Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langit Cerah, Hati Mendung
Hari itu mendung tidak turun. Langit cerah seperti biasanya, namun isi hati orang-orang siapa yang tahu?
Pukul dua belas siang, bel sekolah berbunyi panjang. Semua siswa bersorak riang setelah pengumuman mendadak bahwa jam pelajaran hari ini dipersingkat karena guru-guru akan rapat internal.
Aku bersyukur juga. Hari ini terasa melelahkan meskipun belum sore. Belum sempat aku beranjak dari kursi, Nizan sudah muncul di depan kelas sambil membawa dua botol teh dingin.
"Yuk pulang," katanya sambil menyodorkan botol padaku.
Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Kami pun berjalan keluar dari sekolah, melewati anak-anak lain yang masih berceloteh riang soal pulang cepat.
"Eh, hari ini ikut aku bentar ya," kata Nizan tiba-tiba ketika kami sudah sampai parkiran. "Ke pantai bareng Fadly dan Lita. Cuma jalan bentar doang, nyari angin."
Aku menoleh cepat. "Ke pantai? Sama Lita dan Fadly?"
"Iya bawel. Double date ceritanya," katanya santai.
Aku melotot. "Hmm. Kamu minta izin dulu ke Mami, lah. Boleh ga?"
"Udah aku pikirin. Bentar ya."
Nizan mengambil hpnya dan menelpon mami. Aku berdiri di sampingnya sambil menahan napas. Tapi ternyata, mami membolehkannya. Katanya, asalkan nggak ngebut-ngebutan bawa motornya dan hati-hati di jalan.
Setelah itu, Fadly juga datang dengan motornya. Kami berempat akan berangkat bareng, tapi karena cuaca cukup panas dan jam makan siang sudah lewat, Nizan dan Fadly memutuskan untuk mampir dulu beli makan di dekat sekolah.
Aku dan Lita menunggu di bawah pohon di sisi gerbang sekolah. Angin semilir dan suara kendaraan berlalu-lalang menjadi latar dari keheningan kami.
Lita membuka percakapan lebih dulu.
"Semalam lo nggak jadi ikut ke rumah Nizan, ya?" tanyanya.
Aku menoleh, bingung. "Maksudnya?"
Lita menaikkan alis. "Loh? Mira bilang lo bakal ikut. Makanya gue diajak nemenin, kan katanya enak kalau rame-rame."
Darahku langsung dingin.
"Wait, maksud lo Mira ke rumah Nizan?" tanyaku perlahan.
"Iya. Dia ngajakin gue nemenin dia. Dia bilang mau ketemu Nizan dan Fadly sebentar. Soalnya si Fadly sama Nizan katanya mau mancing. Tapi kami nunggu lama banget, hampir sejam. Gue pikir lo juga ikut Sya."
Aku tidak langsung menjawab. Kepala dan hatiku seperti dipukul bersamaan. Jadi semalam, ketika Nizan bilang cuma main sama Fadly, ternyata ada Mira juga?
Lita memperhatikan raut wajahku. "Sya, lo nggak tau, ya?"
Aku hanya menggeleng pelan.
Suasana mendadak canggung. Mata kami saling bertemu, dan dalam diam itu aku tahu Lita sama kagetnya denganku.
"Tadinya sih gue gak mau. Cuma gue kira lo ikut juga makanya gue gas," ucap Lita menenangkan. "Next time gue bakal nanya lo dulu ya, duh gue jadi ga enak nih."
"Gapapa Lit, santai aja. Ga masalah juga kok kalian ke rumah Nizan. Gue cuma kaget aja."
Aku menggigit bibir bawah. Hatiku rasanya menyesak. Mira, sahabatku sendiri, mengunjungi rumah Nizan dan tidak bilang apa-apa. Bahkan membiarkan aku tidak tahu dan mengatur semuanya di belakangku.
Bukan sekadar ke rumah cowok, tapi rumah cowok yang jelas-jelas punya perasaan padaku.
...****************...
Pantai sore itu sepi. Hanya angin yang bertiup lembut dan ombak yang menari di tepi pasir. Kami memilih duduk di bawah pohon rindang, tak jauh dari parkiran motor.
Lita dan Fadly membuka bekal makan yang baru saja mereka beli, lalu duduk berhadapan, bercanda ringan seperti pasangan pada umumnya. Aku dan Nizan duduk berdampingan, sedikit terpisah dari mereka.
Makan siang terasa biasa saja sampai akhirnya Fadly menyenggol Lita dan menunjuk ke arah batu karang. "Lita, ikut aku bentar ya. Lihat itu deh, bagus buat foto."
Lita tersenyum penuh kode lalu melirik ke arahku. "Sya, makan yang banyak ya. Biar ga dikira makan hati mulu."
Sebelum aku bisa membalas, mereka sudah pergi menjauh, menyisakan aku dan Nizan berdua.
Hening.
Aku menatap ombak, mencoba menenangkan degup jantungku yang tiba-tiba tak tenang.
Nizan akhirnya angkat bicara.
"Sya," suaranya pelan namun jelas. "Aku pengen bilang sesuatu."
Aku menoleh, pelan.
"Sejak aku kenal kamu... semuanya berubah," katanya. "Aku berubah."
" Hah? Berubah apa ni? Berubah jadi powerranger"
"Sya aku serius loh," jawabnya dengan wajah agak cemberut.
"Iya iya. Maksud kamu berubah karena aku?" tanyaku hati-hati.
Dia menatap lurus ke mataku. "Iya. Karena kamu."
Aku tak bisa menutupi keterkejutanku. Terkejut karena tiba-tiba Nizan ngomongin perasaannya lagi. Tapi sebelum aku bisa berkata apa-apa, dia melanjutkan.
"Aku memang dekat dengan banyak teman perempuan, kamu tau itu. Tapi kamu tuh apa ya? Kamu bikin aku ngerasa nyaman. Kamu spesial, Sya. Kamu bikin aku keluar dari zona nyamanku."
Angin laut berhembus pelan, seakan memberi ruang untuk semua yang dia ungkapkan.
Aku menarik napas. Ada satu hal yang sejak tadi menahan pikiranku.
"Zan" Aku menatapnya, tak lagi ragu. "Semalam Mira ke rumah kamu, ya?"
Nizan terdiam sesaat. Aku bisa lihat raut wajahnya sedikit berubah, seperti tak menyangka aku tahu.
"Aku nggak ngajak," jawabnya jujur. "Aku juga baru tau dari Fadly kalo Mira sama Lita tiba-tiba ke rumah. Makanya aku gak langsung pulang. Aku sengaja nunggu sampai hampir magrib di luar. Aku gak mau kamu salah paham."
Aku menatapnya, mencoba membaca apakah ada kebohongan di balik matanya. Tapi tak kutemukan apa pun selain ketulusan.
"Dari mana Mira bisa tahu kamu main sama Fadly?" tanyaku lagi, pelan.
"Entahlah. Mungkin Fadly bilang," sahut Nizan sambil mengusap tengkuknya. "Aku bener-bener gak ngerti maksud Mira apa."
"Kamu tahu kan Mira suka sama kamu?", tanyaku terus terang. " Dia udah usaha segitunya tapi kamu masih ga bisa buka hati buat dia Zan."
Nizan terkejut untuk kesekian kalinya. Dia pasti tau kemana arah percakapan ini. "Kamu ga bisa berhenti ya Sya?" jawabnya sedikit frustasi. "Stop jodohin aku sama Mira. Aku gapapa kamu belum bisa nerima aku. Tapi perasaan aku makin sakit kalau kamu nyuruh aku terus-terusan suka sama orang lain selain kamu. Aku jadi ngerasa sama sekali ga ada harapan buat dapetin kamu."
Aku mengangguk pelan. Kalau aku lanjutkan, bisa-bisa Nizan tau perasaanku sebenarnya. Rasanya campur aduk. Aku percaya perasaan Nizan. Tapi aku juga ga bisa nutup mata soal perasaan Mira.
"Aku cuma pengen kamu inget satu hal," ucap Nizan lagi. "Perasaanku ke kamu gak main-main, Sya."
Aku diam. Memandang langit biru yang tak ada awan.
Aku cuma menunduk, mencerna kalimat demi kalimat yang tadi ia ucapkan. Lalu suasana yang tenang itu pecah ketika Fadly dan Lita kembali, sambil tertawa kecil.
"Wah, lama banget ngobrolnya. Udah nembak belum, Zan?" celetuk Fadly.
"Fadly!" Lita mencubit lengan pacarnya, tapi ekspresinya sama saja, penuh godaan.
Nizan hanya tersenyum tipis, matanya menatapku sesaat lalu mengalihkan pandangan. Aku pura-pura sibuk membereskan bungkus makanan.
Dalam perjalanan pulang, kami berempat tertawa ringan. Tapi pikiran aku terus berputar. Tentang ucapan Nizan, tentang Mira, dan tentang perasaan yang kini tak bisa lagi kuabaikan.
Sesampainya di rumah, sebelum turun dari motor, Nizan sempat berkata pelan, "Aku janji, aku akan hati-hati, Sya."
Aku menoleh, menunggu penjelasan.
"Aku gak mau semuanya kejadian lagi kayak dulu," lanjutnya. "Waktu kelas 10. Saat kamu salah faham soal aku sama Mira."
Aku menelan ludah. Ingatan itu muncul begitu saja.
"Aku nggak akan ulangin kesalahan itu,"kata Nizan, menatapku dalam. "Aku akan pastikan kamu tetap nyaman dan semuanya tetap baik."
Aku mengangguk pelan.
"Iya Nizan," jawabku singkat, lalu melangkah masuk ke rumah.
Langkahku ringan, tapi hatiku berat. Karena sekarang, aku sadar menjaga perasaan semua orang bukan lagi hal mudah. Terutama ketika ada satu hati yang mulai berubah arah.