Sebuah bakti kepada orang tua, mengharuskan perempuan berumur 27 tahun menikah dengan laki-laki pilihan kedua orang tuanya yang selama ini ia anggap sebagai adik. Qila yanh terbiasa hidup mandiri, harus menjalani pernikahan dengan Zayyan yang masih duduk di bangku SMA. “Aku akan membuktikan, kalau aku mampu menjadi imam!” Zayyan Arshad Qila meragukannya karena merasa ia lebih dewasa dibandingkan dengan Zayyan yang masih kekanakan. Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja? Bagaimana keduanya menghadapi perbedaan satu sama lain? Haloo semuanya.. jumpa lagi dengan author. Semoga kalian suka dengan karya baru ini.. Selamat membaca..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunjungan Orang Tua
Sesuai dengan janji sang ayah, kedua orang tua Qila berkunjung ke Daerah Timur minggu ini. Qila yang tahu, segera bersiap karena Zayyan akan menjemputnya. Ia akan ke rumah Bagus untuk menyambut kedua orang tuanya.
“Apa ada titipan, tante?” tanya Qila yang menghubungi Rumi.
“Tidak ada, Nak. Tante sudah selesai masak semuanya.”
“Kalau kue dan buah, bagaimana?”
“Boleh. Minta Zayyan antar ke tempat langganan, kamu bisa pilih kue di sana. Kalau buah, beli jeruk 1 kilo, bisa buat jeruk peras.”
“Oke, tante.” Qila mengakhiri panggilan setelah mengucapkan salam.
“Mampir ke mana?” tanya Zayyan.
“Ke toko kue langganan dan toko buah.” Zayyan mengangguk dan menyerahkan helm untuk Qila.
Motor berhenti di sebuah warung kue yang ramai. Qila yang mengira jika mereka akan ke toko kue, menatap kerumunan dengan tatapan bingung.
“Kalau Kakak tidak menyela, tidak akan banyak pilihannya nanti.” Kata Zayyan.
Qila turun dari motor dan menyela di kerumunan ibu-ibu dan beberapa orang berseragam kerja. Pantas saja warung itu ramai pengunjung karena banyak kue yang dijajakan.
Mulai dari jajanan basah, kering, gorengan sampai kue panggang ada semua di sana. Qila mengambil kue yang sudah dikemas dengan isi 3, 4, 5, 6 kue per mika. Setelah di rasa cukup, Qila memberikannya kepada penjual yang berjumlah 4 orang itu dan membayarnya.
Zayyan tertawa melihat Qila yang kesusahan keluar dari kerumunan. Qila tidak menghiraukannya dan menggantung kantong plastik di gantungan motor. Zayyan melajukan motornya ke toko buah yang ada di pasar.
Qila membeli jeruk satu kilogram seperti kata Rumi, membeli apel dan pir masing-masing setengah kilogram dan satu kilogram salak.
“Banyak sekali belinya.” Seru Rumi yang melihat barang bawaan Zayyan.
“Kak Qila sepertinya kalap, Bu.”
“Enak saja!” kilah Qila.
Sebenarnya bukan kalap, ia hanya bersemangat mengingat kedua orang tua yang hampir 2 bulan ini tidak ia temui berkunjung.
Rumi memberikan nampan untuk Qila menata kue yang dibelinya, sementara Zayyan membantu sang ibu memeras jeruk. Tepat saat semua selesai, mobil Ayah Qila memasuki pelataran rumah Bagus.
Qila dan Zayyan sekeluarga menyambut kedatangan Mukhsin dan Ana. Segera saja ruang tamu Bagus ramai dengan obrolan mereka yang sudah lama tidak bertemu. Qila yang awalnya ingin melepas rindu jadi pendengar setia kisah sang ayah dan temannya.
Selesai makan siang, tiba-tiba perbincangan dua orang tua itu menjadi sangat serius. Qila dan Zayyan sampai saling pandang melihatnya.
“Qila, kamu sudah waktunya menikah. Ayah dan Ibu akan merasa tenang jika kamu sudah menikah saat tinggal d kontrakan. Setidaknya akan ada yang menjagamu saat kami tidak bisa menemanimu.” Kata Mukhsin.
“Ayah, Qila masih belum ada laki-laki yang cocok.”
“Mau sampai kapan menunggu yang cocok? Bukankah kamu berjanji sebelum 27 tahun akan menikah?” Qila hanya diam.
“Menikahlah dengan Zayyan, maka kamu boleh mengontrak di luar.” Kata-kata Mukhsin, membuat Qila dan Zayyan terkejut.
Keduanya menatap orang tua masing-masing seolah meminta penjelasan.
“Kami sudah merencanakannya sejak kamu pindah kemari. Ayah dan Ibu akan merasa tenang jika Zayyan yang menjagamu.”
“Ayah! Zayyan masih SMA.”
“Kenapa kalau dia masih SMA? Apa Zayyan mau menikah dengan Qila?” tanya Mukhsin yang menatap Zayyan.
“Kami mendukungmu, Nak.” Kata Bagus yang diangguki Rumi saat Zayyan menatap ke arah mereka.
“Zayyan bersedia.” Jawab Zayyan setelah mengucapkan basmalah dalam hati.
Bukan ia gegabah menerima tawaran dari Mukhsin. Zayyan yang selama ini mengenal Qila telah menyadari perasaannya jika dirinya tertarik dengan perempuan yang lebih tua darinya.
“Hei! Kamu masih sekolah, bagaimana bisa menikah?” seru Qila yang merasa terpojok.
“Aku sudah memiliki KTP, secara hukum aku sudah dewasa dan sah untuk menikah.” Kata Zayyan dengan mantap.
Para orang tua merasa puas dengan jawaban yang diberikan Zayyan. Mereka seolah sudah bisa menebak jawaban Rayyan dan kini tinggal meyakinkan Qila.
“Zayyan anak yang baik. Ayah yakin dia bisa menjadi suami yang baik dan yang pasti bisa menjaga kamu di sini.” Kata Mukhsin.
Pikiran Qila saat ini sedang kalut. Selain karena tekanan menikah, ia merasa keputusan orang tuanya menikahkan dirinya dengan Zayyan yang masih berstatus anak SMA sangatlah konyol. Bagaimana bisa ia menikah dengan laki-laki yang selama ini ia anggap sebagai adik?
“Qila?” panggil Ana yang melihat putrinya hanya siam menunduk.
“I-iya, Bu.”
“Jadi, kamu bersedia?” tanya Mukhsin yang salah mengartikan jawaban Qila.
“Tidak, Yah. Qila tidak bisa menikah dengan Zayyan yang masih sekolah.”
“Kenapa tidak bisa?”
“Bagaimana anak sekolah bisa menjadi suami Qila yang sudah bekerja ini, Yah? Bagaimana tanggapan orang-orang nanti?”
“Kenapa memikirkan orang lain? Biarkan saja mereka mengatakan apa, yang penting kalian yang menjalani baik-baik saja.”
“Bagaimana dengan masa depan Zayyan?”
“Menikah tidak akan membatasinya meraih cita-citanya di masa depan. Benarkan, Nak Zayyan?”
“Iya, Om.” Jawab Zayyan mantap.
Qila menatap tidak percaya ke arah Zayyan. Laki-laki yang ia anggap adik, saat ini menyanggupi untuk menikahinya atas dasar perjodohan yang dilakukan orang tua mereka. Apa Qila harus menerimanya juga?
“Ayah dan Ibu hanya punya kamu, Nak. Kalau kamu kekeh mau mengontrak sendiri, bisa-bisa kami tidak akan bisa makan dan tidur memikirkan kamu.” Tatapan tidak percaya Qila alihkan kepada kedua orang tuanya.
Sepertinya, keputusan kedua orang tuanya sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. Qila menghembuskan nafas dalam. Jika ia masih menolak, entah apa yang akan kedua orang tuanya lakukan untuk membujuknya.
“Kapan Ayah akan menikahkan kami?” tanya Qila yang memilih mengalah demi baktinya kepada kedua orang tuanya.
“Besok kita bisa melakukannya!” jawab Mukhsin dengan semangat.
“Jangan bercanda, Yah!”
“Ayah tidak bercanda! Ayah sudah menyiapkan semuanya. Kalian tinggal pergi ke KUA untuk melaksanakan pernikahan. Resepsi bisa menyusul!”
Qila merasa ditipu oleh para orang tua yang ada di hadapannya. Entah mengapa kedua orang tuanya sangat bersemangat membicarakan pernikahannya saat ini. Bahkan ia tidak tahu apa-apa kalau mereka sudah mengurus surat-surat yang diperlukan untuk menikah.
Persetujuan Qila dan Zayyan, membuat para orang tua memberikan waktu kepada keduanya untuk berbicara empat mata.
“Kenapa kamu setuju?” tanya Qila.
“Aku sudah menyukaimu, Kak.” Jawab Zayyan jujur.
“Kamu yakin mau menikah denganku yang umurnya lebih tua 10 tahun darimu?”
“Bukan 10 tahun, Kak. Tepatnya 9 tahun 2 bulan.”
“Tetap saja jarak umur kita jauh.”
“Umur bukanlah patokan untuk menikah, Kak.”
“Apa kamu tidak sayang dengan masa mudamu?”
“Untuk apa? Bukankah masa mudaku akan lebih bermakna kalau aku menjadi suami yang bisa diandalkan.”
“Bagaimana kamu akan menafkaiku?”
“Tenang saja, Kak! Aku sudah punya penghasilan sendiri, jadi aku bisa memberikan nafkah untuk kakak.”
“Bagaimana dengan sekolahmu?”
“Seperti yang dikatakan Om Mukhsin, menikah tidak akan membatasiku untuk meraih cita-cita.” Qila merasa Zayyan sama kukuhnya dengan kedua orang tuanya.
Melihat Qila yang hanya diam, Zayyan merasa perempuan yang membuatnya tertarik dan mantap memutuskan untuk menikah itu sedang meragukannya.
“Aku akan membuktikan, kalau aku mampu menjadi imam!”
.
.
.
.
.
Semoga review cepat bisa up di tanggal 26.. hee
.
Kirim ulang perbaikan typo