Kembali hidup setelah dirinya mati terbunuh. Itulah yang dialami gadis jenius bisnis bernama Galuh Permatasari. Ia bertransmigrasi ke era kolonial menjadi seorang gundik dari menheer tua bernama Edwin De Groot. Di era ini Galuh bertubuh gendut dan perangainya buruk jauh dari Galuh yang asli.
Galuh memahami keadaan sekitarnya yang jauh dari kata baik, orang - orang miskin dan banyak anak kelaparan. Untuk itu ia bertekad dengan jiwa bisnisnya yang membludak untuk mengentaskan mereka dari keterpurukan. Memanfaatkan statusnya yang sebagai Gundik.
Disaat karirnya berkembang, datanglah pemuda tampan yang tidak lain adalah anak dari menheer tua bernama Edward De Groot. Kedatangannya yang sekedar berkunjung dan pada akhirnya jatuh cinta dengan gundik sang ayah.
Lantas, bagaimana kisah kelanjutannya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lebih Ramah
Jono, Sukri dan Parmo tak berani berbalik. Ketiga anak itu teramat takut berhadapan dengan nyai Galuh sedekat ini. Pernah ketika Jono berlarian disekitar halaman rumah tuan Edwin, dia tak sengaja menginjak sandal nyai Galuh, ia langsung kena marah dan dihukum diguyur dengan air. Mengingat kejadian itu, Jono berharap tidak pernah berhadapan lagi dengan nyai yang pemarah itu.
"Berbalik lah kalian bertiga!" pinta nyai Galuh, mereka pun dengan tubuh gemetar memutar tubuh menghadap ke arah Nyai Galuh.
Nyai Galuh tampak memperhatikan penampilan mereka, tubuh yang ceking seperti kurang gizi, wajah mereka juga ketakutan dan tak bersemangat.
Sontak mereka bertiga mengangsurkan tubuhnya, duduk dengan lutut yang menekuk dan badan yang condong ke depan. Tangan-tangannya terkatup di depan dada, dengan kepala yang tertunduk rendah.
"Ampun, Nyai, kami tidak sengaja!" seru mereka bertiga kompak. Wajah mereka terlihat pucat dan dingin, dengan keringat yang muncul di dahi menambah kesan ketakutan yang mendalam. Mata yang biasanya cerah kini melebar dengan ketakutan. Alis yang terangkat tinggi dan bibir yang terkatup erat, menunjukkan betapa kuatnya emosi yang sedang dirasakan. Suara yang biasanya riang kini terdengar bergetar dan tidak stabil.
Galuh membungkuk, "Apa yang sedang kalian lakukan, berdirilah! Dan tidak perlu meminta ampun seperti ini. " ajak Galuh, membantu mereka untuk bangun. Galuh tidak mengerti mengapa mereka begitu ketakutan terhadap dirinya.
Jono dan yang lainnya mendongak dan saling melempar pandang. Seakan bertanya satu sama lain, benarkah ini nyai Galuh yang suka marah - marah itu ? Tapi, sepertinya ini bukan Nyai Galuh yang pernah mereka jumpai.
"Kalian tidak sekolah?" menjeda kalimatnya untuk memperhatikan reaksi mereka. Mereka menggeleng kompak. Jono dan yang lain menatap tak percaya sikap Nyai Galuh ini.
"Kenapa tidak sekolah?" tanya Galuh untuk mengetahui alasan mereka.
"Kami tidak diperbolehkan sekolah." sahut Jono meski awalnya tadi takut untuk menyampaikan pendapatnya.
"Tidak boleh sekolah ? Mengapa, pendidikan itu adalah hak kalian yang harus dipenuhi ?" Galuh lupa kalau ia sedang hidup di era kolonial dimana rakyat pribumi yang boleh sekolah hanyalah kalangan menengah ke atas.
Mereka terdiam, seakan juga tidak tahu alasan mereka tidak didaftarkan sekolah milik pemerintahan Belanda. Melihat sikap Nyai Galuh yang berubah ramah, mereka pamit undur diri dan akan melanjutkan bermain di tempat lain.
"Tunggu sebentar dan jangan kemana - mana !" Larang Galuh. Ia ingat masih banyak makanan sisa di meja makan. Dari pada mubazir lebih baik ia berikan pada orang lain. Lalu ia berbalik menuju ruang makan tadi untuk mengambil beberapa cemilan, roti dan buah.
"Apakah benar tadi Nyai Galuh ?" tanya Sukri pada Jono dan Parmo.
"Kamu buta atau bagaimana ? Badan segede kebo begitu masa kamu tak melihatnya, itu tadi asli Nyai Galuh." tukas Parmo.
"Terasa berbeda, tidak marah - marah seperti tempo hari dan sikapnya pada kita lebih ramah." Sukri terlihat berpikir.
"Aku juga tidak tahu. Jangan bertanya lagi, jika sampai Nyai mendengar ucapan kita, kita bakal dihukum lagi." Parmo menyudahi pembicaraan dan melihat nyai Galuh datang mendekat.
"Ssttt .... Nyai kembali!" bisik Sukri.
"Ini ada sedikit makanan, bagilah dan jangan berebut." membagi ke pada Jono. Di dunianya Galuh adalah seorang donatur tetap sebuah panti asuhan, jadi berbagi sudah menjadi kebiasaannya.
"Te-terimakasih Nyai !" seru mereka dengan suara bergetar dan takut. Setelah membagi makanan, ketiga bocah cungkring itu pergi.
Galuh merasa kesepian di rumah. Lantas ia kepikiran pergi ke dapur, mungkin disana ia bisa melakukan sesuatu dari pada berdiam diri terus.
Saat Galuh berada di dapur, kedatangannya rupanya mengejutkan semua pembantu yang sedang sibuk memasak.
"Nyai Galuh !" seru Karmini dan yang lain. Semua tampak memperhatikan, ada apa gerangan sampai membuat nyai itu datang ke dapur.
Galuh merasakan suasana yang hangat dan nyaman di dapur era kolonial ini. Terdapat tungku besar yang terbuat dari batu bata, dengan peralatan masak yang terbuat dari tembaga atau besi juga. Di tengah ruangan dapur ada meja kayu yang besar dan disebelahnya ada lemari penyimpanan yang elegan, menambah kesan yang mewah dan rapi. Peralatan makan juga elegan terbuat dari porselen dan perak. Kepulan asap dari tungku megeluarkan bau aroma masakan yang lezat dan hangat yang memenuhi udara dapur.
"Kalian masak apa ?" sapa Nyai Galuh dengan berjalan mendekati mereka. "Bukankah masakan pagi tadi masih ada ?"
"Masak soto Jawa, Nyai." sahut Karmini yang tidak menyangka jika Galuh akan menginjakkan dapur untuk pertama kalinya. Biasanya, Nyai Galuh berteriak memanggil salah satu nama pembantu untuk menyampaikan keinginannya.
"Aku sudah lama tidak menikmati masakan soto. Baunya saja begitu lezat membuatku ingin makan." Kelakar Galuh tanpa sadar, ia lupa dengan janjinya untuk diet.
"Nyai mau makan sekarang?" tanya Karmini dan bermaksud akan menyiapkan.
Pertanyaan pembantu itu terdengar sedang menegurnya. "Ah, tidak. Aku lupa. Aku sedang berencana untuk diet." sahut Galuh cepat.
"Mulai besok, aku akan membuat daftar menu makanan yang akan kalian masak. Tidak harus daging, karena aku tidak begitu suka makanan berlemak tinggi." setelah mengucapkan itu, Galuh permisi. Kepalanya sedikit pusing, mungkin efek dari benturan keras semalam. Bahkan kejadian sebelumnya ia tidak tahu bagaimana bisa Galuh yang asli terbentur kepalanya.
Sampai siang rupanya ia tertidur. Pusing di kepalanya membawa sederet dampak, beberapa ingatan mengenai Galuh yang asli muncul berurutan. Yang paling ia ingat terakhir kejadian di mana ada pencuri yang ternyata itu suruhan Wilda untuk mencelakainya.
.
Hari sudah siang, matahari bersinar terang di langit biru yang tak berawan. Sinarnya yang hangat dan lembut menerangi segala sesuatu, membuat bayangan yang jelas di tanah. Udara yang panas dan kering, dengan sedikit hembusan angin yang membawa aroma bunga dan dedaunan, membuat suasana menjadi lebih hidup. Burung-burung berkicau dengan riang, menambah kesan yang ceria dan menyenangkan pada siang hari yang indah itu.
Wilda pulang dari acara organisasinya dan mendapati Nyai Galuh sedang duduk seperti menunggu kedatangan seseorang.
"Enak sekali pekerjaan mu yang hanya duduk bersantai saja." Wilda menatap sinis.
Nyai Galuh tak bergeming, hanya menatap saja.
"Aku tahu kamu hanya pura - pura amnesia untuk mendapatkan perhatian suamiku. Andai saja semalam kamu tidak bangun dan terus tertidur untuk selamanya."
"Terimakasih sudah mendoakan ku tapi, aku belum mau mati sekarang. Rupanya kamu berpura - pura manis dihadapanku." Sarkas Nyai Galuh.
Wilda membelalak kaget, "Kamu ?" Nyai Galuh yang biasanya takut padanya kini mulai berani mengambil suara lebih panjang.
"Aku tidak akan menjadi nyai yang selalu kamu remehkan." Ujar Galuh seakan menantang.
"Apa kamu akan melaporkan ku pada suamiku?" Wilda menjadi cemas, dan bersiap jika Galuh melaporkannya.
"Tentu tidak. Aku bukan orang yang pengecut. Tapi, aku punya rencana sendiri untuk membalasmu." tatapan Galuh menakutkan membuat Wilda bergegas pergi.
Entah mengapa memori dari Galuh yang asli sedikit - sedikit muncul di ingatannya.