NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hamil

Kinasih mencibir, matanya melotot penuh kebencian. “Kerja apa? Kamu pikir aku nggak tahu? Kerja nggak benar! Kamu itu pelacur, Renaya!”

Sejurus kemudian, wajah Renaya memerah padam. Tangannya terangkat, nyaris meraih rambut Kinasih, andai saja Baskoro tak muncul dari balik pintu dapur, segera merenggangkan keduanya.

“Sudah! Hentikan suara kalian sebelum ibumu mendengar pertengkaran ini,” Baskoro menyela tajam, menyembunyikan letih yang terukir di wajahnya.

Renaya memalingkan wajah, matanya menyorot geram. “Harusnya Bapak sebagai kepala keluarga bisa jaga Sandrawi, supaya dia nggak sampai hamil kayak begini!” serunya, dadanya bergetar menahan sesak. “Kalau Ibu tahu bagaimana kelakuan Bapak… aku yakin, detik ini juga Ibu pasti ninggalin Bapak!”

Tangan Baskoro mengepal erat, sekujur tubuhnya menegang. Andai saja rumahnya tak dipenuhi banyak orang, mungkin tangannya sudah melayang ke kepala Renaya yang berani bicara setajam itu padanya.

“Renaya! Cukup!” bentak Baskoro, suaranya bergemuruh menahan amarah. “Dari tadi Bapak perhatikan, kamu nggak bisa jaga ucapanmu! Kamu menuduh Kinasih, sekarang Bapak juga?! Kamu sendiri ke mana selama ini, hah?! Kamu pikir cuma kamu yang paling benar?!”

“Aku hanya bicara kenyataan, kan?!” Renaya membalas tak kalah lantang.

Baskoro mendesah berat, jemarinya menekan pelipisnya yang terasa berdenyut. Tak ingin perdebatan berkepanjangan di depan khalayak, ia mengeraskan suara, “Masuk ke kamar. Bapak nggak mau ibumu dengar teriakan kalian. Ibumu masih syok karena kepergian Sandrawi.”

Renaya mengepalkan rahangnya, tapi akhirnya ia melangkah pergi tanpa berkata lagi. Ia masuk ke kamar yang sudah lama tak disentuhnya sejak meninggalkan rumah. Sementara itu Baskoro mendudukkan diri di ruang tamu, berhadapan dengan Kinasih yang memeluk kedua lututnya.

“Kemana Adibrata?” tanya Kinasih pelan.

Baskoro menghela napas kasar, “Bapak nggak tahu ke mana anak keras kepala itu pergi.”

“Dia sudah tahu keadaan Sandrawi?”

“Dia lihat sendiri sebelum pergi. Dia menyaksikan jasadnya,” jawab Baskoro getir.

Kinasih mengembuskan napas panjang, kepalanya tertunduk. Di seluruh sudut rumah, hanya isak pilu yang menemani keheningan.

Tak berselang lama, petugas medis keluar, membawa kantung jenazah berisi tubuh kaku Sandrawi. Renaya tak kuasa menahan air matanya yang kembali tumpah tanpa ampun.

“Sesuai prosedur, kami akan membawa jenazah Sandrawi ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi,” ucap seorang polisi sambil menghormat.

“Autopsi? Tidak perlu. Saya hanya ingin segera memakamkan anak saya,” tolak Baskoro tegas.

“Maaf, Pak. Autopsi prosedur wajib untuk mengetahui penyebab kematian secara pasti,” sahut polisi itu sopan.

“Bapak… biarkan, Pak,” sela Renaya sambil terisak. “Aku yakin Ibu juga akan setuju.”

Baskoro mengembuskan napas berat, hatinya remuk, tapi akhirnya ia mengangguk pasrah. Jasad Sandrawi pun dinaikkan ke ambulans, meninggalkan rumah yang dipenuhi pelayat. Ratih hanya bisa terisak di kamar, ditemani Kinasih yang terus berusaha menenangkannya.

“Kalian jaga Ibu. Biar Bapak saja ke rumah sakit,” ujar Baskoro sambil bersiap.

“Aku ikut,” ucap Renaya tegas.

“Jangan keras kepala, Renaya!” tegur Baskoro.

“Biar aku di sini sama Ibu,” suara Bagantara ikut bergema. “Bapak, Renaya, kalau mau ke rumah sakit silakan. Aku jagain Ibu. Kinasih juga… kalau mau ikut, pergi saja.”

Akhirnya Baskoro, Renaya, dan Kinasih menuju rumah sakit, mengantar jenazah Sandrawi ke ruang forensik. Ketika tiba, seorang perawat langsung mengarahkan mereka menuju instalasi forensik.

“Silakan menunggu di ruang tunggu. Proses autopsi memakan waktu satu hingga dua jam,” jelas sang perawat sebelum meninggalkan mereka.

Renaya mengintip ke balik kaca besar, matanya perih melihat tubuh Sandrawi yang terbujur kaku dikelilingi dokter forensik berseragam hijau. Namun tak mampu menahan perasaan, Renaya cepat-cepat memalingkan wajahnya dan memilih duduk bersandar di sisi Kinasih, menanti dengan dada sesak.

Hampir dua jam berlalu, seorang dokter akhirnya keluar.

“Pemeriksaan selesai,” katanya tenang. “Tidak ditemukan luka fisik. Penyebab kematian berasal dari kegagalan suplai oksigen akibat lilitan tali di leher korban.”

Meski Renaya sudah menduga, mendengar penegasan itu langsung dari dokter membuat lututnya seketika lemas, jiwanya seperti terkoyak untuk kedua kalinya.

“Dan… kami juga menemukan fetus di dalam rahimnya. Apa keluarga mengetahui bahwa Sandrawi dalam kondisi mengandung?”

“Apa? Mengandung?!” pekik Renaya, tubuhnya bergidik oleh keterkejutan yang tak mampu ia redam.

“Maksudnya… anak saya hamil?” suara Baskoro tercekat, matanya membelalak, sulit menerima kenyataan yang baru saja terucap.

“Ya,” jawab dokter dengan tenang, “berdasarkan hasil pemeriksaan, Sandrawi tengah mengandung, usia kehamilan diperkirakan sekitar empat minggu.”

Kedua lutut Renaya terasa goyah, ia jatuh terduduk di kursi yang sejak tadi ia duduki, matanya menatap kosong ke lantai. Sementara Kinasih dan Baskoro tak kalah terperanjat, keduanya terpaku dalam ketidakpercayaan. Tidak seorang pun menyadari rahasia sebesar ini tersimpan rapat di balik senyum Sandrawi, hingga tubuhnya terbujur kaku di ruang forensik.

“Tidak mungkin! Anak saya tidak mungkin hamil! Kalian salah!” teriak Baskoro membuncah, tubuhnya bergerak liar mendorong sang dokter, berusaha menerobos masuk ke ruang autopsi.

“Tenang, Pak! Bapak tidak boleh masuk ke dalam!” seru dokter tersebut, bersusah payah menahan tubuh Baskoro yang dipenuhi emosi.

Renaya yang hatinya tercabik-cabik pun sontak bangkit berdiri. Kedua matanya sembab, tetapi amarah membuatnya berdiri tegak.

“Adik saya nggak mungkin hamil, Dok! Sandrawi bukan perempuan seperti itu!” suara Renaya bergetar, menggema keras, tak peduli ruangan itu kini dipenuhi tatapan iba.

Malam datang tanpa belas kasih. Setelah seharian mengantar Sandrawi ke peristirahatan terakhirnya, Renaya masih saja terjaga. Kedua matanya menatap kosong langit-langit kamar yang tak pernah lagi terasa hangat sejak kepulangannya.

Bayang-bayang wajah adiknya terus menghantui, mengiris relung hati yang telah rapuh. Renaya berkali-kali meyakinkan diri, Sandrawi tak mungkin menggantung dirinya sendiri. Sandrawi bukan gadis selemah itu—ia selalu tampak tangguh meski mungkin menyimpan luka yang tak pernah ia ceritakan.

Namun kenyataan bahwa adiknya mengandung membuat Renaya semakin dicekam rasa bersalah. Seberapa berat beban yang dipanggul Sandrawi selama ini? Seberapa sesak hari-harinya hingga memilih jalan seterjal itu?

Renaya menghela napas panjang, lalu melangkah gontai meninggalkan kamar. Rumah itu kini sunyi, Baskoro dan Kinasih sudah bersembunyi di dalam kamar masing-masing, larut dalam kesedihan mereka sendiri.

Saat menuju dapur, langkah Renaya terhenti di depan kamar Sandrawi. Pintu yang tak sepenuhnya tertutup membuat dada Renaya semakin sesak. Ia tak mampu mengabaikannya. Tangan Renaya meraih gagang pintu, membukanya perlahan, dan melangkah masuk.

Kamar itu masih sebersih dan serapi yang ia ingat. Sandrawi selalu menjaga kerapian, bahkan hingga detik terakhir kehidupannya. Jemari Renaya bergetar saat menyentuh pigura kayu yang berisi potret Sandrawi tengah tersenyum. Senyum yang kini hanya menjadi kenangan.

Setetes demi setetes, air mata kembali meluncur di pipi Renaya. Ia terlalu lelah untuk menangis, namun terlalu rapuh untuk berhenti meratap.

“Sandrawi… maafin Kakak, ya…” bisiknya lirih pada kehampaan. Pada dinding sunyi yang hanya menjawab lewat pantulan bayangan dirinya sendiri.

Ketika ia mengembalikan pigura ke tempat semula, tatapannya tertumbuk pada seberkas amplop yang menyembul di sela tumpukan buku. Renaya mengerutkan dahi, rasa penasaran mengusik.

“Apa ini?” gumamnya.

Dengan tangan gemetar, ia meraih amplop itu dan membukanya perlahan. Selembar kertas berisi tulisan tangan tergolek di dalamnya. Renaya menghapus air mata yang mengaburkan penglihatannya, lalu perlahan duduk di tepian ranjang Sandrawi.

Jantungnya berdegup tidak karuan, menahan napas sebelum membaca isi surat, pesan terakhir yang entah akan menjawab atau justru menambah luka yang telah meradang.

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!