Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Malam itu, kilat menyambar-nyambar di langit yang gelap, seperti sorotan pedang dewa yang tak terlihat. Petir mengikutinya, suara gemuruh yang membuat jantung berdegup kencang. Guntur bergulung-gulung, seperti genderang perang yang tak pernah berhenti. Kilat dan guntur saling bersautan, menciptakan simfoni yang mencekam dan membuat bulu kuduk berdiri.
Di tengah-tengah keheningan malam, petir kembali menyambar membuat segala sesuatu menjadi terang sejenak, sebelum kegelapan menelan segalanya. Biru baru saja merebahkan tubuhnya di atas kasur kecilnya, dan menarik selimut untuk menghalau dingin merasuk tubuhnya. Namun belum sempat ia memejamkan matanya, suara ketukan pintu yang tidak sabar membuatnya terpaksa kembali bangun untuk melihat siapa orang di balik pintu itu.
Dokk....
Dokk....
Dokk....
"BIRU.... BIRU.... BIRU....!" teriak orang itu dari balik pintu.
Biru membuka pintu dan terlihat Gus Hanan yang ngos-ngosan dengan wajah paniknya. Untung saja suara guntur dan angin begitu keras, hingga tidak membuat penghuni asrama lainya ikut terbangun.
"Gus, ada apa malammm...... Gussss.....!!!" Biru terkejut karena Gus Hanan langsung menarik nya dan berlari cepat.
Biru dengan terpaksa mengikuti langkah Gus Hanan dengan menyamakan langkah kaki panjangnya. Ternyata Gus Hanan membawanya ke ndalem, entah mengapa perasaan Biru tidak enak, namun ia masih mengikuti langkah putra sulung Abah Yai Khalid itu.
"Ning! Astaghfirullah Ning, istighfar Ning. Dosa Ning, jangan begini, nyebut Ning!" teriak umi Maryam histeris dalam kamar Hilya.
Gus Hanan langsung memeluk umi Maryam yang menangis, sedangkan Biru mematung melihat Hilya yang berdiri diatas kursi dengan selendang yang ia lilitkan di lehernya. Selendang itu juga diikat ke kusen jendela.
"Ning," ucap Biru pelan, namun suara itu mampu mengalihkan perhatian Hilya.
Dengan wajah sayu nya Hilya tersenyum. "Gus, kamu datang?" katanya seperti anak kecil. "Gus, aku mencintaimu. Aku benar-benar mencintaimu, tapi kenapa Gus malah mau menikahi wanita lain? Kenapa bukan aku, Gus? Kenapa?" Hilya mulai terisak, umi Maryam dan Gus Hanafi hanya diam dan saling menguatkan.
Biru yang melihat ibu dan anak itu saling berpelukan, menyadarkan jika mereka benar-benar kehilangan kendali atas Ning kebanggaan nya. Wajah lelah dan putus asa itu tergambar jelas, hingga Gus Hanan membawanya ke sini, kamar Hilya.
"Ning, ayo turun." bujuk Biru pelan, ia tahu ini tidak akan mudah.
"Untuk apa? Untuk apa aku turun? Untuk apa aku hidup? Untuk apa jika aku tidak bisa memilikimu, Gus? Untuk apa?" tolaknya, tubuhnya bergetar hebat karena menangis.
"Ning, semua bisa kita bicara baik-baik. Tidak bisa seperti ini." bujuknya lagi, namun Hilya masih tak bergeming. "Ning, yang aku kenal itu pintar, baik...."
"Tapi semua itu tidak membuat Gus mencintaiku!" sergahnya. "Aku belajar jadi yang terbaik, aku pelajari semuanya agar pantas bersanding dengan Gus! Tapi Gus malah memilih wanita lain! Semuanya sia-sia, semuanya sudah berakhir." kata-kata terdengar memilukan.
Umi Maryam memeluk erat tubuh Gus Hanan, air matanya mengalir deras, begitu pun dengan Gus Hanan. Entah kenapa disaat Abah dan Gus Hanafi tidak ada di rumah, cobaan besar ini terjadi.
Biru sendiri benar-benar sendih melihat kondisi Hilya. Gadis yang biasanya riang, ceria, selalu semangat, aktif, dan positif. Kini terlihat rapuh, sayu, kuyu, dan putus asa. Pipinya semakin tirus dengan lingkar hitam di sekitar mata.
"Tidak ada yang sia-sia, Ning. Semua yang Ning pelajari akan bermanfaat saat Ning bertemu dengan pria yang tepat di masa depan." kata Biru berjalan perlahan.
Namun Hilya menggeleng kuat. "Aku tidak butuh pria yang tepat atau masa depan. Yang aku mau cuma kamu Gus! Kamu!" pekiknya. "Jangan mendekat! Atau aku benar-benar akan melepaskan kursi ini!" katanya melihat Biru semakin mendekat.
"Ning, umi sayang banget sama Ning. Jangan begini, jangan sayang. Astaghfirullah, ya Allah...." kata umi Maryam dalam pelukan putranya.
Hilya menghapus air matanya dan memandang wanita yang telah melahirkannya. "Ning juga sayang banget sama umi, tapi Ning gak kuat, Mi. Ning gak kuat liat Gus Biru jadi milik wanita lain." katanya suaranya melemah, menandakan jika hatinya benar-benar sakit.
"Ning juga sayang Abah, Gus Hanan, Gus Hanafi." setelah mengucapkan kata-kata itu, Hilya menarik napas dalam-dalam dan memejamkan matanya lalu mengatakan, "Aku sangat mencintai mu, Banyu Sagara Albiru Bachtiar. Aku mencintaimu hingga akhir hidupku." bibirnya mengulum senyum.
Hilya kembali membuka matanya dan memandang Biru. "Jika aku tidak bisa memilikimu, biarkan aku mencintaimu sampai kematian ku. Karena aku tidak ingin mencintai pria lain."
"Ning," desis Biru, merasakan beban berat dalam hatinya.
Bruukkkk....
Tiba-tiba saja umi Maryam memeluk kaki Biru. "Tolong selamatkan putri umi, nak. Wanita tua ini tidak bisa jika harus kehilangan putrinya, tolong." pintanya. Umi Maryam sama sekali tidak bergeming walaupun Gus Hanan mengajaknya berdiri.
"Umi, umi jangan seperti ini. Astaghfirullah, dosa besar Biru kalau umi seperti ini." Biru membantunya bangkit. Namun umi Maryam semakin erat memeluk kaki Biru, ia tidak memikirkan harga diri, status sosial, dan lainya. Ia bisa melakukan hal yang lebih nekat dan gila, asalkan anaknya selamat, asal tidak kehilangan putrinya.
"Baiklah, Ning. Apa keinginan mu? Apa yang kamu inginkan?" tanya Biru lembut.
"Keinginan ku cuma satu, Gus. Jadi istri mu." kata Hilya tersenyum manis.
"Ning, aku sudah punya calon istri. Dan aku sangat mencintainya." tegas Biru, keinginan Hilya bukan hal remeh dan main-main.
"Aku tahu, dan aku juga tahu kalau Gus bisa menikahi lebih dari satu wanita." katanya bersikeras.
"Ning," tegur Gus Hanan yang sejak tadi hanya diam.
"Ning benar!" ketusnya.
"Nak Biru, tolong nikahi anak umi. Pernikahan dibawah tangan saja tidak apa." pinta umi Maryam pasrah, sepertinya ia benar-benar berada di titik terendahnya. Bagaimana bisa seorang ibu mengatakan hal itu? Sebab pernikahan dibawah tangan sangat merugikan pihak wanita, tapi apalah daya? Baginya, yang penting Hilya menghentikan aksi nekad nya.
Biru mematung tidak percaya dengan permintaan umi Maryam. "Tapi, umi...."
"Umi benar, aku tidak keberatan jika hanya dinikahi secara siri. Tapi dengan perjanjian, Gus tidak boleh menjatuhkan talak cerai padaku. Sampai kapan pun." kata Hilya tanpa ragu dan malu.
Biru mengepalkan tangannya, rasanya ia ingin berteriak meluapkan emosi nya. Jika ada seorang wanita mencintainya, kenapa Biru harus menikahinya? Apakah ia harus menikahi semua wanita yang mencintainya? Haruskah ia bertanggung jawab atas semua cinta untuknya? Tidak, ini sangat tidak adil bagi Biru.
Hilya terlihat kesal melihat Biru yang diam terlalu lama, ia sengaja bersuara untuk mendesak Biru agar pria itu tidak punya pilihan lain selain mengikuti keinginannya.
"Sepertinya kau harus menghadiri pemakaman ku." Hilya menatap sinis Biru, ia menendang kursi yang ada di bawah kakinya.
BRAKKKK.....
"NING!!!!" teriak semuanya yang ada dalam kamar itu. Gus Hanan dengan sigap memegang kaki Hilya agar tidak tergantung, umi Maryam menangis semakin histeris, Biru sendiri berusaha mengembalikan kursi yang tadi sudah terjatuh.
Hilya, ia masih meronta-ronta tidak ingin di selamatkan, sekuat tenaga berusaha melepaskan kakinya yang dipeluk Gus Hanan. Kursi yang di pasang Biru juga berulang kali di tolaknya, hingga jatuh lagi dan lagi.
"Ning, istighfar Ning, jangan seperti ini." ucap Gus Hanan sambil menangis, sekuat tenaga menahan tubuh Hilya.
"Ya Allah, Ning. Eling Ning, eling!!!" umi Maryam sudah terlihat lemas.
"Baiklah!" seru Biru. "Aku akan menikahi mu," ucap Biru dengan terpaksa dan berat hati.
Mendengar itu Hilya mulai tenang dan tidak memberontak lagi. "Tapi dengan beberapa syarat." tegasnya, Biru harus mempertegas sejak awal. "Pernikahan ini hanya diketahui oleh orang ndalem, aku hanya menikahinya secara siri, dan aku tidak menerima tuntutan apapun itu!" mungkin terdengar kejam, tapi inilah kenyataannya jika kau memaksa menikah dengan pria yang tidak mencintaimu.
"Aku setuju." kata Hilya tanpa berpikir panjang. Padahal, sudah jelas apa yang dikatakan Biru sangat merugikan dirinya dimasa depan, tapi ia seolah tidak perduli. Hilya sengaja menjatuhkan hidupnya dalam lubang kehancuran yang ia gali sendiri.
*
*
*
*
*
TBC