NovelToon NovelToon
Kau Dan Aku Selamanya

Kau Dan Aku Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Selingkuh / Crazy Rich/Konglomerat / Pelakor / Cinta Seiring Waktu / Suami Tak Berguna
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Singapura – Ruang Rapat Investor

Ruang rapat di lantai atas hotel bintang lima itu dipenuhi aura megah yang menekan dada. Dinding kaca menjulang, memperlihatkan panorama Marina Bay yang berkilau, namun di dalam ruangan itu, hawa dingin dari pendingin ruangan terasa seperti pisau tajam yang menusuk kulit. Para investor asing duduk berjejer rapi, jas mereka rapi, tatapan mereka tajam—bagaikan hakim yang siap menjatuhkan vonis.

Di ujung meja, Laura berdiri dengan senyum percaya diri. Rambutnya ditata sempurna, gaun kantornya elegan, dan di tangannya sebuah pointer kecil bergetar halus. Slide pertama muncul di layar.

“Good morning, ladies and gentlemen,” ucap Laura, suaranya lantang namun sedikit terburu. “Today, I will present to you our company’s strategic project plan…”

Kalimat pembuka mengalir, slide demi slide berganti. Tetapi tidak butuh waktu lama sebelum segalanya mulai runtuh.

Seorang investor mengangkat tangan. “Excuse me, Miss Laura. On page twelve, the financial projection doesn’t match the cost structure in appendix three. Can you explain?”

Laura tertegun. Matanya menyapu layar, lalu lembaran di tangannya. Senyum percaya diri yang tadi merekah mulai goyah. “Uh… I believe… it should be correct, maybe there is… a slight misprint?”

Tatapan tajam menyapu ruangan. Desahan kecil terdengar. Investor lain menyusul, kali ini dengan nada lebih tajam. “And on the technical design, the engineering blueprint is incomplete. There are missing variables. Was this approved?”

Peluh dingin menetes di pelipis Laura. Kata-kata Audy tentang rancangan “belum final” kini mewujud nyata dalam bentuk lubang-lubang memalukan di setiap halaman presentasi. Pointer di tangannya bergoyang liar, seolah ikut menggambarkan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.

Suasana ruangan semakin berat. Investor mulai bertukar pandang, beberapa berbisik, bahkan ada yang geleng-geleng kepala. Suara Laura makin lirih, kalimatnya tersendat. Semua yang semula tampak meyakinkan, kini runtuh di depan matanya.

Dan untuk pertama kalinya dalam kariernya, Laura merasa telanjang di hadapan dunia.

Laura berusaha menjaga senyumnya, matanya berpindah-pindah antara layar besar di depan dan wajah para investor. Tetapi dari cara mereka saling pandang, saling mengangkat alis, dia bisa merasakan sesuatu yang tidak beres.

Seorang pria berkacamata tipis dengan rambut memutih—ketua tim investor asal Jepang—angkat tangan. Suaranya datar, namun tajam seperti bilah samurai.

“On page twelve, your revenue forecast contradicts the cost analysis in appendix three. Can you explain the discrepancy?”

Laura menelan ludah. Ia menatap sekilas lembaran di tangannya, jantungnya berdegup kencang. “U-uh… I believe… the numbers should be aligned…”

Seketika, bisik-bisik terdengar di meja. Ada yang mencatat cepat, ada yang menatap Laura dengan dingin.

Belum sempat ia melanjutkan, seorang investor lain—wanita asal Singapura dengan suara tegas—menyambar,

“And what about the engineering section? On the blueprint, the load capacity formula is missing key variables. This cannot be a finalized design.”

Kata missing key variables menggema di telinganya seperti palu godam. Pointer di tangannya gemetar, nyaris terlepas.

Laura mencoba mengalihkan dengan menekan remote, mengganti slide berikutnya. Tetapi justru semakin buruk. Grafik tak lengkap, tabel melompong, catatan teknis terputus di tengah kalimat.

Seorang investor asal Eropa, dengan aksen berat, mencondongkan tubuhnya ke meja. “Are you telling us this project plan is unfinished? We came here for a comprehensive presentation. What exactly are you selling us, Miss Laura?”

Udara di ruangan itu mendadak menipis. Laura merasakan peluh dingin mengalir di punggungnya, membasahi kain tipis blus formalnya. Dia tersenyum kaku, mencoba mencari kalimat penyelamat. “I… I assure you, the final plan is solid. Maybe… maybe there was a small mistake in the files I received…”

“Small mistake?” suara pria Jepang tadi meninggi, kali ini tanpa lagi menyembunyikan kekesalannya. “Billions are at stake here. If you cannot even provide us with accurate documents, how can we trust your company’s capability?”

Ruangan bergemuruh. Suara kursi bergeser, investor yang berbisik dalam berbagai bahasa, wajah-wajah yang berubah dari penasaran menjadi muak.

Laura berdiri kaku, seperti boneka yang tali-talinya diputus. Suara-suara itu menusuknya, meluluhlantakkan setiap lapis percaya diri yang tadi ia bawa masuk.

Seorang investor lain, pria berusia tiga puluh lima dengan setelan abu-abu rapi, menyilangkan tangan dan berkata dingin, “If this is what your company calls a strategic project, then I’m afraid our partnership ends here.”

Kalimat itu seperti vonis.

Laura menunduk, wajahnya terbakar malu, tangannya gemetar mematikan slide yang belum tuntas.

Di sudut ruangan, manajer lokal yang mendampinginya menutup wajah dengan tangan, seolah ingin menghilang dari tempat itu.

Sementara itu, deretan investor bangkit satu per satu, “This is a waste of time.” ucap salah satu dari mereka yang kemudian meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi.

Di ruang rapat Singapura yang kini hampir kosong, Laura duduk terpuruk di kursinya. Riasannya yang tadinya rapi mulai luntur oleh keringat. Dokumen-dokumen berserakan di meja, sebagian bahkan ditinggalkan investor tanpa peduli. Seorang pria asing yang terakhir keluar menoleh sebentar dengan tatapan dingin.

“Your company just lost a golden chance. We won’t reconsider.”

Pintu tertutup. Bunyi dentuman itu seperti gendang kematian.

Laura menutupi wajahnya dengan kedua tangan, dadanya sesak. Dia tahu, berita ini akan menyambar cepat ke Jakarta, membawa badai besar yang tidak akan bisa dia hadapi sendirian.

***

Jakarta.

Teddy menghantam meja dengan tinjunya. “Sialan!” suaranya pecah, membentur dinding kaca. Ponsel di tangannya berulang kali ia tekan, nomor Audy dipanggil sampai layar merah menyala. Tak ada jawaban.

Dia lalu berlari ke pintu, hampir menabrak sekretarisnya. “Sudah berhasil hubungi Audy?”

Sekretaris itu menggeleng, wajah pucat. “Belum, Pak. Saya sudah coba hubungi semua kontaknya. Bahkan… kabarnya dia sudah keluar dari grup kantor.”

Seakan dunia Teddy runtuh. Lututnya lemas, dia kembali masuk ke ruangannya, menjatuhkan tubuh ke kursi. Kartu ID Audy masih tergeletak di atas meja, dingin, seolah mengejeknya.

Disisi lain telepon di meja Teddy berdering tak henti. Begitu dia angkat, suara gusar dari salah satu dewan komisaris meledak.

“Apa-apaan ini, Pak Teddy?! Investor kabur! Anda bilang proyek sudah siap, padahal dokumen masih belum final?!”

“B-bukan, Pak… saya—” Teddy tergagap, keringat menetes deras dari pelipisnya.

“Tidak ada alasan! Mereka menuduh kita tidak profesional, bahkan mempertimbangkan untuk memutus kontrak lama. Do you realize what this means?! Saham kita akan jatuh besok pagi!”

Pria separuh baya itu berkali-kali menepis keringat yang mengucur di pelipisnya sembari menggenggam gagang telepon ditelinganya, memohon  “Pak… beri saya waktu, saya bisa perbaiki. Saya hanya butuh… saya butuh Audy kembali. Dia satu-satunya yang bisa—”

“Diam, Pak Teddy!” bentak suara di seberang. “Jangan sebut nama dia lagi. Anda yang bikin dia keluar, dan anda yang bikin perusahaan ini di ujung jurang. Kami akan adakan rapat darurat sore ini. Dan sepertinya… kursi direktur sudah terlalu besar untuk anda.”

Sambungan telepon terputus dengan kasar. Teddy terdiam, tubuhnya bergetar. Kepalanya berdenyut seperti dipukul palu berkali-kali. Dia berusaha berdiri, tapi lututnya lemas, membuatnya kembali terjerembab di kursi.

Sementara itu, kabar buruk menyebar cepat seperti api menjilat kertas kering. Grup internal perusahaan mendidih—pesan demi pesan masuk:

“Investor batalin kontrak??”

“Katanya dokumen yang dibawa Laura belum final makanya presentasi kacau.”

“Itulah akibatnya kalau mencuri ide orang lain, Bu Audy sampai mengundurkan diri gara-gara ini.”

“Bisa gawat kalau begini terus”

Para karyawan mulai saling pandang dengan wajah pucat. Di lobi, gosip liar merebak, bisikan-bisikan yang biasanya hanya berani muncul di ruang pantry kini menggema lantang.

Nama Teddy disebut di mana-mana, bukan sebagai pemimpin, melainkan sebagai biang kehancuran.

***

Keesokan paginya, layar-layar elektronik di Bursa Efek Jakarta dipenuhi warna merah menyala. Angka demi angka merosot, grafik saham perusahaan Teddy terjun bebas, bagai pesawat kehilangan sayap.

Di ruang rapat darurat, suara para komisaris meninggi. Teddy duduk di ujung meja, wajah pucat, dasinya longgar, keringat membasahi kemejanya.

“Cukup sudah, Teddy! Perusahaan ini nyaris bangkrut gara-gara ulah anda. Anda sudah gagal!” bentak seorang komisaris tua.

“Tapi saya bisa perbaiki—”

“Tidak ada waktu! Anda resmi kami copot dari jabatan direktur utama, efektif per detik ini juga.”

Palu sidang rapat diketuk. Dentumannya menggema keras, mengunci nasib Teddy.

Sore itu, setelah rapat berakhir dan gedung mulai lengang, Teddy menyendiri di ruangannya untuk terakhir kali. Lampu redup membuat bayangan wajahnya terlihat lebih tua sepuluh tahun. Meja yang dulu simbol kekuasaan kini terasa dingin dan kosong.

Dengan tangan gemetar, dia meraih ponselnya. Satu nama terpampang di layar: Audy.

Jari-jarinya ragu, namun akhirnya ia menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar. Satu kali. Dua kali.

Dia mencoba lagi. Kali ini, dia meninggalkan pesan.

“Audy, saya mohon. Saya rela melakukan apa pun. Tolong bantu saya membereskan kekacauan ini.”

Pesan itu terkirim. Tidak ada tanda terbaca.

Di tempat lain, Audy duduk memandang jalanan ibukota dari balik jendela kafe favoritnya sembari mengagumi langit senja Jakarta yang berwarna emas. Ponselnya bergetar, namun dia tidak bergerak untuk meraihnya. Ia tahu siapa yang mencoba menghubungi.

Dia hanya menghela napas, lalu mematikan ponsel itu sepenuhnya.

***

1
Widya Herida
lanjutkan thor ceritannya bagus
Widya Herida
lanjutkan thor
Sumarni Ukkas
bagus ceritanya
Endang Supriati
mantap
Endang Supriati
engga bisa rumah atas nama mamanya audi.
Endang Supriati
masa org penting tdk dpt mobil bodoh banget audy,hrsnya waktu dipanggil lagi nego mau byr berapa gajinya. nah buka deh hrg. kebanyakan profesional ya begitu perusahaan butuh banget. td nya di gaji 15 juta minta 50 juta,bonus tshunanan 3 x gaji,mobil dst. ini goblog amat. naik taxi kwkwkwkwkkk
Endang Supriati
audy termasuk staff ahli,dikantor saya bisa bergaji 50 juta dpt inventaris mobil,bbm,tol,supir,by perbaikan mobil di tanggung perusahaan.bisa ngeclaim entertaiment,
Endang Supriati
nah itu perempuan cerdas,sy pun begitu proyek2 sy yg kerjakan laporan 60 % sy laporkan sisanya disimpan utk finslnya.jd kpu ada yg ngaku2 kerjja dia,msmpus lah.
Syiffa Fadhilah
good job audy
Syiffa Fadhilah
sukur emang enak,, menghasilkan uang kaga foya2 iya selingkuh lagi dasar kadal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!