Jiwa seorang ilmuwan dunia modern terjebak pada tubuh pemuda miskin di dunia para Abadi. Ia berusaha mencapai puncak keabadian untuk kembali ke bumi. Akankah takdir mendukungnya untuk kembali ke bumi…. atau justru menaklukkan surgawi?
**
Mengisahkan perjalanan Chen Lian atau Xu Yin mencapai Puncak Keabadian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almeira Seika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5—Kasih Sayang Orang Tua
Chen Lian mencoba duduk. Lalu, berdiri. Tulang punggung belakang yang tadinya patah menjadi dua sudah tersambung. Ia juga merasakan kalau giginya yang copot, tumbuh kembali.
"Tidak. Tapi... apa yang telah paman lakukan pada tubuhku?" tanyanya penuh kekaguman.
"Aku memakai sebuah mantra penyembuh tingkat lima." Balas Xu Liang.
Mata Chen Lian berbinar. "Mantra? Bagaiman mungkin? Punggungku patah dan gigiku copot. Sekarang sudah pulih! Hanya dengan mantra?"
Xu Liang tersenyum. "Benar. Hanya dengan mantra!"
Chen Lian memegang tangan Xu Liang, wajahnya memelas dan matanya berbinar. "Paman, izinkan aku menjadi muridmu!"
Xu Liang mengusap rambut Chen Lian semnati tersenyum lembut.
Suami istri peruh baya itu menggelengkan kepala dan keluar dari kamar anaknya. Sang suami memotong dan membersihkan daging, sementara sang istri menyiapkan bumbu.
Di atas meja makan kayu sederhana itu, sebuah tungku dengan arang membara. Di atasnya terdapat besi tipis berbentuk kotak-kotak kecil. Mirip barbeque, tapi lebih kuno.
Asap dari daging babi bakar, mengepul di atas langit-langit rumah dan masuk ke dalam kamar Chen Lian. Wanita paruh baya itu memanggil anak dan adik iparnya. "Yin'er, Xu Liang... daging sudah siap!"
Mereka berdua keluar dari kamar, dan duduk di kursi kayu. Pria paruh baya sibuk memotong daging di meja, sementara wanita paruh baya sibuk membakarnya. Saat daging matang satu potong demi satu potong, ia menaruhnya di piring Chen Lian dan Xu Liang.
Chen Lian dan Xu Liang memakan daging itu dengan lahap. Seolah-olah mereka adalah kakak beradik. Bukan keponakan dan paman.
Hingga... daging itu habis tak tersisa.
Mereka berdua benar-benar menghabiskan daging itu untuk perutnya sendiri. Chen Lian dan Xu Liang saling menatap, seolah tak percaya.
"Paman menghabiskan seluruh daging asapnya!" tuduh Chen Lian.
Xu Liang berdecak, "Kau yang menghabiskan segalanya! Jangan menuduhku."
"Ayah dan ibuku... tidak mendapat bagian..." ucap Chen Lian pelan, sembari menundukkan kepala.
Xu Liang berdiri dari tempat duduknya, lalu terbang keluar dari rumah dan menghilang. Lagi-lagi mata Chen Lian berbinar kagum. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sebelum tungku pembakar daging dibereskan, Xu Liang kembali dengan seekor rusa. Keluarga itu terkejut, termasuk Chen Lian.
"Tidak ada babi hutan, jadi aku menangkap rusa." Jelas Xu Liang, menyodorkan seekor rusa itu kepada kakaknya.
"Aku hanya bisa menangkap dan membunuhnya. Tidak bisa menguliti atau membersihkan bagian dagingnya." Lanjutnya sembari menatap pria paruh baya di hadapannya.
Segera, pria paruh baya menerima tubuh rusa dan membawanya ke halaman belakang untuk dibersihkan, dikuliti dan dipotong-potong.
"Paman... kapan kau akan mengajariku sihir?" tanya Chen Lian.
Xu Liang mengerutkan alis, ia tak mengerti apa maksud keponakannya. "Ha? Sihir? Aku tidak mengerti."
Chen Lian menggaruk kepala, lalu melanjutkan. "Maksudku, mantra."
"Kau tidak akan bisa menggunakan mantra jika tidak memiliki energi Qi." Jawab Xu Liang.
Chen Lian memiringkan kepala, "Energi Qi?"
Xu Liang pun menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan kultivasi. Seperti energi Qi, meridian, dentian, primordial, batu roh, kristal darah jiwa hingga nama-nama sekte di negara ini, negara Xuan.
"Di planet ini, negara-negara diberi peringkat berdasarkan kekuatan para kultivator yang terlahir di negara tersebut. Negara terkuat, Qingming, peringkat tujuh. Memiliki banyak kultivator kuat yang bahkan paman hanya akan dianggap sebagai semut oleh mereka."
"Sementara itu, Negara Xuan hanyalah negara dengan peringkat dua. Sekte terkuat negara Xuan adalah Sekte Fentian. Terkuat kedua, Sekte Gaogu. Terkuat ketiga, Sekte Tiangu."
Chen Lian hanya mengangguk. Mengingat siapa dia di dunia lama, hanya dengan satu kalimat, ia akan langsung paham dan mengerti.
"Sekte Tiangu memiliki sistem hierarki. Murid luar, murid dalam, dan murid inti. Murid baru biasanya akan memiliki gelar sebagai murid luar, kasta terendah. Tugas mereka biasanya seperti budak di Sekte, menjadi pesuruh dan sangat menderita."
"Tapi tenang saja, paman yang membawamu maka kau tidak akan diperlakukan dengan buruk."
Dan banyak hal lagi yang Xu Liang jelaskan pada keponakannya. Hingga tak terasa senja telah tiba, waktu berjalan begitu cepat. Lentera-lentera kuno dinyalakan sebagai penerangan. Daging rusa sudah siap dibakar. Pria paruh baya bahkan membawa kendi anggur.
"Kita minum-minum sedikit, tidak masalah?" tanya pria paruh baya pada Xu Liang.
Xu Liang mengangguk setuju. Mereka berempat duduk di meja makan, dengan asap daging rusa yang mengepul. Bau sedapnya tercium, hingga membuat siapapun yang menciumnya menelan air liur.
Giliran Chen Lian membakarkan daging untuk suami istri paruh baya itu. Ia terlihat tulus, dan bahagia. Xu Liang dan pria paruh baya tertawa-tawa menceritakan beberapa lelucon sembari minum anggur dari kendi.
Malam itu menjadi malam yang tak terlupakan dalam memori Chen Lian. Ia tak pernah merasakan hari bahagia seperti ini bersama keluarganya di dunia lama. Bahkan, ibunya, Li Yi, selalu sinis terhadap Chen Hu. Berbeda dengan yang disini, menganggap pamannya seperti anak sendiri.
Keesokan paginya. Chen Lian membuka mata, lalu berlari ke kamar mandi untuk buang air dan membasuh muka. Saat kembali ke dalam rumah, wanita paruh baya itu menangis.
Chen Lian bingung, apa yang harus ia lakukan?
"Sejujurnya ibu tidak ingin merelakanmu pergi ke Sekte... jalan kultivasi sangat berbahaya, tapi... melihatmu antusias, ibu tidak mampu berbuat apa-apa lagi." Ungkap wanita itu sembari menangis.
Akhirnya, Chen Lian mengambil tindakan yang selama ini tidak pernah ia lakukan pada ibu kandungnya sendiri. Sebuah pelukan.
Chen Lian memeluk wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu itu. Bukan karena wajahnya mirip dengan Li Yi, tapi karena kelembutan yang diberikan.
"Ibu... Chen... Maksudku... Xu Yin akan baik-baik saja." Ucap Chen Lian lembut sembari memeluk erat ibunya.
"Berjanjilah untuk tetap menjenguk ayah dan ibumu, walaupun kau sudah menjadi immortal nanti." Pinta wanita paruh baya itu.
Chen Lian menepuk pundak wanita yang dia anggap ibu, lalu berkata dengan nada lembut. "Tentu saja. Orang tuaku telah merawatku dengan sangat baik."
Wanita itu melepaskan pelukan anaknya, kemudian ke dapur untuk menyiapkan sesuatu. Chen Lian duduk di kursi kayu.
Tak lama, pria paruh baya datang membawa sebuah selimut sutra. "Selimut ini akan membuatmu nyaman saat tidur di malam hari." Jelasnya sembari menyodorkan pada Chen Lian.
Mata Chen Lian berbinar haru. "Te... terima kasih ayah..."
"Sutra ini sangat halus... tapi... apakah aku pantas menerimanya? Sementara, hanfu mereka sangat lusuh." Gumam Chen Lian di dalam hati.
"Maaf, jika ayah tidak bisa memberimu pakaian yang layak. Maaf juga, karena selama ini ayah terlalu keras padamu. Ayah mendidikmu agar menjadi pria yang berguna," ungkapnya, kali ini sedikit dengan kelembutan.
Tanpa sadar, air mata Chen Lian mengalir begitu saja di pipi. Pria paruh baya itu menunduk ke bawah, tak kuasa menatap air mata anaknya.
Wanita itu memegang sebuah kalung giok hijau, lalu memberikan pada Chen Lian. "Ini adalah jimat, dan... hadiah perpisahan dari ayah dan ibu."
Chen Lian pun mempersiapkan barang-barang bawaannya. Tak lama, pamannya datang, "Apa kau sudah siap?"
"Sudah, paman." Jawab Chen Lian.
Mereka pun keluar dari rumah. Di halaman rumah kayu sederhana, pria dan wanita paruh baya itu menatap haru ke arah Chen Lian.
"Yin'er, kamu harus ingat, bahwa ibu dan ayah selalu menunggumu di sini." Tutur lembut wanita paruh baya itu.
Sementara, pria paruh baya itu segera menunjukkan senyuman. "Harga diri seorang pria adalah dengan bekerja keras. Sementara, harga diri orang tua, adalah mewujudkan impian anaknya." Ungkapnya dengan kelembutan.
"Entah mereka orang tua asliku atau bukan, tapi mereka tampak menyayangiku dengan tulus," batin Chen Lian.
"Ayah, ibu. Aku tidak akan melupakan kebaikan kalian. Aku akan berkunjung saat sudah kuat seperti paman," ujar Chen Lian.
Xu Liang mengeluarkan sebuah pedang yang mengapung di atas tanah. Pedang itu selebar satu kaki dan sepanjang tiga kaki, memiliki bersinar berwarna hijau.
"Untungnya, aku membawa dua kendaraan!" sahut Xu Liang.
Chen Lian melihat pedang itu dan matanya berbinar kagum. Entah ini kekaguman yang keberapa?
"Jadi .... hal-hal yang ku anggap tidak masuk akal seperti ini, benar-benar nyata?" ujar Chen Lian tanpa sadar.
Xu Liang segera mengajak Chen Lian naik, "ayo naik."
Karena ini adalah untuk pertama kalinya Chen Lian melihat bahkan menaiki benda seperti ini, dia perlu beradaptasi.
Beberapa jam setelah Xu Liang mengajari keponakannya dalam menggunakan pedang terbang ini, akhirnya Chen Lian mampu mengendalikan.
Mereka berdua pamit dan segera meninggalkan desa itu, terbang tinggi menuju awan. Dibalik awan-awan berwarna putih itu, menjulang tebing tinggi.
Mata Chen Lian menatap ke bawah, punggungnya menjadi dingin, ada sedikit kengerian yang dia rasakan. "Bagaimana jika aku jatuh? Apakah tubuhku masih bisa dikremasi?" Pikirnya dalam batin. Ia segera menatap ke atas, tidak ingin melihat ke bawah lagi.
pedang biasa bisa apa nggak? tergantung ilmu seseorang atau tergantung pedangnya?
mungkin padanan sapu terbang penyihir atau karpet terbang aladin. cerita2 benda terbang yg jadi kendaraan yang lebih kuno.
ibunya jadi hangat.