"Apa yang sebenarnya membuat Mas enggan menyentuhku? Mas bahkan selalu menghindar jika aku membicarakan hal itu. Apapun jawaban Mas, aku akan berusaha ikhlas. Setidaknya Mas bicara. Jangan diam seolah-olah hubungan kita itu normal seperti pasangan suami istri yang lain.”
Banyu mengangkat wajahnya. Tanpa bicara apapun, ia segera meraih jas yang ia letakkan di kursi makan lalu melangkah pergi meninggalkan Haura.
***
Pernikahan yang Haura harapkan bisa mendatangkan kebahagiaan itu nyatanya tidak seindah yang gadis itu harapkan. Banyu, lelaki yang enam bulan ini menjadi suaminya nyatanya masih enggan memberikan nafkah batin kepadanya. Lelaki itu terus menghindarinya jika gadis itu mengungkit masalah itu.
Tentu saja itu menjadi pertanyaan besar untuk Haura. Apalagi saat perdebatan mereka, Haura tidak sengaja menemukan sebuah kalung indah berinisial 'H'.
Apakah itu untuk dirinya? Atau apakah kalung itu menjadi jalan jawaban atas pertanyaan besarnya selama i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JAUH DARI HAURA
"Sampai sana pokoknya kamu harus segera menghubungi Mas. Malam nanti kalau Mas telepon awas saja kamu tidak kamu angkat. Jangan sok sibuk di sana. Kalau disuruh Sagara kerja rodi, jangan mau. Kamu segera hubungi Mas saja. Biar Mas laporin dia ke Mas Dewa."
Haura mengangguk pelan. Sesekali melirik Sagara yang menatap ke arah dirinya dan Banyu dengan tatapan yang tidak bisa Haura deskripsikan.
"Kamu mendengar Mas bicara nggak, Ra?"
Haura kembali memfokuskan pandangannya ke arah Banyu. "Iya. Aku dengar. Semuanya sudah aku masukkan ke dalam kepalaku."
"Ka-"
"Mas masih lama di sini? Sebentar lagi keberangkatan aku loh. Mas juga sebentar lagi mau meeting, kan? Nanti terlambat."
Dahi Banyu berkerut. Tatapannya berubah dingin. "Kamu tidak suka saya di sini? Atau kamu malu saya antar?"
Haura menggeleng cepat. Sejak keberangkatannya tidak diizinkan Sadewa, Banyu jadi uring-uringan. Sebenarnya tanpa izin Sadewa pun, Banyu bisa saja tetap berangkat bersama Haura dan tim Sagara. Hanya saja karena pekerjaan penting yang diberikan Sadewa pagi tadi membuatnya tidak bisa mewakilkan itu kepada yang lain.
"Muka kamu kenapa seperti keberatan begitu?" Banyu bertanya lagi. Tentunya dengan nada ketus yang membuat Haura jadi bingung sendiri.
"Memang settingannya begini sejak dulu. Kenapa Mas jadi baperan gini, sih?"
"Saya masih tidak rela kamu berangkat," jawabnya pelan. "Lagipula kenapa harus selama itu sih? Seharusnya pertemuan seperti itu cukup dua hari saja. Atau jangan-jangan Sagara sengaja membuat kamu lebih lama di sana, ya?"
Haura reflek menepuk lengan Banyu. "Mas juga kalau dinas kantor paling sebentar tiga hari. Pernah tuh hampir seminggu."
Banyu terdiam. Namun, matanya jelas menunjukkan betapa ia berat melepaskan Haura pergi. Apalagi dengan Sagara yang seringkali mencari kesempatan untuk berdekatan dengan istrinya. Lama-lama mungkin Banyu akan mengadu kepada tantenya agar segera dicarikan istri untuk Sagara.
"Masih lama nggak, Banyuadjie? Keberangkatan kami sebentar lagi." Suara Sagara membuat Haura dan Banyu pun menoleh. "Lagian lo nggak usah selebay itu lah. Haura cuma pergi nggak lebih dari seminggu."
"Kalau dia perginya tidak sama kamu, saya juga tidak akan begini. Awas saja kalau kamu modus-modus receh ke Haura."
Sagara tersenyum lebar. "Setiap kesempatan itu harus dimanfaatkan dengan baik, Sepupu."
Banyu mendesis kesal. Namun, pelukan Haura yang tiba-tiba mendekapnya hangat itu membuat amarahnya berkurang sedikit.
"Aku hanya sebentar, Mas. Nanti kalau udah sampai aku langsung ngabarin Mas. Selama aku nggak ada Mas di rumah Mama aja. Makannya jangan terlambat. Jaga hati, jaga mata dan jaga kemaluan juga."
Banyu mengurai pelukan itu. Namun, tangannya masih berada di bahu Haura. "Poin terakhir kamu seperti mewanti-wanti Mas untuk tidak berselingkuh. Seharusnya Mas yang mengatakan itu."
Haura tersenyum miring. "Godaan di sekitar Mas itu lebih banyak daripada aku. Jadi Mas harus bisa jaga diri Mas untuk aku dan kehormatan keluarga kita."
Banyu kembali menarik Haura ke pelukannya. Ia juga mencium puncak kepala istrinya itu dengan lembut dan lama. "Iya. Mas akan selalu ingat itu. Kamu juga harus ingat pesan Mas. Kalau Sagara udah mulai modus, menghindar aja. Dia itu playboy kelas kakap. Jadi harus hati-hati."
Haura terkikik geli. Apalagi saat melihat wajah Sagara yang sudah kesal.
"Iya-iya. Aku janji, Mas." Haura menikmati pelukan suaminya itu dengan penuh perasaan.
Sebenarnya tidak hanya Banyu, Haura pun merasa berat. Bukan karena tidak percaya Banyu. Namun, kekhawatiran itu tetap ada. Apalagi dengan riwayat perasaan Banyu yang sebelumnya tidak utuh hanya untuknya.
"Semoga kamu menepati janjimu, Mas." lirih Haura dalam hati.
...***...
"Jadi gimana, Banyu? Saran saya bisa kamu terima?" Sadewa mengulang pertanyaan itu untuk kedua kalinya.
Tatapan Sadewa yang tadinya masih berkutat pada berkas di depannya pun beralih ke arah sepupunya. Mata bersahabat Sadewa mengamati tingkah Banyu yang sejak tadi begitu sering memeriksa ponsel. Padahal seingat Sadewa, sepupunya itu jarang terdistrak saat sedang fokus. Apalagi saat ini mereka berdua sedang membahas sesuatu yang penting di ruangan Sadewa.
"Banyu? Kamu masih di sini?" Nada bicara Sadewa lebih meninggi dari tadi. Bukan karena marah sebab diabaikan lelaki itu. Melainkan memastikan bahwa suaranya terdengar jelas di telinga sepupunya itu.
"Hah? Gimana, Pak?" Banyu baru tersadar dan menatap Sadewa dengan rasa bersalah. "Maaf, Mas. Tapi kayaknya sulit untuk kita lanjutkan pembahasan ini. Pikiran ku justru kemana-mana sejak tadi," keluhnya sambil memijit pangkal hidungnya pelan.
Terdengar kekehan dari mulut Sadewa. Ia kemudian meletakkan berkas tersebut ke atas meja. Dengan santai ia kemudian menyandarkan tubuhnya di sofa ruangannya. Setelah lebih santai, ia kembali menegakkan tubuhnya dan menatap Banyu dengan tenang.
"Pikiran kamu bukannya kemana-mana. Aku rasa pikiran kamu justru tertuju ke Bali sana. Kenapa? Haura, ya?"
"Kalau pekerjaan ini bisa aku selesaikan malam ini, besok aku boleh menyusul Haura ke sana? Tenang saja. Aku akan menghandel beberapa hal dari sana."
"Kangen banget, ya?"
Banyu mendengus kesal. Kekesalannya karena Haura yang tidak kunjung memberi kabar malam ini semakin meningkat sebab pertanyaan basi yang dilontarkan Sadewa. Padahal wajahnya sangat mewakili jawaban dari pertanyaan tersebut.
"Gimana? Bisa nggak?"
Sadewa menyandarkan kembali tubuhnya. Tangannya terlipat di depan dada. "Sekretaris baru kamu gimana? Yakin belum mau mencari pengganti?"
"Itu masalah nanti. Terserah perusahaan mau merekrut siapa. Aku sendiri belum punya nama rekomendasi."
"Bagaimana kalau Haura saja?"
Wajah Banyu yang muram mendadak cerah. Posisi sekretaris sebenarnya lebih cocok untuk Haura daripada menjadi staf biasa seperti dulu. Tawaran Sadewa menjadi pilihan yang baik saat ini. Hanya saja, apakah istrinya itu mau mengambil posisi itu?
Apalagi mengingat sifat idealis Haura yang sering ia junjung tinggi itu. Kecil kemungkinan Haura bersedia, terutama dengan antusiasnya berada di tim Sagara. Sangat kecil kemungkinan Haura bersedia bekerja di bawah kepemimpinan Banyu lagi.
Tiba-tiba ponsel Banyu berdering. Nama Haura muncul. Menyadari wajah cerah Banyu, Sadewa pun izin keluar sebentar. Banyu hanya menanggapi lewat anggukan. Ia tidak perlu menanyakan akan ke mana kakak sepupunya itu mengingat semua pegawai sudah pulang. Baginya komunikasi dengan Haura adalah hal penting sekarang.
"Kamu dari mana saja, Ra?" Tanpa basa-basi pertanyaan itu keluar begitu dengan begitu gusar dari mulut Banyu. Meskipun begitu, hatinya kini sangat lega karena akhirnya bisa mendengar suara istrinya lagi.
"Baru pulang ketemu klien, Mas. Maaf ya. Soalnya tadi lagi nggak pegang hp."
"Mas kangen kamu. Vidio call, aja ya? Males banget kayak gini."
"Hmmh... Sebentar, ya."
Tidak lama kemudian, pengalihan panggilan biasa ke vidio call pun diterima Banyu. Tanpa menunggu lama ia segera menerima panggilan tersebut. Akhirnya tampaklah wajah cantik istrinya yang terlihat segar itu. Hanya saja, raut lelahnya masih begitu jelas.
"Loh, Mas masih di kantor?"
Banyu menyandarkan tubuhnya di sofa. "Iya. Kamu kayaknya capek banget. Mau langsung istirahat?"
Terlihat Haura yang sedang bersandar di kepala tempat tidur itu mengangguk. "Iya. Hampir aja aku lupa ngabarin kamu." Haura tersenyum. "Oh iya, pulang gih. Istirahat. Masa iya mau lembur begitu."
"Pulang cepat juga malas banget, Ra. Kamu juga nggak ada di rumah. Mendingan di sini sama...."
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Banyu kemudian duduk tegak dan lupa melanjutkan kalimatnya karena masih terkejut dengan munculnya Hania yang tiba-tiba itu. Mana ia tahu kalau stafnya itu masih berada di kantor malam-malam begini.
"Ada apa?" tanya Banyu dingin tanpa mematikan panggilan dengan Haura.
"Maaf, Pak. Ini laporan yang tadi Pak Banyu minta."
"Letakkan di situ saja. Setelah ini kamu langsung pulang saja. Sudah malam." Banyu sengaja berbicara dengan nada dingin. Keberadaan Hania di sini, Banyu khawatirkan akan membuat kesalahpahaman.
"Baik, Pak. Selamat malam," sahut perempuan itu menatap sekilas Banyu lalu segera keluar.
"Kamu lembur bareng Hania, ya, Mas? Baru tadi loh aku bilang, jaga mata, jaga hati dan jaga kemaluan Mas Banyu. Kalau kamu sampai khilaf meski hanya sekali, aku akan benar-benar pergi dari hidup kamu."
"Ra, Mas-"
Mata Banyu membulat dan mulutnya bahkan masih menganga saat panggilan tersebut terputus sepihak.
"Mati kamu, Banyu. Kayaknya besok kamu memang harus menyusul Haura ke sana," keluh Banyu saat perasaannya mendadak tidak enak.
dah lah bahagia kalian berdua,..
dan buat para pengganggu.. enyah saja yg jauh kalian... 😂
😂
Berantem aja terooosss.....
sama-sama merasa benar sendiri... 🤭