Kakak perempuan Fiona meninggal dalam kecelakaan mobil, tepat pada hari ulang tahunnya ketika hendak mengambil kado ulang tahun yang tertinggal. Akibat kejadian itu, seluruh keluarga dan masyarakat menyalahkan Fiona. Bahkan orang tuanya mengharapkan kematiannya, jika bisa ditukar dengan kakaknya yang dipuja semua orang. Termasuk Justin, tunangan kakaknya yang membencinya lebih dari apapun. Fiona pun menjalani hidupnya beriringan dengan suara sumbang di sekitarnya. Namun, atas dasar kesepakatan bisnis antar keluarga yang telah terjadi sejak kakak Fiona masih hidup, Justin terpaksa menikahi Fiona dan bersumpah akan membuatnya menderita seumur hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Beby_Rexy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Semu
Justin menarik wajah Fiona dan mulai menciumnya dengan gerakan panas. Dan ciuman itu berbalas. Untuk beberapa lama mereka saling bercumbu.
"Kamu minum pil?" Justin melepas ciumannya dan berbisik di bibir Fiona.
Fiona mengangguk sambil menggigit bibir bawah. Justin menyeringai penuh arti sebelum membalikkan tubuh mereka hingga Fiona berbaring telentang. Sepertinya pertarungan yang sebenarnya benar-benar akan terjadi malam ini.
"Ayo kita singkirkan ini." Justin membantu Fiona melepas gaunnya, dan melepas miliknya juga. Mata Justin kini menjelajahi tubuh Fiona seolah ia sedang menanamkan setiap detail kecil ke dalam ingatannya.
Justin tersenyum lagi, senyum yang menyebalkan tapi Fiona suka.
"Aku akan menidurimu." Justin memberi tahu, dan itu terdengar aneh.
"Aku tahu," jawab Fiona, membuatnya tersenyum.
Dan tiba-tiba saja “si kecil itu” langsung menyerang begitu saja.
Pada saat itu Fiona berteriak kaget. "Aaaaa... SAKIT! SAKIT!”
Ia menjerit kesakitan, Justin juga ikut terkejut jadi dia berhenti dan menarik itu keluar.
"Kamu sangat sempit." Justin mengembuskan napas, lalu mulai masuk lagi tanpa rasa kasihan. Dasar gila! Fiona rasanya mau pingsan.
Astagaaaaa!!! “si kecil itu” besar sekali. Saking besarnya, milik Fiona sampai terasa terbakar.
"Ini pertama kalinya?" Justin berhenti, menatap Fiona, hampir terkejut. Dan Fiona bersumpah ia hampir menangis. Bukan hanya karena sakit, tapi karena frustrasi.
"Kamu baru sadar...?" ujar Fiona kesal tapi hanya bisa pasrah.
Justin meneruskan upayanya. Dan kali ini mereka benar-benar bercinta, dalam arti yang sesungguhnya.
Di tengah rasa sakit dan membakar itu, butuh pertahanan kuat untuk Fiona hingga akhirnya rasa itu berubah menjadi nyaman. Sungguh nyaman sekali. Fiona terhanyut.
"Fiona..." Justin menghembuskan napas, Fiona menatapnya. Punggung Justin sudah penuh dengan goresan kuku panjang Fiona.
Semakin lama Justin semakin cepat. Fiona mulai kelabakan.
"Kamu suka?" bisik Justin pelan di telinga Fiona.
Fiona hanya mengangguk, rasa geli berkumpul di ujung perutnya. Sepertinya sesuatu akan terdesak keluar. Sementara Justin terus mempercepat dan hilang kendali.
Lalu tepat pada saat keduanya akan mengakhiri perjuangan itu bersama.
Justin meracau. "Sudah kubilang, jangan main-main sekarang, Fania!" geramnya... Dan seluruh tubuh Fiona mendadak membeku.
Fiona tetap terkunci di bawah Justin sementara Justin terus memompanya, dan akhirnya, ia tersadar. Dia melambat dan menatap Fiona dengan mata terbelalak.
Rasanya seperti seember air es telah dituangkan langsung ke wajah Fiona, menamparnya begitu keras dan menariknya kembali ke masa kini. Lamunan itu, dunia kecil yang mereka ciptakan dalam hitungan hari, runtuh dalam sepersekian detik.
"Sial," umpat Justin lirih dan kepalanya tertunduk di antara bahunya.
Fiona menopang tubuhnya dengan siku sebelum mendorong Justin pelan-pelan. Tak ada yang perlu ia katakan lagi. Rasanya canggung sekali, tapi itu sudah terjadi. Ya, Fiona rasa mereka mungkin berharap dan bermimpi untuk hidup bahagia, tapi kenapa Justin harus mengingat nama itu di saat seperti ini?
"Fiona, tunggu." Justin memegang tangan Fiona saat ia melompat dari tempat tidur dan membungkuk untuk mengambil gaunnya.
Memutar pergelangan tangannya, Fiona menarik tangannya dari Justin, lalu menuju ke lemari tempat ia buru-buru mengambil semua barangnya dan mulai memasukkannya ke dalam tas.
"Kamu tidak bisa pergi sekarang," kata Justin sambil berdiri tepat di belakang Fiona, tapi Fiona terlalu fokus pada apa yang ia lakukan hingga tidak memperhatikan apa yang Justin katakan.
"Sialan, Fiona. Berhenti!" geram Justin, akhirnya membuat Fiona berhenti.
Fiona berbalik menatap Justin. Jantungnya berdebar kencang di dada, membuatnya mustahil mendengar dan merasakan apa pun di sekitar. Wajahnya panas, dan rasa mual yang hebat terus menghantam perutnya, membuat Fiona ingin memuntahkan semua makanan yang ia makan tadi.
"Dengar, aku... aku tidak bermaksud... apa yang kukatakan.." Justin tergagap, lalu berhenti dan menarik napas dalam-dalam.
"Kita bisa bicarakan ini. Kamu tidak perlu pergi," kata Justin sambil menatap Fiona dengan putus asa. Tapi apa pun yang Justin katakan atau lakukan, bahkan jika mereka mencoba hidup seperti orang normal, mereka tidak akan pernah bahagia. Karena Fania selalu ada, dan selalu tentang Fania. Sayangnya, dia akan selalu ada meskipun dia sudah lama tiada!
Fiona menelan ludah yang mengganjal di tenggorokannya, lalu memberi Justin senyuman sedih.
"Nggak apa-apa, Justin. Aku bisa urus diriku sendiri." Setelah itu, Fiona berbalik dan mengambil celana pendek dan kaus longgar, lalu buru-buru memakainya.
Justin mencoba membujuknya untuk tetap di sana sepanjang waktu, tetapi Fiona tidak mendengarkan. Yang dapat Fiona dengar hanyalah suara saat Justin terengah-engah, lalu menyebut "Fania," sambil terus menidurinya, raut hasrat murni terpancar di wajahnya. Tapi ternyata bukan Fiona yang dilihatnya, melainkan satu-satunya cinta dalam hidupnya. Dan Fiona mengerti. Ia tahu betapa Justin mencintai Fania dan tidak akan ada yang menggantikannya. Bahkan dirinya.
Dan saat ini, Fiona baru tersadar saat mendapati air mata pahit yang kini mengalir di wajahnya saat ia berdiri di lorong-lorong kosong kapal pesiar di tengah malam, tidak tahu harus ke mana atau kepada siapa ia harus berlari.
Sepanjang hidupnya, Fiona tak pernah menyangka akan tahu apa itu bentuk kehinaan.
Dan dia tidak pernah tahu kalau rasanya sekejam ini!
kamu mau mengharapkan apa Fiona pada lelaki yang belum bisa lepas dari masa lalunya bahkan tidak mencoba lepas dari dulu sebelum kamu masuk dlm hidupnya.beri ruang untuk diri masing2 aja dulu, tidak usah dipaksakan agar selaras karena kalau dipaksakan selaras, Fiona lah yang harus kuat mental,jika tak kuat mental siapa2 aja tertekan batin.
cara paling utama: jangan pernah mencintai secara berlebihan segala sesuatu yg bersifat sementara (tidak kekal) karena segala yg berlebihan itu tidak pernah baik . lihat kamu, seperti orang gila +tolol+Ling lung, hilang arah.
jadi orang kok egoisan banget...