Dambi nekat mencari gigolo untuk memberikan keperawanannya. Ia pikir kalau dirinya tidak perawan lagi, maka laki-laki yang akan dijodohkan dengannya akan membatalkan pertunangan mereka.
Siapa sangka kalau gigolo yang bertemu dengannya di sebuah hotel adalah profesor muda di kampusnya, pria yang akan dijodohkan dengannya. Dambi makin pusing karena laki-laki itu menerima perjodohan mereka. Laki-laki itu bahkan membuatnya tidak berkutik dengan segala ancamannya yang berbahaya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah orang
"Bagaimana kalau aku yang memperkosamu?" gumam Angkasa tersenyum nakal. Ia sempat tercengang karena ucapan gadis itu. Tapi ia juga tidak tahu kenapa dirinya sangat ingin bermain-main dengan gadis mungil yang mengatakan dirinya memiliki sisi liar itu. Ia bisa melihat gadis yang bernama Dambi ini hanya mencoba terlihat berani didepannya. Jelas sekali dari perubahan wajahnya kalau gadis itu takut setelah mendengar perkataannya. Angkasa tertawa kecil. Liar? Mulutnya saja yang liar, buktinya, gadis ini ketahuan sekali tidak ada pengalaman.
"Mm, a.. aku rasa Yuka sudah bilang padamu kalau kita hanya berfoto, tidak lebih." gumam Dambi menelan ludah.
Ah, kenapa dia bisa mengatakan kalimat tadi sih. Dirinya memang sempat berpikir untuk memberikan keperawanannya pada seorang gigolo, tapi kan rencana itu sudah tidak ada lagi. Dan setelah bertemu dengan kakaknya Yuka ini, perasaannya jadi bercampur aduk. Ia merasa gugup, takut, malu...
Apa kakaknya Yuka ini pria baik-baik? Sayang sekali sih kalau tampan begini tapi tidak lebih dari seorang buaya. Iya tidak akan di apa-apa kan bukan? Yuka, kau harus bertanggung jawab kalau sampai terjadi apa-apa denganku. Seperti dirinya yang bisa saja benar-benar mau diperkosa oleh laki-laki tampan ini.
"Yuka tidak bilang padaku, dia bilang pada kakaknya." ucap Angkasa menyeringai. Mata Dambi melebar.
"B... bukan kakaknya Yuka? Kau bukan Kevin? Tidak mungkin, apa aku yang salah masuk kamar? Tapi Yuka tidak mungkin salah memberi alamat padaku. Dia..."
ucapan Dambi terhenti karena ponselnya berbunyi. Ia merogoh ponsel dari sakunya dan langsung mengangkat ketika membaca nama Yuka.
"Dambi, kamu di mana? Kakak aku bilang, rencana malam ini di tunda besok aja. Dia udah nggak di hotel lagi, kamu udah pulang rumah?" seru Yuka ditelpon.
"Hah?" Dambi ingin membalas perkataan Yuka tapi ponselnya tiba-tiba mati. Sial. Kenapa dirinya bisa sesial ini sih? Ia mengutuk dalam hati. Pandangannya kembali ke laki-laki tinggi yang masih setia berdiri di sana sambil terus menatapnya dengan senyuman menakutkan itu. Pria itu bukan kakaknya Yuka, jadi siapa dia? Gadis itu berpikir keras.
Ah, dia ingat. Angkasa! Tadi di meja resepsionis dia menyebutkan nama itu. Dambi memang tidak salah masuk kamar. Hanya saja, pria yang ingin dia temui dikamar ini sudah pulang. Yang tersisa adalah pemilik kamar aslinya. Pantas saja tidak mirip Yuka.
Tampan memang. Buktinya Dambi sangat terpesona ketika pertama kali melihatnya. Tapi sekarang, ia menjadi takut.
Matanya menatap pintu dengan dada berdebar. Berpikir untuk kabur. Ia sudah sangat malu karena salah orang. Astaga Dambi, kamu sangat bodoh. Kenapa tidak bertanya nama dulu sih tadi. Pokoknya dia harus pergi secepatnya, sebelum pria itu melakukan sesuatu yang buruk padanya.
Dengan cepat Dambi berlari ke arah pintu. Memegang daun pintu dan coba membukanya. Sayang sekali pintunya sudah terkunci. Pria itu sepertinya memang sengaja mengunci pintunya tadi. Ya Tuhan, dirinya sudah tamat. Dambi terus merapalkan doa dalam hati.
***
Dambi menatap lengan yang terulur disamping wajahnya. Lengannya tampak kekar dengan urat yang begitu menonjol hingga membuat Dambi menelan ludahnya dengan susah payah. Keberaniannya untuk menghadapi pria itu lenyap begitu saja. Ia bahkan tidak berani berbalik untuk memastikan wajah seperti apa yang akan ia hadapi sekarang. Wajah kemurkaan atau malah wajah penjahat yang akan memakannya hidup-hidup. Mungkin saja kan pria itu terusik karena diganggu malam-malam begini oleh perempuan yang tidak dia kenal. Mungkin juga pria itu merasa senang karena mendapat mangsanya.
"Mau kemana? Kita bahkan belum memulai?"
suaranya seperti hembusan angin kuburan. Dambi bergidik ngeri mendengarnya.
"Aku harus pergi," gumamnya dengan susah payah menelan ludah.
"Mamaku ingin aku pulang sekarang juga." tambahnya berbohong. Ia mendengar suara dengusan dari belakangnya.
"Katanya kau mau berfoto denganku. Berikan ponselmu. Kita bisa berfoto sambil berpelukan lalu mengirimnya langsung ke mamamu. Aku yakin perjodohanmu akan langsung dibatalkan karena orangtuamu akan sibuk mengurus masalahmu dan menutupi aibmu."
Dambi memegang erat ponsel yang masih berada dalam genggamannya. Walau ponsel itu sudah mati, ia tidak akan membiarkan laki-laki itu mengambilnya. Apa Dia sudah gila? Oh ya ampun, sepertinya dia memang telah bertemu dengan orang gila.
"Kenapa, kau keberatan? Itu maumu kan?" kata pria itu lagi. Dambi membalikkan badan dan menatap pria itu tajam.
"Kau bukan Kevin. Aku membuat janji dengan kakaknya Yuka bukan dirimu." katanya ketus.
"Sama saja. Yang kau butuhkan hanya pria yang mau berfoto dewasa denganmu bukan? Aku siap, lebih dari itu pun aku siap." kata pria itu dengan tatapan menggoda.
"Sinting. Buka pintunya, aku harus pulang." Dambi mencoba membuka pintu lagi tapi tidak bisa terbuka. Ia mencoba mencari tahu bagaimana caranya membuka pintu itu tapi tidak berhasil-berhasil juga. Gadis itu menutup matanya dalam-dalam dan berbalik menatap pria itu lagi.
"Buka pintunya." katanya lagi dengan suara rendah yang penuh tekanan.
"Tidak, sebelum aku mendapatkan keinginanku."
"Kau,"
tangan Angkasa meraih telunjuk Dambi yang baru akan terarah padanya. Ia menurunkan telunjuk Dambi tapi tidak melepaskannya dari genggamannya.
"Kau cantik, sayang sekali kalau aku melewatkan gadis cantik sepertimu malam ini." Angkasa menyeringai.
Dambi tercekat.
"Apa..."
"Tenang saja, aku akan memperlakukanmu dengan lembut." suara rendahnya yang serak membuat Dambi makin merinding.
Ia lalu berontak sekuat tenaga. Mencoba melepaskan genggaman pria itu dari telunjuknya. Tapi pria itu hanya terus menatapnya dengan tenang membuat Dambi makin gusar. Gadis itu menatap sekeliling untuk mencari apapun yang bisa membantunya, tapi ia sadar tidak ada apapun di sana yang bisa membantunya.
"Apa yang akan kau lakukan padaku?" tanyanya karena ia tahu dirinya tidak akan menang melawan pria itu. Setidaknya ia memutuskan untuk berbicara. Ia tidak akan menyerah begitu saja.
Pria itu tersenyum dengan lebar. Tangannya masih menggenggam telunjuk Dambi. Sentuhannya panas dan dingin dalam waktu bersamaan. Tatapan itu, itu adalah pertama kalinya Dambi mendapatkan tatapan seperti itu dari seorang laki-laki.
"Semua salahku. Harusnya aku bertanya dulu kau benar-benar Kevin atau bukan. Aku tahu aku sudah mengganggu waktumu beristirahat. Baiklah aku mengaku salah, aku minta maaf. Tolong lepaskan aku."
pria itu mendengus lagi.
"Kau tampak ketakutan."
Dambi tertawa remeh. Ya iyalah dia takut. Perempuan mana coba yang tidak takut kalau menghadapi situasi seperti ini.
"Tenanglah, aku tidak akan melakukan apapun yang ada dalam otakmu itu." ucapan pria itu membuat Dambi bernafas lega. Angkasa sudah mundur tapi tidak menjauh. Bahkan tangannya masih menggenggam telunjuk Dambi.
"Lalu, kenapa terus menahanku? Kenapa tidak membiarkan aku keluar?"
"Aku tidak menahanmu, kau bisa pergi."
Dambi tersenyum ceria.
"Benarkah? Aku bisa pergi? Kau tidak bohongkan?"
pria itu mengangguk polos. Dambi lalu membungkuk berkali-kali mengucapkan terimakasih padanya. Ternyata ia sudah salah paham pada pria itu.
"Tapi tidak sekarang." perkataan itu sontak membuat senyuman di wajah Dambi memudar.