Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.
Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".
Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
YANG TIDAK SUKA DAN SUKA
Rapat staf pagi itu berjalan lebih senyap dari biasanya. Ruang kecil bermeja panjang yang biasanya dipenuhi tawa dan obrolan ringan kini hanya berisi suara kipas angin dan gesekan pena.
Kirana duduk di antara Dina dan seorang perawat senior bernama Bu Reni — sosok YANG berwajah tajam, berkacamata bulat, dan terkenal galak DI Puskesmas ini. Sejak Kirana masuk dua minggu lalu, tatapan Bu Reni padanya tak pernah benar-benar ramah.
“Baik,” kata dr. Raka membuka rapat, “kita mulai dengan evaluasi program imunisasi dan layanan ANC minggu ini.”
Setelah data disampaikan, Raka mempersilahkan siapapun memberi masukan. Kirana, yang sudah mencatat beberapa hal penting, angkat tangan pelan.
“Saya ada saran sedikit, Dok,” ucapnya sopan.
“Ya. Silahkan dokter Kirana,”
“Kalau boleh, jadwal pelayanan ANC bisa kita geser ke sore hari sekali seminggu. Supaya ibu-ibu yang kerja di ladang pagi bisa tetap ikut pemeriksaan.”
Beberapa staf saling pandang. Bu Reni langsung menyelutuk, “Memangnya ibu-ibu di sini mau keluar sore-sore? Mereka bukan warga kota yang punya babysitter.”
Beberapa tertawa kecil.
“Sore hari itu juga di luar jam kerja! Kita-kita kan juga punya tanggung jawab di rumah masing-masing, Dok!” sambung yang lain.
Kirana tersenyum tipis. “Saya hanya menyampaikan apa yang saya dengar langsung dari pasien. Mereka bilang repot datang pagi karena harus bantu panen atau masak untuk keluarga besar,” jawab Kirana. “Soal jam sore, saya bisa meluangkan waktu kok!”
Raka menanggapi datar, “Ide yang masuk akal. Berhubung dokter Kirana bersedia, ya… kita coba jajaki minggu depan.”
Bisik-bisik terdengar, namun Raka melanjutkan rapat itu dengan topik lain.
Selesai rapat, Kirana melangkah ke ruang tindakan, mempersiapkan alat untuk pemeriksaan pasien. Dina mengikuti di belakangnya.
“Kamu keren tadi, Kir. Tetap tenang padahal Bu Reni udah kayak mau telan orang.”
Kirana tertawa kecil. “Sepertinya di nggak suka aku, ya kan?”
Dina tampak berpikir sejenak, “Ya… nggak cuma dia sih.” Dina menunduk sambil menggaris buku register di meja nya. “Kamu dokter, dari kota, cantik, akrab sama Kepala Puskesmas. Itu udah cukup bikin beberapa orang merasa... apa namanya? Mmm… iri.Semacam itulah.”
Kirana menghela napas lalu bersandar pada kursi nya. “Padahal aku nggak minta dilirik atau nyari perhatian siapa-siapa. Aku cuma kerja.”
“Nah, itu dia masalahnya. Kamu kerja terlalu serius,” bisik Dina sambil nyengir. “Di sini, yang terlalu semangat suka dianggap cari muka.”
Kirana hanya bisa tersenyum. Tapi saat ia masuk ke ruang tindakan, ia menemukan sesuatu yang membuat senyumnya hilang.
Stetoskopnya tidak ada.
Ia yakin betul meletakkannya di atas meja periksa semalam. Tapi kini menghilang begitu saja. Ia mencari ke sudut-sudut ruangan, lemari, bahkan di bawah meja — nihil.
Dina ikut membantu mencari. “Ini nggak mungkin hilang sendiri…”
Kirana menahan degup jantungnya. “Aku tahu siapa yang terakhir keluar dari sini semalam,” gumamnya.
Saat istirahat siang, Kirana menyusul ke ruang makan staf. Beberapa perawat dan bidan duduk sambil menyantap nasi bungkus. Bu Reni duduk di ujung, mengaduk teh manis dalam gelas kaleng.
“Permisi,” kata Kirana pelan. “Ada yang lihat stetoskop saya? Warna hitam, ada inisial di bagian kepala: ‘K.A.’”
Semua terdiam. Hanya bunyi sendok mengenai wadah plastik yang terdengar.
Lalu Bu Reni menoleh, senyumannya tipis. “Kalau barang hilang, itu tandanya belum cocok sama tempat ini. Atau mungkin barangnya memang nggak berjodoh sama pemiliknya.”
Dina berdiri. “Bu Reni—”
“Dina,” potong Kirana cepat. Ia menatap Bu Reni sambil tersenyum sopan. “Kalau memang belum berjodoh, semoga bisa ketemu lagi di waktu yang tepat.”
Kirana berbalik pergi. Tapi di balik langkah tenangnya, ada perasaan perih yang ia telan diam-diam.
***
Sore harinya, saat ia kembali ke rumah dinas, Dina menyusul sambil tergopoh.
“Kir! Kamu harus lihat ini!”
Dina menyerahkan sesuatu yang ia bawa dalam kantong plastik bening — stetoskop Kirana. Tergeletak di pojok gudang obat yang jarang dipakai.
“Ada yang nyelipin ke sana. Jelas banget disembunyikan.”
Kirana memandangi alat itu lama. Lalu ia menatap Dina dan tersenyum. “Aku nggak akan balas mereka. Namanya juga hidup. Pasti banyak tantangan.”
***
Siang itu,
Suara tawa bocah-bocah terdengar dari halaman belakang Puskesmas. Kirana yang sedang merapikan data imunisasi menoleh ke luar jendela. Matanya menangkap pemandangan yang membuat bibirnya terangkat sedikit — sekelompok anak usia SD bermain benteng-bentengan sambil saling mengejek lucu.
Di tengah mereka, seorang anak laki-laki berbadan kecil tapi suaranya paling lantang, tiba-tiba jatuh tersandung batu. Ia menangis keras, lututnya lecet dan berdarah.
Tanpa pikir panjang, Kirana berlari keluar membawa kotak P3K. “Ayo, sini. Kakak bersihkan dulu ya,” ujarnya lembut.
Anak itu terisak tapi mengangguk, matanya besar dan berkaca-kaca.
“Namanya siapa?”
“F... Farhan,” jawabnya dengan cegukan.
“Oke, Farhan yang pemberani. Nggak boleh nangis ya. Nih, Kakak semprot dulu...”
“Aw! Sakit!”
“Tahan dikit, bentar lagi sembuh. Farhan mau jadi pendekar kan, bukan ayam kampung?”
Anak-anak lain tertawa. Farhan meringis, tapi ikut tertawa juga. Tangisnya reda, dan tak lama kemudian ia kembali berlari ke teman-temannya, meski jalannya masih pincang sedikit.
Sore itu, Kirana duduk di pinggir teras dengan satu kotak kecil di pangkuannya. Di sekelilingnya, enam anak berbaris — menunggu giliran dibersihkan luka, diperiksa kuku, bahkan dicek kutu rambut. Mereka datang dengan sukarela, bukan karena sakit, tapi karena mulai percaya.
“Kak Kirana itu kayak malaikat,” celetuk salah satu gadis kecil.
“Bukan malaikat, dia dokter,” sanggah temannya.
“Dokter itu bisa jadi malaikat, asal baik.”
Kirana tertawa. “Eh, kalian jangan suka lebay! Ini yang ngomong pasti belum cuci kaki pas tidur, ya?”
Gelak tawa pecah.
Dari kejauhan, Dina memperhatikan sambil membawa dua gelas teh manis. Ia duduk di samping Kirana dan menyodorkan satu gelas.
“Lihat tuh. Satu desa boleh aja bisik-bisik soal kamu, tapi anak-anak ini nggak bisa bohong.”
Kirana menerima gelas itu. “Mereka nggak menilai dari aku lulusan mana. Atau dekat sama siapa. Mereka cuma lihat: aku bantu atau nggak.”
Dina mengangguk. “Dan kadang, suara anak-anak bisa lebih nyaring dari mulut orang dewasa.”
Saat matahari hampir tenggelam, seorang ibu muda menghampiri Kirana dengan malu-malu. Ia membawa bungkusan daun pisang berisi lapek bugih — kue manis khas Sumatera Barat.
“Ini... dari saya, Dok. Tadi anak saya cerita Kak Kirana nolongin dia. Terima kasih banyak, ya.”
Kirana tersenyum. “Wah, ini favorit saya! Terima kasih banyak, Bu.”
Ibu itu tertawa kecil, lalu berbalik dan pergi dengan langkah ringan. Kirana memandangi bungkusan itu sejenak. Hatinya hangat. Mungkin tidak semua orang akan langsung menerima. Tapi satu demi satu... pintu itu mulai terbuka.
***