Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 5.
Tingkah Anindya semakin hari semakin menjadi. Seakan tidak cukup mengganggunya di rumah, sekarang juga mau menginvasi ruang amannya--kantor. Berdalih disuruh Oma mengantar makan siang, gadis ingusan itu bersikeras datang. Malik sudah bilang tidak usah, tapi si keras kepala itu tetap nekat datang.
Dua menit lalu, Anindya bilang sudah hampir tiba. Karena sedang hamil, dia tak diizinkan membawa mobil sendiri. Ujung-ujungnya apa? Ya, betul. Sopir pribadi Oma yang disuruh mengantarnya kemari. Padahal Malik sengaja menggaji sopir itu untuk standby kalau-kalau Oma perlu pergi ke suatu tempat saat dirinya tidak ada di rumah. Supaya tidak repot memesan taksi online.
Memang merepotkan sekali yang namanya Anindya Semesta itu.
"Meeting dengan Pak Wiguna mundur ke jam 4, beliau baru landing jam 2, pesawatnya delay."
Malik hanya berdeham menanggapi laporan Yudhis (asisten pribadinya). Ia memijat pelipis. Pusing memikirkan gebrakan apa lagi yang akan Anindya buat hari ini. Otak pintarnya yang lihai membaca pasar pun seakan buntu kalau disuruh berpikir tentang bagaimana caranya menghadapi gadis itu.
"Makan malam dengan Bu Kris sudah dibuat reservasi di restoran X, jam 7. Untuk besok, jadwal paling pagi ada di jam 9, meeting dengan perwakilan dari V.Corp."
Malik masih hanya berdeham. Pikirannya terlalu runyam.
"Lalu proyek yang ini," Yudhis sedikit membungkukkan badan, mempermudah dirinya menunjukkan poin di dalam berkas yang hendak dibahas.
Malik ikut maju, dan saat itulah dia mendengar pintu ruangannya dibuka. Secara impulsif, Malik menarik lengan Yudhis hingga jatuh ke pangkuannya. Dia memegang tengkuk lelaki itu, membawa wajahnya mendekat. Ingin memberikan kesan bahwa mereka sedang berciuman mesra. Entah, ide gila itu melintas di kepalanya begitu saja.
Yudhis awalnya kebingungan, tapi segera paham setelah menangkap kode dari tatapan Malik. Demi mendukung akting bosnya, lelaki itu menangkup wajah Malik dan mulai memiringkan kepala. Kepalanya bergerak perlahan, miring ke kiri lalu ke kanan, sambil jemarinya meremas halus rambut Malik demi menambah kesan intim dan panas. Merinding disko, demi Tuhan, tapi ditahan-tahan demi gajinya tidak dipotong sembarangan.
Di belakang mereka, Anindya berdiri mematung sambil membekap mulutnya yang menganga lebar. Makan siang yang dibawa jauh-jauh, jatuh bergelimpangan di lantai dan menimbulkan kegaduhan.
Langit pura-pura terkejut. Mendorong tubuh Yudhis menjauh dan tampak gelagapan ketika netranya bertemu tatap dengan Anindya.
"Mas Malik...."
"S-saya permisi," kata Yudhis gugup. Kalang-kabut membereskan berkas dari atas meja Malik, lalu lari terbirit-birit. Bukan hanya karena sudah merinding sebadan-badan, tapi juga malu kalau harus berlama-lama bersinggungan dengan Anindya. Dia tak ingin gadis itu mengingat wajahnya lalu mencap dirinya sebagai homo betulan. Apalagi kalau mulut Anindya ternyata ember. Waduh, bisa hancur reputasi yang dibangun susah payah selama bertahun-tahun mengabdi di perusahaan ini.
"Oh, udah sampai." Malik kembali berakting sok cool. Dasinya yang sedikit berantakan dirapikan, begitu juga dengan kemeja depannya yang sedikit lecek.
Anindya menjauhkan tangannya dari mulut, lalu berjongkok memungut kotak makan siang yang jatuh. Untung saja kualitasnya oke, jadi makanan di dalamnya tetap aman meski wadahnya jatuh dari ketinggian. Anindya bawa kotak makan itu ke meja panjang di ruang kerja Malik, diletakkan sembari dia duduk di sofa empuk.
"Ya ampun, Mas Malik ... Anin nggak nyangka ternyata Mas Malik homo."
Malik sudah akan tersenyum karena berpikir rencananya berhasil. Namun, ketika Anindya kembali membuka mulut, bibirnya langsung kembali melengkung cemberut.
"Mas Malik pikir Anin bakal bilang begitu, kan?" kata sang gadis.
Malik memasang wajah datar, berdiri menyandarkan bokongnya di meja kerja dengan tangan bersedekap.
"Memang seharusnya bilang begitu. Kamu udah lihat sendiri saya sama Yudhis habis bersenang-senang."
Anindya menggeleng. "Nggak semudah itu bohongin Anin," katanya. "Asal Mas Malik tahu, Anin udah sering lihat pasangan homo, jadi nggak mudah ditipu. Mas Malik sama Mas Yudhis nggak ada homo-homonya sama sekali."
"Sok tahu."
"Dih," sebelah bibir Anindya naik, mencibir, dan tampak jelek di mata Malik.
"Saya udah bilang nggak usah ke sini," kata Malik mengalihkan pembicaraan.
Tapi Anindya belum mau move on dari pembahasan soal perhomoan. "Lagian ya, kalaupun Mas Malik homo, Anin juga nggak peduli. Kita bakal tetap menikah, soalnya Anin kan lagi hamil anak Mas Malik." Ia berceloteh sambil mengusap-usap perutnya yang buncit. Bukan isi bayi, tentu saja, melainkan dua porsi bakso beranak dengan ekstra sambal dan sedikit cuka.
Pusing sekali kepala Malik. Si kecil ini ternyata tak semudah itu dihadapi. Dia jadi bertanya-tanya, semengerikan apa calon kandidat yang hendak dikenalkan oleh papanya, sampai-sampai dia kekeuh ingin menikah dengan Malik saja, padahal jelas-jelas Malik juga bukan laki-laki yang menyambutnya dengan baik?
"Whatever," gumam Anindya sambil mengibaskan tangan. "Habis dari sini, Anin pinjam Pak Sopir buat ke toko buku sebentar, ya. Ada buku yang pengin Anin beli."
"Nggak boleh."
Rahang Anindya jatuh. "Kok?"
"Sopir saya harus standby di rumah kalau-kalau Oma butuh. Kamu nggak bisa seenaknya pakai sopir saya begitu." Malik mengomel.
Anindya mencebik. "Sebentar doang, lagian Oma juga nggak mau ke mana-mana."
"Nggak boleh ya nggak boleh," kekeuh Malik.
Anindya sudah makin cemberut, lalu Malik menambahkan, "Kasih tahu aja buku apa yang mau kamu beli, nanti saya belikan. Sekarang pulang, jangan keluyuran lagi bawa sopir saya."
Tak jadi sedih, Anindya seketika happy. Bokongnya terangkat dari sofa dan langkahnya sudah akan melambung di udara. Namun dia berhenti sesaat sebelum meninggalkan sofa dan berbalik.
Alis Malik menukik. "Kenapa lagi?"
Anindya nyengir kuda. "Bagi nomor hapenya dong, biar Anin chat Mas Malik buku apa aja yang mau Anin beli. Banyak soalnya," katanya sambil menyodorkan ponselnya kepada Malik.
"Kamu nggak punya nomor saya?" tanya Malik setengah tak percaya.
Anindya menggeleng.
"Kenapa nggak minta sama Oma?" tanyanya lagi, tapi sambil mengetikkan nomor teleponnya di ponsel Anindya. Setelah selesai, dia kembalikan ponsel tersebut.
"Nggak boleh asal minta nomor telepon orang tanpa persetujuan yang punya, nggak sopan," ujar Anindya.
Malik berdecih. Ada aneh-anehnya juga gadis ini bicara sopan santun. Memangnya menjebak orang asing untuk jadi bapak dari anak khayalannya itu bisa dibilang sopan?
"Kalau gitu, Anin pamit pulang ya Mas Malik. Makasih!"
"Ya." Hanya begitu Langit menjawab.
Setelah punggung Anindya menghilang di balik pintu, tubuh Malik merosot ke lantai. Jemari panjangnya menarik-narik rambutnya kasar. Sungguhan, belum apa-apa, dia sudah stres berat menghadapi Anindya. Apa kabar kehidupan pernikahan mereka nanti???
Bersambung....