NovelToon NovelToon
FORBIDDEN PASSION

FORBIDDEN PASSION

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Bad Boy / Barat
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Lyraastra

Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.


Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PERTEMUAN KELUARGA

"Scusa Ruby, mungkin ini sangat mendadak, dan mengganggu pekerjaan pentingmu di bistro. Tapi, aku benar-benar membutuhkanmu malam ini."

Panggilan singkat itu, tiba-tiba terjadi beberapa jam yang lalu, sebuah panggilan telepon dari ponsel Ruby yang terhubung dengan Beatrice. Suara milik Beatrice terdengar memohon, membuat Ruby tak memiliki pilihan, selain setuju. Ia meninggalkan pekerjaannya, ditengah jam kerja masih berlangsung. Beruntungnya, Marie tak hanya memperkerjakan satu orang menjadi koki di dapur, ada tim koki yang terdiri dari tiga wanita, belum termasuk Ruby.

Dapur marmer putih ini adalah tempat Ruby kembali ke mansion Thorne. Ellard hanya mengundang keluarga intinya untuk acara makan malam, membuat suasana tidak terlalu ramai. Namun, persiapan untuk mereka memakan waktu yang cukup lama. Ruby, sebagai koki, ditemani Margaret, Eden, dan juga pelayan dapur lainnya, dengan telaten dan penuh hati-hati mengelola segala masakan mentah hingga menjadi hidangan dari negara yang dijuluki negerinya spaghetti. Hidangan-hidangan itu kini sudah tersaji di meja besar mansion, dinikmati oleh beberapa orang disana.

"Setelah ini, kau diminta kembali ke bistro?"

Ruby menggulung apronnya. Mengakhiri peperangan yang telah berlangsung hampir dua jam di dapur, bersama bibirnya mulai membentuk kata. "Um, tidak. Ini juga sudah malam, Eden. Untuk apa aku datang ke bistro yang sebentar lagi jam bukanya telah berakhir?"

"Aku mengira hingga dini hari, ternyata tidak." Eden menuangkan anggur merah ke dalam gelas kristal. "Segelas anggur?" Cecarnya.

Ruby menggeleng pelan, menolak tawaran itu. Tangannya lembut mendorong botol kaca yang disisihkan Eden untuknya. "Masih sama seperti restoran biasanya di sini. Bukan seperti bar yang buka hingga dini hari."

"Ah, benar. Kau tidak ingin mencoba segelas wine?"

"Aku tidak mengkonsumsi alkohol."

"Benarkah? Sungguh wanita aneh." Eden terkekeh, kepalanya terarahkan pada Ruby. "Aku jarang menemui wanita Amerika yang tidak menyukai nikmatnya fermentasi anggur merah." Nada bicaranya terdengar sedikit mengejek, seperti seorang kolektor yang menemukan barang langka yang tidak sesuai dengan koleksinya.

"Aroma alkohol sangat kuat, seperti cuka, seakan menusuk hidungku. Jadi, aku bisa bayangkan rasanya akan sama tajam dan asam."

"Cicipi dulu, kau pasti akan menyukainya."

Jari Ruby mengetuk lengannya yang disilangkan di atas konter dapur. Gelas kristal berisi anggur merah di tangan Eden berputar dengan tenang, menarik perhatiannya. Aroma anggur memenuhi rongga hidungnya. Ia tidak bisa mendeskripsikan aroma itu dengan tepat, tetapi ia sudah membayangkan rasa anggur yang tajam di lidahnya, mencerminkan aroma yang kompleks.

"Aku tidak tertarik, terima kasih."

"Baiklah, baiklah. Aku tidak akan memaksamu, Pixie."

Ruby mengerutkan dahi, alisnya bertaut membentuk garis tipis di dahi. Pixie? Namun, seketika tatapan mereka bertemu, senyum lebar merekah di wajah keduanya. Kekehan menyeruak, menghilangkan kerutan di dahi si pirang.

"Panggilan apa itu? Terdengar aneh sekali ditelingaku."

"Tidak aneh, itu sangat cocok denganmu. Dan kau harus tahu, panggilan itu Tuan Zade yang menamainya, karena kau imut dan mungil."

"Aku dan Tuan Zade baru saja bertemu, kita tak dekat, Eden. Bagaimana bisa dia memanggilku seperti itu?"

"Ah, rupanya kau tak percaya padaku." Eden meninggalkan tempat duduknya, kemudian mendekat, dan merangkul bahu Ruby. "Saat Nyonya belum memintamu datang, Tuan Zade lebih dulu menemuiku di dapur dan bertanya tentangmu. Sepertinya... pesona rambutmu itu membuatnya tertarik."

"Jangan berlebihan. Tuan Zade itu sangat ramah, mungkin saat itu dia lupa namaku. Jadi, dia memanggilku dengan nama yang lain." Ruby mengelak, tak nyaman dengan kenyataan itu. Lebih tepatnya, Ruby tak percaya dengan yang dikatakan Eden, menurutnya itu terlalu berlebihan.

"Untuk ini, aku setuju dengan pendapatmu. Tuan Zade memang sangat ramah pada para pelayan di sini. Karakternya sangat pas di usianya yang masih muda, meskipun sedikit pembangkang."

"Lalu, menurutmu bagaimana Tuan Rhys?"

"Um, dia cukup berbeda dengan Tuan Zane. Tatapannya begitu tajam padaku, aku sampai merasa terintimidasi." Ruby menjeda, mengelola kembali kata untuk dilontarkan. "Eden? Apakah dia saat bertemu dengan orang baru memang seperti itu?"

"Tidak hanya dengan orang baru, para pelayan yang sudah bekerja disini pun sebegitu segan padanya, begitu juga dengan aku dan Bibi Margaret. Jadi kau tak perlu cemas, karena sikap tuan memang dingin dan tampak kejam. Tapi aku yakin dia adalah pria baik, hanya belum ditunjukkan saja." Eden begitu cepat saat membalas, seolah ia sudah terlatih dengan berbagai pertanyaan dari orang baru yang masuk di mansion ini.

"Apa para koki sebelumnya juga diperlakukan sepertiku diawal?" Pertanyaan terus keluar dari mulut Ruby.

"Diperlakukan seperti apa? Kau hanya diberikan tatapan tajam saja olehnya, belum makian yang terlontar dari mulut pedasnya. Kau termasuk wanita beruntung Ruby..."

Gemas sekali Eden berucap. Terlebih lagi, Ruby hanya memanggut-manggut dan mengerucut bibir merah muda itu, tidak memberikan respon lebih dari yang Eden kira.

"Kau paham bukan maksudku?"

"Aku paham," jawab Ruby sambil mengangguk. "Tapi, mengapa koki baru yang kau katakan dulu padaku, langsung diminta meninggalkan mansion ini? Bukankah wajar jika pekerja baru melakukan kesalahan di awal? Semua butuh waktu untuk menyesuaikan diri, termasuk koki."

"Tuan Rhys sangat... sensitif terhadap apa pun, termasuk makanannya. Dia perfeksionis, menuntut siapa pun untuk sempurna, begitupun juga dengan dirinya. Walaupun masalah itu kecil bagi orang lain, baginya tidak. Jadi, bisa saja alasan itu yang membuat koki sebelumnya diberhentikan olehnya Nyonya Beatrice, atas permintaannya," kata Eden, ada keraguan dalam suaranya. Ia menggaruk kepala lalu meringis, seolah ingin memastikan bahwa apa yang ia katakan sudah benar.

"Tapi, aku tidak yakin... mungkin ada alasan lain yang aku tidak ketahui," tambahnya.

Ruby lagi dan lagi mengangguk. Menurutnya, Eden cukup benar, tak ada salah dengan jawabannya. Meskipun penampilan Rhys terkesan rebel atau pemberontakan, tapi terlihat bahwa pria itu seorang perfeksionis dari tingkah lakunya.

"Kau benar Eden, dia pria yang perfeksionis walaupun aku hanya melihatnya sekali saja. Dengan alasan itu, kurasa tak ada yang salah."

...........

"Bagaimana pengembangan produk baru di pasar Asia Tenggara?" tanya Alistair Thorne, kakak pertama Ellard. Matanya berkilat di balik kacamata berbingkai emas, menatap ke arah Ellard dan juga Rhys, yang duduk di seberang meja onyx besar di ruang makan.

"Proyek pengembangan pasar berjalan sesuai rencana," sahut Rhys dengan lantang namun tetap tenang. "Timku sudah mencari kesepakatan berbagai kemitraan strategis dan tim pemasaran sudah mulai bekerja. Targetnya adalah untuk meluncurkan produk baru di pasar Asia Tenggara dalam waktu enam bulan."

Alistair mengangguk. "Kau harus pastikan strategi pemasaran yang tepat, jangan sampai kerugian yang kau alami."

"Sebelum kau mengatakan ini, aku dan putraku bahkan lebih dulu melakukan riset pasar dan analisis kompetitif untuk memastikan proyek ini berjalan lancar tanpa kerugian sedikitpun," sela Ellard, nada suaranya sedikit meninggi.

Alistair berdeham, "Bene." Dia menenggak tequila cepat, berganti dengan raut wajahnya yang datar.

"Kalian tidak ingin tahu tentang pembangunan hotel milik suamiku di Dubai?" Dia adalah Selene Turner, putri semata wayang Alistair. Selene juga istri dari partner sekaligus tangan kanan Rhys, Elias Turner.

"Elias sudah memberitahu ayah jauh-jauh hari, dan tentu ayah sangat setuju dengan proyek itu."

"Aku tak menyangka Elias ingin beralih ke bidang properti." Ellard berpindah pada putra pertamanya. "Kau sudah tahu sebelumnya?"

Rhys mengangguk, tanpa menunjukkan ketertarikan.

"Justru Maz lah yang memberikan saran padaku." Elias berhenti sejenak, bertukar pandang sesaat dengan Rhys, , sebelum melanjutkan kata. "Dia melihat potensi besar di Dubai, khususnya di bidang properti, dan ingin aku menjadi ujung tombak proyek baru itu. Dia juga yang menyuntikkan dana besar untuk pembangunan hotel, tapi tidak mau terlibat langsung. Katanya, terlalu merepotkan."

"Kukira dia hanya menganggap wanita yang merepotkan, sampai tak ingin menikah, ternyata pekerjaan juga." Zade menyambar, membuat atensi semua manusia di ruang makan teralihkan.

"Zade, jangan merusak pertemuan ini... " Tegur Ellard.

"Aku tak merusaknya, dia memang pria lapuk."

Setelah keterbungkaman dalam pembicaraan yang membosankan bagi Zade, akhirnya ia bisa bersuara juga, walaupun mengeluarkan kata yang menjadi masalahnya nanti. Zade tetap melahap apel merah dengan lahap, tidak peduli dengan beberapa pasang mata yang menatapnya.

Pria muda berambut ikal, menggeser tubuhnya lebih dekat pada Zade, berbisik sangat pelan, dan menekan setiap katanya. "Lebih baik kau tarik kata-katamu. Lihatlah, Rhys terus menatapmu tajam."

"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, jika dia tersindir maka itu bagus."

"Bodoh."

Tak ada yang berani merendahkan, mengumpat atau mengutuk seorang Rhys Thorne, bahkan dalam pikiran sekalipun. Jika ada, mungkin ia adalah Zade, saingan bisnis atau para wanita bak pelacur yang dihina serendah-rendah olehnya, lalu dibuang begitu saja, seperti sampah. Rhys adalah pria yang tidak suka dengan omong kosong, menurutnya itu terlalu membosankan. Jika seseorang membuatnya terusik, Rhys akan menghancurkan orang itu dengan kekuasaannya, tanpa mengotori tangannya sendiri. Atau, jika dia merasa tak berminat, ia akan memilih menghindar saja, seperti saat ini.

Rhys berdiri tiba-tiba, tubuhnya tegak bak patung marmer. Tempat bertengger yang didudukinya tertinggal, seolah tak penting lagi. Tatapannya dingin, menusuk tajam Zade yang dibalas dengan seringai nakal. Rhys tahu tabiat buruk adiknya itu, maka tak perlu memperdebatkan. Dengan langkah tenang, ia meninggalkan ruang makan pribadi. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan sepatah kata untuk mencegah, seolah merasakan aura dingin yang Rhys tinggalkan.

"Ibu tak pernah mengajarkanmu untuk bersikap tidak sopan kepada kakakmu sendiri. Belajarlah untuk bersikap lebih dewasa dan hormati kakakmu."

"Kurasa tindakanku sudah benar—"

"Setelah ini, tetaplah di mansion dan temui ayah di ruangan."

Tak menoleh ke belakang, tapi serangkai kata itulah yang masih dapat Rhys dengar dengan samar, setelah langkah kakinya membawanya untuk menjauh dari mereka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!