Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Perhatian yang Tak Disadari
Setelah sarapan selesai, Radit mengambil jasnya yang digantung di sandaran kursi. Rumi berdiri di ambang pintu ruang makan, memperhatikan tanpa banyak bicara.
"Aku berangkat dulu, ya."
Rumi mengangguk pelan. "Hati-hati, Mas. Semoga lancar semua urusannya."
Radit sempat terdiam. Matanya bertemu mata Rumi sebentar, seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya hanya membalas dengan senyum tipis. Ia melangkah menuju pintu utama, diikuti langkah pelan Rumi dari belakang.
Sebelum membuka pintu, Radit menoleh. "Kalau bosan di rumah, kamu boleh keluar, kok. Cari udara segar."
Rumi tersenyum. "Nggak apa-apa. Hari ini aku mau beberes lemari. Banyak buku dan barang yang numpuk."
"Kenapa harus kamu? Nanti aku bisa suruh mereka buat beberes."
"Jangan, ah, Mas. Masak gitu doang minta tolong Bibi? Aku mau melakukannya sendiri. Please ...."
Radit mengangguk dan membuka pintu. Udara pagi yang sejuk menyambutnya. Ia menatap halaman sebentar, lalu berbalik. "Ya, sudah. Tapi jangan terlalu capek, ya."
Kali ini, Rumi mengangguk sambil tersenyum lebih lebar. "Siap, Mas Radit."
Mobilnya melaju perlahan keluar dari halaman. Rumi masih berdiri di ambang pintu, melihat kepergian itu hingga mobil menghilang di ujung jalan.
Sunyi.
Rumi menutup pintu perlahan, lalu bersandar sejenak di sana. Rumah itu terasa besar, terlalu tenang saat Radit pergi. Ia menarik napas dalam, menatap langit-langit sebentar, lalu melangkah ke ruang tengah.
"Aku cuma nemenin sarapan aja padahal. Tapi kenapa jadi sepi begini, ya?" bisiknya, nyaris tak terdengar.
Rumi kembali ke meja makan, tapi lagi-lagi semua telah beres, sampai sudut dapur pun terlihat sangat bersih seperti tak pernah digunakan.
"Bi, saya ke ruangan Mas Radit dulu, ya. Mau beberes di sana sebentar."
Salah satu ART mendekat dengan sopan. "Biar saya saja, Bu."
"Nggak usah, Bi. Tenang, Mas Radit udah ngizinin, kok, tadi."
Rumi memasuki ruang tersebut. Hari ini, ia memang sengaja ingin merapikan lemari tua di ruang kerja Radit—lemari kayu jati yang jarang dibuka karena isinya penuh dokumen dan barang lama.
Ia membuka pintu lemari dengan pelan. Tumpukan map, buku, dan kotak-kotak kecil terlihat berjejer rapi namun berdebu. Rumi menghela napas, lalu mulai menarik satu per satu barang dari dalam.
Sampai tangannya menyentuh sebuah kotak kecil berbahan kayu. Warnanya sudah pudar di beberapa bagian. Ia membuka perlahan, dan di dalamnya ada beberapa lembar foto.
Foto pertama, saat Radit masih muda. Senyumnya lebih bebas. Lalu ada foto Radit bersama seorang perempuan cantik berambut panjang, berbalut gaun putih simpel. Mereka tampak seperti pasangan yang sedang jatuh cinta.
Rumi menatap foto itu lama.
Mungkin ini ... dia.
Mantan istrinya.
Seketika dadanya terasa sesak. Bukan karena marah. Bukan juga iri. Tapi karena rasa yang belum pernah ia kenali sebelumnya. Perasaan kecil yang datang seperti bisikan, “Pernah ada cinta sebesar ini di hati Mas Radit.”
Rumi meletakkan foto itu kembali dengan hati-hati. Ia menutup kotak itu, memeluknya sebentar, lalu mengembalikannya ke tempat semula.
Di luar, angin mulai berhembus lembut, menerpa tirai jendela yang terbuka sedikit. Rumi berdiri, menatap langit yang mulai cerah.
"Aku nggak akan ganggu kenangan itu, Mas. Aku cuma ingin jadi bagian kecil dari hari-harimu yang sekarang."
Ya, Rumi tak bisa menampik lagi. Apa yang ia rasakan beberapa hari ini, membuat Rumi yakin bahwa dirinya memiliki perasaan lebih kepada Radit.
Pukul satu dini hari.
Rumi terbangun saat mendengar suara mesin mobil berhenti di halaman. Ia bangkit dari tempat tidur, mengenakan cardigan, dan melangkah cepat menuruni tangga. Perasaannya tidak enak sejak Radit tak memberi kabar setelah maghrib.
Begitu pintu terbuka, sosok Radit muncul. Langkahnya goyah, dasinya kusut, kemejanya sedikit terbuka. Wajahnya sembab dan matanya merah.
"Mas Radit?"
Radit tersenyum samar, tapi senyuman itu goyah. "Rumi .... Kamu masih bangun, ya?"
Bau alkohol menyengat dari tubuhnya.
Rumi terpaku. Ini kali pertama ia melihat Radit seperti itu. Pria yang selalu tenang, rapi, dan penuh kendali—malam ini runtuh di ambang pintu rumah mereka.
"Aku ... aku nggak kuat, Rum," gumam Radit, nyaris tak terdengar. "Aku ketemu dia tadi ... di lobi kantor cabang."
Matanya mulai basah. "Dia masih sama ... masih bisa bikin aku ngerasa bersalah."
Rumi segera menuntunnya masuk. "Pelan-pelan, Mas. Ayo kita ke kamar dulu, ya."
Radit menahan lengan Rumi sejenak. "Dia bahagia, katanya udah nikah lagi. Punya anak. Sementara aku ... kayak orang gagal."
Air mata menetes perlahan dari sudut matanya. Rumi menggenggam tangannya erat, walau jantungnya terasa berat.
"Mas Radit bukan gagal. Cuma pernah patah."
Dengan sabar, Rumi membantunya berjalan ke kamar, mendudukkannya di tepi ranjang. Ia melepas sepatu Radit, meletakkan segelas air di meja, dan menarik selimut hingga dada Radit tertutup.
"Mas Radit istirahat, ya. Jangan pikir yang bukan-bukan."
Radit menggeliat pelan di bawah selimut, lalu membuka matanya yang berat. Rumi masih duduk di tepi ranjang, belum beranjak. Ia memandangi wajah Radit dengan campuran iba dan bingung.
Radit menghela napas panjang. Matanya kembali basah, meski ucapannya kini lebih jelas. "Kamu jangan pergi, ya, Rum. Jangan tinggalin aku."
Rumi terdiam.
"Aku capek ... semua orang pergi. Mereka selalu ninggalin aku setelah ngeliat sisi terburukku." Suaranya bergetar. "Kamu juga pasti bakal pergi."
Rumi menggeleng pelan. "Aku nggak ke mana-mana, Mas. Aku di sini."
Tapi Radit menggenggam tangannya erat, lalu menariknya perlahan ke sisi ranjang.
"Mas ...."
"Tidur di sini aja, ya. Jangan tinggalin aku sendirian malam ini."
"Tapi, Mas. Kita nggak boleh begini."
Rumi sempat ragu. Tapi saat melihat mata Radit—yang penuh luka, takut, dan butuh kehangatan—hatinya runtuh.
"Baik, Mas. Aku di sini."
Ia berbaring pelan di sisi luar ranjang, menjaga jarak secukupnya. Tapi Radit malah menariknya agar semakin dekat, membuat Rumi seolah lupa cara untuk mengembuskan napas.
Hening mengisi kamar. Hanya detak jarum jam, angin malam dari jendela, dan satu rasa tak terucap yang menggantung di udara.
Dan saat Rumi memejamkan mata, Radit perlahan berkata, "Jangan pernah pergi, Rumi ...."
Pagi harinya.
Cahaya matahari mengintip dari celah tirai. Rumi bangun lebih dulu. Ia masih dalam posisi yang sama, tangannya digenggam Radit yang tertidur pulas. Dengan hati-hati, ia melepaskan genggaman itu, lalu bangkit untuk menyiapkan air hangat dan sarapan ringan.
Beberapa menit kemudian, suara langkah pelan terdengar dari arah belakang.
Radit berdiri di ambang pintu dapur, rambut acak-acakan, wajah tampak lelah, tapi lebih tenang dari semalam.
"Pagi," sapanya pelan.
Rumi membalikkan badan, tersenyum tipis. "Pagi, Mas."
Radit mengusap tengkuknya. "Semalam ... aku pulang jam berapa, ya? Aku nggak ingat apa-apa."
Deg.
Rumi menatapnya sejenak.
"Nggak apa-apa, Mas. Mas capek, aku bantuin ke kamar," jawabnya, tenang.
Radit mengangguk pelan. Lalu menatap Rumi sejenak.
Rumi hanya tersenyum. Tapi hatinya sedikit mengerut.
Jadi, Mas Radit bener-bener lupa sama apa yang dia ucapkan semalam?