudah tiba di toko kue mereka. Suasana pagi itu ramai. Aroma butter dan vanila memenuhi udara. Pelanggan berdatangan, dan suara oven berdenting menandai kue matang satu per satu.
Raka bekerja dengan cekatan, sementara Ratna membantu menghias kue pesanan. Semuanya berjalan lancar... hingga kejadian kecil itu terjadi.
Saat mereka berdua membawa loyang besar ke dapur, langkah mereka tidak sengaja bersinggungan.
“Bu, hati-hati!” seru Raka panik.
Terlambat. Ratna kehilangan keseimbangan, loyang hampir jatuh, dan ia menjerit pelan sebelum tubuhnya condong ke belakang.
Refleks, Raka meraih pinggang Ratna.
Tubuh mereka saling bertabrakan.
“Aduh!” Ratna meringis, memegangi pergelangan kakinya.
“Kaki saya… kayaknya keseleo…” katanya lemah.
Raka menatap cemas.
“Ya ampun, Bu. Sini, saya bantu.”
Sebelum Ratna sempat menolak, Raka langsung mengendong tubuh wanita itu menuju kamar belakang toko.
Ratna terdiam di pelukan menantu yang dulu hanya ia pandang sebelah mata. Tubuh Raka hangat, kemejanya masih beraroma sabun. Ada sesuatu yang aneh bergetar di dada Ratna—perasaan yang tak seharusnya.
Di kamar belakang, Raka menurunkan Ratna di kursi kayu, lalu segera mengambil air hangat dan salep.
“Istirahat dulu, Bu. Jangan dipaksain jalan,” ucapnya lembut.
Ratna mengangguk pelan, matanya menatap wajah Raka yang serius mengoleskan salep ke pergelangan kakinya.
Setiap sentuhan terasa menimbulkan debar aneh yang coba ia sembunyikan.
“Mas Raka… pelan-pelan, sakit…”
“Maaf, Bu. Saya cuma nggak mau lukanya makin parah.”
Ratna menatapnya—tatapan yang lama, nyaris tanpa suara.
Dan di detik berikutnya, waktu seolah berhenti.
Mata mereka bertemu.
Begitu dekat. Begitu hening.
Cuma ada suara detak jam dan napas yang saling bertabrakan.
.
.
.
Bersambung.