NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Toura, Academy Noble?

Di wilayah terpencil Toura, Benua Hanie, tersembunyi sebuah tempat yang tak tercatat di peta dunia: Akademia. Tempat ini adalah sekolah sihir dan ksatria yang menjadi impian banyak pemuda, meski hanya sedikit yang bisa menemukannya. Di sinilah William Luthelia, seorang pemuda berambut hitam dan bermata biru dari Benua Shirayuki Sakura, wilayah Niflheim, menempuh pendidikannya. Penampilannya yang mewah dengan kacamata berbingkai emas membedakannya dari siswa lain, seolah menandakan statusnya yang tinggi. Namun, di balik penampilannya yang elegan, ia hanyalah seorang pemuda yang tidak bisa bertarung, sebuah rahasia yang membuatnya sering merasa cemas di tengah lingkungan yang kompetitif.

Pada suatu jam istirahat, saat William sedang membaca buku di taman, sekelompok siswa menghampirinya.

"Hei, William! Ikut kami sebentar," ajak salah satu dari mereka dengan nada yang tidak ramah.

Tanpa bisa menolak, William mengikuti mereka ke tempat sepi di belakang asrama yang jarang dilewati orang. Saat tiba, para siswa itu langsung mengeroyoknya. Pukulan dan tendangan silih berganti menghantam tubuhnya.

"Kenapa kalian memukulku?" tanya William dengan suara gemetar, tetapi jawabannya hanyalah pukulan yang semakin keras. Ia hanya bisa pasrah, mencoba melindungi kepalanya dari serangan tanpa henti.

"Apakah ini karena aku dari Shirayuki Sakura? Atau karena aku berbeda?" gumamnya dalam hati, merasakan keputusasaan yang mendalam.

Setelah beberapa jam, salah satu siswa berteriak, "Sial, ada guru!" Mereka pun segera bubar, meninggalkan William yang tergeletak lemah di tanah. Namun, sebelum pergi, salah satu dari mereka mendekat dan membisikkan ancaman.

"Jangan berani-beraninya mengadu ke guru! Kalau melakukannya, kau akan tahu akibatnya." William hanya bisa mengangguk lemah, air mata menetes dari matanya.

"Aku tidak punya siapa-siapa di sini. Aku tidak bisa melawan. Haruskah aku menyerah?" pikirnya dalam hati, menatap langit-langit yang kelabu.

...

...

Luka fisik dan mental yang ia rasakan jauh lebih menyakitkan daripada pukulan yang ia terima. Kekerasan ini akan menjadi kenangan pahit yang tak terlupakan di Akademia.

Seorang pemuda dengan rambut hitam dan mata merah yang tajam, Ikaeda Indra, melangkah memasuki gerbang megah Akademia. Ia datang atas rekomendasi pelatihnya, Chae Bom, yang mengajar di sini. Meskipun ia adalah putra seorang pangeran dari Benua Shirayuki Sakura, ia tidak ingin identitas aslinya diketahui. Oleh karena itu, ia hanya menuliskan nama depannya, Indra, saat mendaftar.

"Akademia... akhirnya aku sampai," gumamnya dalam hati, tatapannya menyapu seluruh penjuru sekolah. Suasana yang ramai dan penuh semangat terasa kontras dengan ketenangan yang biasa ia rasakan.

Saat sedang berjalan menyusuri koridor, Indra melihat seorang pemuda berkacamata berbalik dari sebuah tempat tersembunyi. Langkahnya yang gontai dan gerakannya yang terlihat menahan sakit membuat Indra menghentikan langkahnya. Ia melihat pemuda itu, William Luthelia, berjalan menjauh, namun Indra bisa melihat dengan jelas lebam di pipi dan bekas luka di sudut bibirnya.

"Apakah di sini juga ada perundungan? Sial, kupikir tempat ini akan berbeda," batin Indra, ekspresi dinginnya semakin mengeras. Ia tidak bisa mengabaikan pemandangan itu, namun ia juga tahu bahwa ikut campur bukanlah cara terbaik untuk memulai kehidupannya di tempat baru ini.

Setelah memandang William yang semakin menjauh, Indra melanjutkan perjalanannya. Ia menuju ruang guru untuk bertemu dengan Chae Bom, pelatihnya, dan menerima arahan lebih lanjut.

"Aku harus lebih berhati-hati di sini. Lingkungan ini tidak seaman yang kulihat," pikirnya. Ia tiba di depan pintu ruang guru dan mengetuknya.

"Masuk," jawab suara dari dalam. Indra membuka pintu dan melangkah masuk, siap menghadapi tantangan baru di Akademia, termasuk misteri di balik luka William.

Karena Chae Bom sedang mengajar, Ikaeda Indra bertemu dengan seorang guru lain yang mengarahkan.

"Selamat datang di Akademia. Ruanganmu di Gedung F," ujar sang guru dengan nada datar.

"Gedung F adalah tempat bagi siswa yang tidak memiliki kemampuan bertarung atau sihir yang menonjol." Mendengar itu, Indra tidak menunjukkan reaksi berarti.

"Baik," jawabnya singkat, lalu segera keluar dari ruangan itu. Di dalam hatinya, ia bergumam, "Tak masalah. Aku tidak butuh fasilitas mewah. Yang penting aku bisa membuktikan diriku di sini." Ia melanjutkan langkahnya menuju Gedung F, sebuah tempat yang tampak sunyi dan terpencil.

Setibanya di Gedung F, Indra mendapati pemandangan yang tak terduga. Di sana, ia melihat William Luthelia, pemuda yang tadi ia lihat, sedang duduk bersama beberapa siswa lain.

Mereka semua tampak memiliki kemiripan: ada lebam di wajah dan tatapan mata yang kosong, seolah-olah mereka adalah korban perundungan. Indra mendekat, dan salah satu dari mereka menyambutnya dengan ragu.

"Kamu anak baru? Ruanganmu di sini juga?" tanyanya. Indra mengangguk. "Namaku Indra," jawabnya, menyembunyikan nama keluarganya. "Aku dari Benua Shirayuki Sakura."

Salah satu siswa lainnya terkejut, "Aku juga dari Shirayuki Sakura, tapi dari wilayah Niflheim," kata William. Mata Indra sedikit melebar. Ia tak menyangka akan bertemu dengan seseorang dari benua yang sama, meski dari wilayah yang berbeda.

"Aku William Luthelia," kata William memperkenalkan diri.

"Dan aku dari wilayah Niflheim." Sementara Indra perkenalan dari wilayah Suzaku. Momen perkenalan itu terasa janggal. Di antara mereka semua, hanya William dan Indra yang berasal dari benua yang sama.

"Jadi, kita tetangga," ucap Indra dingin, meski di dalam hatinya ada sedikit rasa penasaran. Ia mulai menyadari bahwa Gedung F ini bukan hanya tempat bagi siswa "buangan," melainkan juga tempat berkumpulnya mereka yang mungkin memiliki latar belakang tersembunyi atau masalah yang sama. Ia memutuskan untuk mengamati situasi ini lebih jauh.

"Ini akan menarik," batinnya, menyilangkan tangan di dada. "Sangat menarik."

Keesokan harinya, Gedung F terasa lebih hidup. Setelah sarapan, William mengajak yang lain, termasuk Indra, untuk berkeliling.

"Dengar, di sini ada beberapa aturan tak tertulis," bisik William saat mereka berjalan di koridor.

"Kita harus menghindari siswa dari Gedung A, B, dan C jika tidak ingin masalah." Indra hanya mendengarkan dengan wajah dingin.

"Mereka itu kasta tertinggi, dari keluarga bangsawan dan memiliki kekuatan besar," lanjut William. "Mereka tidak akan segan untuk merundung kita. Jadi, tetaplah bersama dan jangan sendirian."

Saat mereka duduk di kelas pertama, Indra menyadari bahwa mereka semua tidak memiliki kemampuan sihir atau bertarung yang menonjol.

Namun, ia melihat ada potensi lain di antara mereka. Salah satu dari mereka, seorang pemuda bernama Leo, memiliki bakat dalam kerajinan.

Seorang gadis bernama Elara memiliki pengetahuan yang luas tentang ramuan herbal. William sendiri, meskipun tidak bisa bertarung, memiliki pemahaman taktik yang luar biasa.

"Mungkin ini sebabnya kami berkumpul di sini," gumam Indra dalam hati. "Kami bukan buangan, tapi... kami adalah mata-mata yang tidak terlihat. Tidak perlu kekuatan fisik, cukup dengan kecerdasan."

Meskipun Indra tidak suka berbicara banyak, ia mulai membuka diri kepada yang lain. Mereka mulai berbagi cerita dan pengalaman, menjalin pertemanan yang tidak terduga. Indra, yang biasanya menjauh dari orang lain, merasa nyaman di antara mereka.

"Kau tahu, kau tidak terlihat seperti orang yang takut pada apa pun," kata William, menatap mata tajam Indra.

"Aku tidak takut pada mereka, aku hanya tahu kapan harus bertarung dan kapan harus menahan diri," jawab Indra datar. Mereka semua tertawa, termasuk Indra yang menyunggingkan senyuman tipis. Di Gedung F, di antara mereka yang dianggap lemah, sebuah ikatan kuat mulai terbentuk.

Ikatan persahabatan di Gedung F semakin menguat. Namun, mereka tidak mengetahui rahasia terbesar Indra. Di balik perawakan pendiam dan wajah dinginnya, Indra adalah Pangeran Suzaku dari Benua Shirayuki. Ia sengaja menyembunyikan identitasnya, ingin melihat seberapa jauh mereka bisa berjuang tanpa mengetahui kekuasaan dan pengaruh yang ia miliki.

"Mereka harus kuat dengan cara mereka sendiri," gumam Indra dalam hati saat ia melihat teman-temannya berlatih. Ia mengamati William yang berusaha keras memahami taktik pertarungan, meskipun tidak memiliki kekuatan fisik. Indra sesekali memberi saran singkat yang membuat William terkejut,

"Bagaimana kau tahu itu?" tanya William suatu hari. "Insting," jawab Indra datar, membuat William hanya bisa terdiam bingung.

Suatu sore, saat mereka sedang dalam pelajaran ramuan, Elara kesulitan mencari bahan langka. Kelompok lain mengejeknya, mengatakan bahwa anak-anak Gedung F tidak akan pernah berhasil.

"Kita tidak akan mendapatkan bahan itu. Kita tidak punya uang," keluh Elara dengan wajah sedih. Tanpa banyak bicara, Indra melangkah keluar. Ia kembali beberapa saat kemudian dengan membawa bahan yang Elara butuhkan. "Ini," katanya sambil meletakkan beberapa akar langka di atas meja.

"Aku... darimana kau mendapatkannya? Itu sangat mahal!" seru Elara dengan mata terbelalak. Indra hanya mengangkat bahu. "Aku tahu tempat," jawabnya singkat. Ia tidak ingin mereka tahu bahwa ia menggunakan pengaruhnya untuk mendapatkan bahan itu, karena ia ingin mereka berjuang dengan cara mereka sendiri.

Kejadian-kejadian kecil seperti itu terus berlanjut. Indra membantu mereka dengan cara-cara yang tak terduga, tanpa pernah mengungkapkan identitas aslinya. Ia melihat tekad dan semangat juang yang tulus dari teman-temannya. Ia melihat bagaimana William menjadi semakin tangguh, tidak lagi pasrah saat diintimidasi.

"Mereka bukan buangan, mereka adalah pejuang," pikir Indra. "Hanya saja mereka butuh sedikit dorongan." Ia tersenyum tipis, merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu bahwa persahabatan ini akan mengubah mereka semua, dan ia akan ada di sana untuk menyaksikannya, tidak sebagai pangeran, tetapi sebagai Indra, teman mereka.

Suatu siang yang cerah, Indra berjalan sendirian di koridor Akademia, tenggelam dalam pikirannya. Tiba-tiba, dari arah berlawanan, sebuah kelompok siswa dari Gedung A menabraknya dengan sengaja.

"Hei, lihat siapa yang ada di sini, anak Gedung F!" ejek salah satu dari mereka, seorang pemuda berambut pirang dengan seringai sinis. Teman-temannya tertawa.

"Apa matamu tidak berfungsi, hah? Lain kali pakai matamu untuk melihat!" Indra hanya berdiri tegak, memandang mereka dengan tatapan dingin, lalu tersenyum tipis, sebuah senyuman yang tidak sampai ke matanya.

"Maafkan saya," ujarnya dengan suara rendah, lalu berjalan pergi meninggalkan mereka yang terkejut dengan sikapnya.

"Sombong sekali dia," gumam mereka, meskipun tidak berani mengejarnya.

Sesampainya di Gedung F, William yang melihat Indra dengan terburu-buru menghampirinya.

"Indra, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menabrak mereka?" omel William dengan wajah cemas.

"Mereka berbahaya, kenapa kau tidak menghindarinya saja?" Indra hanya memandang William, senyum sinisnya tadi berganti menjadi senyum tipis yang tulus.

"Aku hanya berjalan, mereka yang menabrakku," jawab Indra.

"Mereka itu sangat kuat, kau tidak boleh memprovokasi mereka!" William terus mengomel, ia benar-benar khawatir.

Indra hanya mengangguk mengerti, "Ya, kau benar." Ia tahu William mengkhawatirkannya, dan ia menghargai itu.

Elara yang juga mendengar percakapan itu, mendekat dengan wajah lega.

"Syukurlah kau tidak terluka, Indra," katanya sambil memeriksa Indra dari atas ke bawah.

"Mereka memang suka mencari masalah." Indra tersenyum, "Aku baik-baik saja." Dalam hati, Indra merasa terkejut dengan kepedulian teman-temannya. Ia yang biasanya sendirian, kini memiliki seseorang yang peduli. "Benar-benar tulus," batinnya. "Aku tidak menyangka akan menemukan tempat seperti ini."

Ia melihat ke arah William dan Elara, di balik wajah dinginnya, ia merasakan kehangatan yang tak terlukiskan. Mereka adalah alasan mengapa ia menyembunyikan identitasnya, ia ingin melihat seberapa jauh ia bisa melindungi mereka tanpa menggunakan kekuasaannya.

.

.

.

.

.

.

Di ruangan guru yang dipenuhi rak buku tebal dan aroma kertas tua, Yena, seorang gadis nekomimi dengan telinga dan ekor yang bergerak-gerak gelisah, berdiri di hadapan ibunya, Eunho.

"Ibu, aku ingin bertemu dengan Indra," kata Yena, suaranya terdengar cemas.

Eunho, yang juga seorang nekomimi, menatap putrinya dengan lembut. "Ada apa, Yena? Bukankah kalian baru saja bertemu?" tanyanya. Yena mengangguk. "Aku ingin menanyakan sesuatu padanya, Bu. Tentang pengalamannya di Toura. Aku penasaran, apakah dia baik-baik saja?"

Eunho tersenyum. "Tentu saja. Tapi dia tidak tinggal di asrama utama. Dia di Gedung F." Mendengar itu, mata Yena melebar karena kaget.

"Gedung F? Tapi bukankah itu tempat bagi siswa yang tidak memiliki kemampuan bertarung atau sihir?" tanya Yena dengan nada tidak percaya.

Eunho mengangguk. "Ya, begitulah. Aku tidak tahu apa alasan Indra, tapi dia sepertinya punya tujuan sendiri." Yena terdiam sejenak, memikirkan Indra. Ia teringat pertemuannya dengan Indra di alun-alun Toura. Meskipun awalnya diwarnai perdebatan, ia menyadari bahwa Indra adalah sosok yang tulus dan jujur.

"Kenapa dia harus di tempat seperti itu?" gumam Yena dalam hati. "Dia bukan orang yang lemah. Dia kuat. Aku harus mencarinya."

Eunho, yang telah lama bersahabat dengan ibu Indra, Araya Yuki Yamada, merasa cemas akan kekhawatiran Yena. "Jangan khawatir. Indra adalah putra Pangeran Suzaku. Dia tahu apa yang ia lakukan," kata Eunho, mencoba menenangkan putrinya.

Namun, Yena tetap merasa gelisah. "Aku harus menemukannya, Bu," kata Yena dengan tekad kuat. "Aku ingin tahu apakah dia baik-baik saja."

Eunho mengangguk, bangga melihat tekad putrinya. "Baiklah, pergilah. Tapi berhati-hatilah."

Yena pun mengangguk dan segera melangkah keluar dari ruangan, menuju Gedung F. Ia tidak peduli apa kata orang tentang Gedung B, yang penting baginya adalah menemukan Indra.

Tiba di Gedung F, Yena celingukan mencari sosok Indra. Ia melihatnya sedang tertawa kecil di tengah kerumunan siswa yang tampak akrab.

Tanpa ragu, Yena memanggil, "Indra!" Suaranya yang nyaring membuat semua mata tertuju padanya. Indra menoleh, terkejut melihat Yena berada di sana. Tanpa diduga, Yena berlari menghambur ke arah Indra dan memeluknya erat. "Indra! Aku khawatir!" serunya.

Dengan sigap, Indra memegang kedua bahu Yena, sedikit menjauhkannya, dan berbisik pelan di telinganya, "Jangan lakukan itu. Dan jangan sebutkan apapun tentang diriku yang sebenarnya di sini." Yena terdiam, menatap mata merah Indra yang memperingatkannya. Ia mengangguk kecil, mengerti bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Indra.

Indra menoleh ke teman-temannya. "Maaf teman-teman, ada urusan sebentar," ucapnya. William dan yang lainnya mengangguk penuh tanya. Indra lalu menggandeng tangan Yena, membawanya keluar dari Gedung F.

Setelah berada di tempat yang lebih sepi di halaman belakang gedung, Indra melepaskan tangannya. "Kenapa kau ke sini, Yena? Dan kenapa kau memelukku seperti tadi?" tanya Indra dengan nada sedikit khawatir.

Yena menatapnya dengan wajah cemas. "Aku mendengar kau di Gedung F. Aku khawatir terjadi sesuatu padamu." Indra menghela napas. "Aku baik-baik saja. Aku memang memilih untuk berada di sini."

"Tapi kenapa? Kau bukan orang yang lemah," tanya Yena heran. "Aku punya alasan sendiri," jawab Indra misterius.

"Yang penting, jangan khawatirkan aku. Dan tolong, rahasiakan tentang siapa aku sebenarnya di sini. Aku ingin melihat sesuatu." Yena mengangguk lagi, meskipun masih banyak pertanyaan di benaknya. Ia tahu Indra bukan orang biasa, dan pasti ada alasan kuat di balik tindakannya.

"Baiklah," kata Yena akhirnya. "Tapi berjanjilah untuk berhati-hati. Ibu sangat khawatir padamu juga." Indra tersenyum tipis. "Aku tahu. Sampaikan salamku pada Bibi Eunho."

Pertemuan singkat itu meninggalkan lebih banyak misteri daripada jawaban, namun Yena percaya pada Indra. Ia tahu, di balik sikap dinginnya, ada tujuan yang sedang ia perjuangkan.

Sebelum beranjak pergi, Yena menatap Indra dengan mata yang penuh tekad. "Dengar, Indra. Aku tahu kau punya tujuan di sini, tapi tolong berhati-hati," ucapnya. "Jika aku mendengar kau terluka lagi, atau kau tidak menjaga dirimu sendiri, aku tidak akan mau ikut denganmu ke Festival Toura yang akan datang!"

Ancamannya membuat Indra sedikit terkejut, namun ia tahu Yena bersungguh-sungguh. Indra tersenyum tipis, "Baiklah, Yena. Aku janji akan berhati-hati." Yena membalas senyumnya, merasa sedikit lega. "Sampaikan salamku pada Ibumu," ujar Indra.

Yena mengangguk, lalu berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Indra yang masih berdiri di sana, memandang kepergiannya. "Festival Toura," gumamnya pelan, teringat janji yang telah mereka buat.

Sementara itu, dari jendela lantai dua Gedung F, William dan teman-temannya mengamati interaksi Indra dan Yena.

"Siapa gadis itu?" tanya Leo, seorang pemuda bertubuh besar dengan mata bingung. "Dia putri dari Guru Eunho," jawab William, wajahnya masih dipenuhi rasa penasaran. "Aku pernah melihatnya saat di ruang guru." Elara yang berdiri di samping mereka menambahkan, "Dia sangat populer, dan dia adalah petarung yang hebat." Mendengar itu, semua mata tertuju pada Indra. "Apa jangan-jangan dia pacar Indra?" tanya Leo, suaranya terdengar tidak percaya.

Willian memandang ke arah Indra yang kini berjalan masuk ke dalam gedung. "Mungkin saja," jawab William, mengerutkan dahi. "Tapi, Indra tidak pernah menceritakan apapun tentang dirinya. Dia bahkan tidak pernah menyebut keluarganya. Dan kenapa seorang putri guru yang kuat dan populer mau berteman dengan anak Gedung F?" Mereka semua terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka lihat. Indra memang sosok yang misterius, dan kedatangan Yena semakin menambah misteri di sekelilingnya.

"Aku harus mencari tahu," batin William, tekadnya kini bukan hanya untuk melindungi diri, tapi juga untuk memahami rahasia Indra, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari mereka.

Sejak kedatangan Yena, William dan teman-temannya di Gedung F mulai mengamati Indra dengan lebih saksama. Mereka sering melihat Indra menyendiri, duduk di bawah pohon sambil membaca buku atau hanya memandang langit.

"Dia selalu sendiri," gumam William suatu sore, saat melihat Indra duduk di kejauhan. "Apa dia tidak pernah merasa kesepian?" Elara menggeleng. "Entahlah. Dia sangat misterius."

Sesekali, mereka melihat Yena datang, kadang mengagetkannya dari belakang, kadang menarik-narik ekor kucingnya sambil tertawa. Indra hanya akan menoleh, wajahnya dingin, tapi tidak pernah menunjukkan kemarahan. Bahkan, terkadang ia tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang sangat jarang mereka lihat.

"Lihat itu! Putri dari Guru Eunho mengejar Indra lagi," bisik Leo, menunjuk Yena yang kini mencoba mengambil buku dari tangan Indra.

"Dia tidak terlihat seperti pacar, tapi lebih seperti kucing yang mencoba bermain dengan tuannya." William tertawa kecil. "Mungkin kau benar. Tapi aneh, seorang putri guru yang kuat dan populer mau menghabiskan waktunya dengan Indra."

William mulai berpikir bahwa ada lebih banyak hal di balik hubungan mereka. "Apa Yena tahu siapa Indra sebenarnya? Kenapa dia sering mengganggu Indra, bukannya siswa lain?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benak William. Ia menyadari bahwa interaksi mereka bukanlah perundungan, melainkan sebuah bentuk perhatian yang aneh.

Suatu hari, William memberanikan diri untuk bertanya kepada Indra. "Indra... apa kau dan Yena...?" Indra menoleh, tatapannya tajam, dan William langsung menghentikan kalimatnya. "Maaf, aku tidak bermaksud lancang," kata William.

Indra menghela napas. "Yena adalah..." Indra terdiam sejenak. "Dia adalah temanku." Jawaban singkat itu membuat William terdiam. Ia tidak tahu harus bertanya apa lagi. Namun, jawaban itu sudah cukup. Indra tidak menyembunyikan Yena, ia hanya tidak ingin mengumbar ceritanya. William mengerti bahwa mereka memiliki hubungan yang lebih dalam dari sekadar teman biasa, sebuah ikatan yang terbentuk dari masa lalu, dan ia memutuskan untuk menghormati privasi itu.

.

.

.

.

.

.

.

.

Pagi itu, suasana Akademia terasa berbeda. Dari gerbang utama, masuklah dua sosok yang menarik perhatian: seorang penyihir wanita berambut putih yang elegan, Liini, dan seorang ksatria muda berambut hitam, Hatsuaki, yang mengawalnya.

Indra, yang sedang membaca buku di bangku taman, langsung menyadari kehadiran mereka. Sebuah senyum tipis, penuh makna, terukir di bibirnya.

Tanpa ragu, ia bangkit dari duduknya. "Aku harus pergi," katanya pada William dan Elara yang berada di dekatnya, matanya menatap lurus ke arah Liini dan Hatsuaki yang mulai berjalan mendekat.

"Kenapa, Indra?" tanya Elara keheranan. "Ada urusan," jawab Indra singkat, lalu pergi seolah tidak terjadi apa-apa, agar identitas aslinya tidak terbongkar.

Liini dan Hatsuaki melangkah menuju gedung utama. Di sana, mereka bertemu dengan seorang guru yang menyambut mereka dengan hormat.

"Kami datang untuk mengembalikan buku sihir ini, yang dipinjam oleh Lady Liini," kata Hatsuaki sopan, menyerahkan sebuah buku tebal. Sang guru mengangguk, lalu berbicara dengan Liini tentang isi buku tersebut.

"Apakah kamu baik-baik saja, Hatsuaki? Kau tampak tegang," tanya Liini dengan nada lembut, menyadari kegugupan juniornya.

"Saya baik-baik saja, Lady Liini. Hanya... saya merasa ada aura yang sangat kuat di sekolah ini," jawab Hatsuaki, matanya menyapu seluruh koridor, seolah mencari sesuatu.

Setelah urusan mereka selesai, Liini dan Hatsuaki berpamitan. "Terima kasih atas bantuannya, Hatsuaki," kata Liini.

"Tidak masalah, Lady Liini. Merupakan suatu kehormatan bagi saya," jawab Hatsuaki. Mereka pun meninggalkan Akademia. Selama perjalanan, Hatsuaki tidak bisa berhenti memikirkan Indra. Ia melihat sekilas sosok Indra, yang seharusnya berada di Benua Shirayuki.

"Apakah itu benar-benar Pangeran Indra?" gumam Hatsuaki dalam hati. Liini, yang menyadari kegelisahan Hatsuaki, menoleh.

"Kau memikirkan Indra?" tanyanya. Hatsuaki terkejut, namun mengangguk. "Ya, Lady Liini. Aku merasa melihatnya di sana," jawabnya. Liini tersenyum.

"Kau memiliki mata yang tajam, Hatsuaki. Tapi, untuk saat ini, lupakanlah. Biarkan dia menjalani jalannya." Hatsuaki hanya bisa mengangguk pasrah. Ia tahu, ada hal-hal yang tidak boleh ia tanyakan.

.

.

.

.

.

.

Keesokan harinya, William dan teman-temannya kembali berkumpul, mengamati Indra dari jauh. Kali ini, Yena ikut bergabung, duduk di samping Indra sambil terus mengoceh.

"Indra, kau tahu, aku bertemu dengan seorang ksatria yang sangat keren kemarin," cerita Yena dengan semangat. Indra hanya mengangguk, sesekali menyahut singkat. Sementara itu, William dan yang lain terheran-heran.

"Kenapa mereka terlihat begitu akrab?" bisik Elara pada William. "Lihat, Indra bahkan tersenyum tipis lagi," tambahnya. Mereka melihat Indra tertawa kecil saat Yena mencoba memakaikan bunga di rambut hitamnya.

"Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?" gumam William. Leo yang melihat pemandangan itu ikut berkomentar, "Mungkin mereka benar-benar pacaran, tapi Indra terlalu malu untuk mengakuinya."

Elara menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku rasa bukan itu. Tatapan Indra ke Yena berbeda, seperti..." ia terdiam, mencari kata yang tepat. "Seperti ia sedang menjaga sesuatu yang berharga." William mengangguk setuju. Ia juga merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hubungan romantis biasa. Ia melihat bagaimana Yena memperlakukan Indra dengan tulus, dan bagaimana Indra, di balik sikap dinginnya, membiarkan Yena berada di sisinya.

Beberapa saat kemudian, Yena berpamitan untuk kembali ke kelasnya. "Sampai jumpa, Indra!" serunya sambil melambaikan tangan. Indra membalasnya dengan lambaian tangan singkat. Setelah Yena pergi, Indra kembali pada sikapnya yang pendiam, seolah tidak terjadi apa-apa.

William pun memutuskan untuk mendekati Indra. "Indra... aku harus bertanya. Siapa Yena sebenarnya bagimu?" tanya William dengan nada hati-hati.

Indra menoleh, menatap William dengan mata merahnya yang tajam. "Dia... keluargaku," jawabnya pelan. Jawaban itu membuat William dan teman-temannya terdiam, menyadari bahwa hubungan Indra dengan Yena jauh lebih dalam dan rumit dari yang mereka bayangkan.

Mendengar pengakuan Indra, William dan teman-temannya terdiam. Kata-kata "Dia... keluargaku" menggema di benak mereka. Indra, yang tidak peka terhadap reaksi terkejut mereka, hanya menghela napas. Ia tidak berpikir teman-temannya akan menyimpulkan sejauh itu, dan ia tidak menyadari betapa pentingnya pengakuan itu bagi mereka.

"Aku rasa kalian salah paham. Yena dan ibunya, Guru Eunho, sudah seperti keluargaku sejak kecil," jelas Indra, berusaha menghilangkan kesalahpahaman. William dan yang lain hanya mengangguk, namun di dalam hati mereka, ada sesuatu yang berubah. Mereka tidak lagi melihat Indra sebagai sosok yang hanya pendiam dan misterius, tetapi sebagai seseorang yang memiliki ikatan kuat dengan orang lain.

"Jadi, Yena sering ke sini bukan karena kalian berpacaran, tapi karena dia mengkhawatirkanmu sebagai keluarga?" tanya Elara dengan nada yang lebih lembut.

Indra mengangguk. "Ya. Aku rasa dia khawatir karena aku ada di sini." Leo tertawa kecil. "Jadi begitu! Pantas saja kalian terlihat akrab. Aku pikir kalian punya hubungan rahasia."

Indra hanya tersenyum tipis, merasa lega karena kesalahpahaman itu akhirnya terurai. Ia menyadari bahwa pertemanannya dengan mereka telah membuatnya sedikit lebih terbuka, bahkan tanpa ia sadari. Ia tidak pernah berpikir ia akan menjelaskan hal-hal pribadi seperti ini, apalagi di tempat yang begitu kompetitif.

Meskipun kesalahpahaman itu teratasi, kebenaran itu membuat William dan yang lain merasa lebih dekat dengan Indra. Mereka menyadari bahwa di balik sikap dinginnya, ada hati yang hangat dan penuh perhatian. Mereka tidak lagi melihatnya sebagai misteri yang harus dipecahkan, melainkan sebagai seorang teman yang harus dilindungi.

"Kita semua adalah keluarga di sini," kata William sambil menepuk pundak Indra. Indra sedikit terkejut, tetapi ia tahu menolak. Ia mengangguk, tatapannya kini lebih hangat. Ia tahu, di Gedung F ini, ia tidak hanya menemukan tempat untuk berjuang, tetapi juga sebuah keluarga yang tulus.

Seiring berjalannya waktu, William dan kawan-kawan mulai terbiasa dengan pemandangan Yena yang selalu berada di sekitar Indra. Mereka tidak lagi heran melihat Yena menyuapi Indra kue, atau Yena yang memegang tangannya saat mereka berjalan. Mereka menganggapnya sebagai bentuk kasih sayang layaknya keluarga.

"Lihatlah mereka, seperti pasangan suami istri," bisik Leo, terkekeh saat melihat Yena dengan gemas mencubit pipi Indra. William tersenyum. "Mereka lebih dari itu. Mereka adalah keluarga. Mereka saling peduli." Mereka menyadari bahwa Yena, putri dari guru yang dihormati dan seorang petarung kuat, bukanlah gadis sombong seperti kebanyakan siswa di Akademia.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Suatu hari, ketika mereka makan siang di kantin, seorang siswi dari Gedung B mengejek Yena karena bergaul dengan anak Gedung F.

"Lihatlah, si cantik itu bergaul dengan pecundang," cibir siswi itu. Yena hanya menoleh, matanya yang tajam membalas tatapan siswi itu.

"Aku lebih suka berada di sini, bersama teman-teman yang tulus, daripada bersama orang-orang yang hanya bisa memandang rendah orang lain," jawab Yena dengan suara lantang, membuat siswi itu terdiam malu. William dan teman-temannya terkejut dan kagum. Mereka melihat Yena tidak hanya kuat secara fisik, tapi juga memiliki hati yang mulia dan keberanian untuk membela mereka.

Momen itu membuat mereka semakin menghargai kehadiran Yena. Mereka melihat sisi lain dari Yena yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Ia tidak hanya mengagumi Indra, tetapi juga melindungi dan menyayangi teman-teman Indra.

"Yena tidak seperti yang lain. Dia benar-benar baik," gumam Elara. "Ya," timpal William.

"Dia membuatku percaya bahwa masih ada orang baik di tempat ini." Mereka kini tidak hanya mengagumi Yena karena kekuatannya, tetapi juga karena ketulusannya. Kehadiran Yena menjadi pengingat bagi mereka bahwa kebaikan masih bisa ditemukan, bahkan di tengah-tengah persaingan dan perundungan yang kejam.

.

.

.

.

Pada suatu sore yang cerah, Indra pergi meninggalkan Gedung F untuk menemui Yena, seperti yang sering ia lakukan. Kepergiannya ini menjadi kesempatan bagi sekelompok siswa dari kalangan atas, dipimpin oleh seorang pemuda bernama Gideon, untuk masuk ke wilayah Gedung F yang jarang mereka kunjungi. "Lihatlah, tempat ini baru sekali," ujar Gideon dengan nada meremehkan.

"Pecundang-pecundang ini pasti tidak pernah mandi." William dan yang lainnya yang sedang berada di ruang bersama hanya bisa menahan amarah.

"Apa yang kalian inginkan? Ini adalah wilayah kami," tanya Leo dengan suara gemetar. Gideon tertawa sinis. "Kami hanya ingin melihat-lihat. Apa kalian keberatan?"

Perdebatan kecil itu dengan cepat berubah menjadi kekerasan. Gideon menendang meja di depan Leo, membuat buku-buku berserakan di lantai.

"Bersihkan itu, atau kau akan tahu akibatnya!" bentaknya. Saat Elara mencoba membantu, seorang siswi dari kelompok Gideon mendorongnya hingga terjatuh.

"Jangan sentuh dia, dasar kotor!" ujar siswi itu. William yang melihat itu tidak bisa tinggal diam. "Beraninya kau menyentuhnya!" seru William, berusaha melindungi Elara. Namun, ia justru menjadi sasaran utama. Gideon dan teman-temannya mulai memukuli William, mengabaikan teriakan siswa lain yang ketakutan.

"Mana temanmu si sok jagoan itu? Kenapa dia tidak ada di sini?" ejek Gideon.

Pukulan demi pukulan menghantam tubuh William, sementara yang lain hanya bisa melihat dengan pasrah. Pakaiannya yang mewah menjadi kotor dan robek, kacamatanya terlepas dan pecah di lantai.

"Kenapa... kalian selalu... menyakiti kami?" tanya William di sela-sela napasnya yang tersengal. Gideon hanya tertawa.

"Karena kalian ada. Karena kalian lemah." Kata-kata itu menusuk hati William lebih dalam dari pukulan fisik.

Di saat ia merasa semua harapan pupus, ia berpikir tentang Indra. "Andai saja Indra ada di sini," gumamnya dalam hati. "Dia pasti tidak akan membiarkan ini terjadi." Namun, Indra tidak ada, dan William harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ia dan teman-temannya harus berjuang sendiri.

Meskipun ketakutan, William dan yang lainnya tidak menyerah. Mereka bangkit, berusaha melawan segerombolan siswa dari kalangan atas. Leo, dengan tubuhnya yang besar, mencoba menahan pukulan, sementara Elara melemparkan botol-botol ramuan yang pecah dan mengeluarkan asap tebal, membuat musuh-musuh mereka terbatuk-batuk.

"Kita... tidak akan menyerah!" teriak William, meskipun suaranya bergetar.

"Kita bukan pecundang!" Ia mencoba melepaskan pukulan, tetapi tenaganya tidak sebanding. Pukulan dan tendangan terus menghantam tubuh mereka. Air mata mengalir di wajah mereka, bercampur dengan darah dan debu, tetapi tekad mereka tidak goyah. Mereka tahu mereka tidak akan menang, tetapi mereka tidak mau menyerah tanpa perlawanan.

"Kalian sangat menyedihkan," ejek Gideon, memandang William yang tergeletak di lantai.

"Bahkan ketika kalian berusaha, kalian tetaplah pecundang." Kata-kata itu lebih menyakitkan dari pukulan fisik.

"Kami... kami mungkin tidak sekuat kalian," ujar William, mencoba bangkit lagi,

"tapi kami punya hati! Kami punya persahabatan!" Gideon hanya tertawa sinis.

"Persahabatan tidak akan membuat kalian menang. Kekuatan lah yang akan menang!" Namun, di balik tawa sinisnya, ada kekaguman kecil di matanya. Ia tidak menyangka mereka akan memiliki semangat seperti itu.

Gedung F menjadi medan pertempuran. Perabotan pecah, buku-buku berserakan, dan tawa jahat bercampur dengan tangisan putus asa. Saat mereka hampir menyerah, sebuah suara dingin menggema di pintu masuk.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Hentikan. Sekarang." Semua mata tertuju pada sosok yang berdiri di ambang pintu. Indra kembali. Wajahnya tidak menunjukkan amarah, hanya kebekuan yang mengerikan. Di sampingnya, Yena terlihat sangat marah, matanya memancarkan api. Kedatangan mereka menjadi titik balik dalam pertempuran yang tidak adil ini.

Kelompok perundung yang dipimpin oleh Gideon menoleh, melihat Indra dan Yena berdiri di ambang pintu. Mereka tertawa sinis.

"Lihat siapa yang datang! Pahlawan kita sudah kembali," ejek Gideon. "Kau pikir bisa menghentikan kami, pecundang?"

Indra tidak menjawab, hanya memandang Gideon dengan tatapan dingin. Yena yang sudah tidak bisa menahan amarahnya langsung maju. "Kalian yang pecundang! Sekelompok pengecut yang hanya bisa mengeroyok orang yang lebih lemah!" bentaknya.

Gideon tertawa lagi. "Oh, jadi kau mau jadi pahlawan? Aku tidak takut pada gadis kucing sepertimu."

Indra hanya menggelengkan kepala. "Yena saja cukup untuk melawan kalian semua," gumamnya, suaranya pelan namun menusuk.

Namun, saat matanya menyapu seisi ruangan yang kacau balau, Indra melihat Elara tergeletak lemas di lantai, bersama beberapa siswi lain. Ia melihat air mata dan darah yang mengotori wajah mereka. Seketika, aura dingin yang menyelubungi Indra berubah menjadi kegelapan yang pekat. Matanya yang merah menyala, tatapannya kini memancarkan amarah yang menakutkan. Ia berjalan melewati Yena, mendekati Elara yang terkapar.

"Apa yang mereka lakukan padamu?" tanya Indra dengan nada yang sangat dingin, suaranya bergetar menahan amarah.

"Mereka... mereka..." Elara tidak bisa melanjutkan kalimatnya, tangisnya pecah.

Indra berdiri tegak, membelakangi Elara. Matanya menatap Gideon dan teman-temannya. "Apa yang kalian lakukan pada mereka?" tanyanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan mengancam. "Apa kalian juga melukai mereka, para gadis ini?"

Gideon dan teman-temannya terdiam, menyadari bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar.

Aura yang dipancarkan Indra terasa begitu kuat dan menekan. Ini bukan lagi tentang perundungan. Ini tentang kehormatan dan perlindungan. "Jawab aku," suara Indra menggelegar, "apakah kalian yang melakukan ini?" Ruangan itu menjadi sunyi, hanya ada suara napas Indra yang berat dan penuh amarah.

Aura di dalam Gedung F berubah drastis. Amarah Indra yang membara terasa begitu dingin dan mencekam. Yena, yang menyadari apa yang akan terjadi, bergerak cepat. Dengan kelembutan yang tidak terduga, ia membantu siswa-siswi Gedung F yang terluka untuk keluar dari ruangan.

"Kalian keluar dulu," bisiknya pada Elara dan yang lainnya. "Biar kami yang urus ini." Elara menatapnya dengan mata penuh air mata.

"Tapi... kami takut."

Yena tersenyum meyakinkan. "Jangan takut. Kami di sini." Satu per satu, Yena memimpin mereka keluar, memastikan tidak ada yang tertinggal. Ia tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya tidak cocok untuk disaksikan oleh orang-orang yang tidak bersalah.

Namun, Gideon dan gengnya tetap sombong. "Apa-apaan ekspresimu itu? Kau pikir kau siapa?" ejek Gideon. "Kau hanya anak Gedung F. Sama saja pecundang sepertinya!"

Indra tidak menjawab, ia hanya memejamkan mata sejenak, lalu membukanya. Aura kegelapan yang menyelimutinya kini berubah menjadi kilatan petir. "Pecundang?" gumamnya, suaranya kini terdengar seperti guntur yang jauh. "Kalian tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan."

Yena, yang sudah berhasil mengevakuasi semua orang, kembali ke ambang pintu dan berdiri di samping Indra. "Jangan remehkan dia," katanya dengan nada serius. "Kalian akan menyesal."

Gideon tertawa terbahak-bahak. "Menyesal? Kenapa? Karena kalian akan menangis di kakiku?"

Indra menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya, suaranya tenang namun berbahaya. "Karena kalian akan tahu, bahwa merendahkan orang lain adalah kesalahan yang fatal." Ia mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, sebuah energi sihir yang besar terpancar dari tubuhnya. Ruangan itu bergetar, dan mata Gideon serta teman-temannya melebar ketakutan. Mereka menyadari, terlambat, bahwa mereka tidak sedang berhadapan dengan anak Gedung F biasa. Mereka berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih kuat dan menakutkan.

Saat energi sihir yang menakutkan hampir dilepaskan, Indra tiba-tiba menghentikannya. Kilatan petir di sekelilingnya meredup, dan aura mencekam itu perlahan menghilang. Gideon dan teman-temannya yang sudah pucat pasi menjadi bingung.

Indra melirik ke arah mereka dengan tatapan dingin. "Aku tidak akan menggunakan sihir yang baru kupelajari untuk melawan kroco seperti kalian," ujarnya, suaranya kembali datar, namun ada nada penghinaan di dalamnya. Yena yang berada di sampingnya menoleh, tampak bingung dengan keputusan Indra.

Indra berjalan ke sudut ruangan, mengambil gagang sapu yang patah, dan kembali ke tengah ruangan. "Ini saja sudah cukup," katanya, sambil memegang gagang sapu itu.

Gideon dan gengnya kembali tertawa sinis. "Apa-apaan itu? Kau mau membersihkan lantai?" ejek Gideon. "Bahkan anak kecil pun tidak akan takut dengan sapu patah."

Yena yang melihat itu tidak bisa menahan kekesalannya. "Indra, kau terlalu baik! Seharusnya kau beri mereka pelajaran yang pantas!" katanya dengan nada frustrasi.

Indra hanya menoleh dan tersenyum tipis, "Kau tahu, aku tidak suka menggunakan kekuatan yang berlebihan."

Namun, di balik senyum tipis, ada makna yang lebih dalam. Indra ingin menunjukkan bahwa kekuatan tidak selalu tentang sihir atau pukulan, tetapi juga tentang kecerdasan dan kemampuan.

"Aku akan tunjukkan pada kalian," kata Indra, "Bahwa aku bisa mengalahkan kalian semua hanya dengan ini." Ia memegang gagang sapu itu dengan santai, sementara Gideon dan teman-temannya saling berpandangan dengan wajah bingung. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan Indra, tetapi mereka tahu bahwa mereka telah meremehkan seseorang yang jauh lebih kuat dari yang mereka duga.

Indra memandang Yena yang masih berdiri di sampingnya dengan wajah kesal.

"Mau pakai gagang sapu juga?" tanyanya datar, mengangkat gagang sapu di tangannya. Yena menatapnya heran.

"Tentu saja!" jawabnya dengan antusias.

Namun, Indra malah menunjuk ke arah tumpukan puing. "Cari senjatamu sendiri," perintah Indra.

Yena memanyunkan bibir, tapi ia menurut. Ia menemukan penggaris kayu yang tebal dan cukup panjang di antara reruntuhan. "Ini dia!" serunya. Indra melirik penggaris itu, lalu ke gagang sapu miliknya yang sudah tua dan patah.

"Senjatamu lebih bagus dari punyaku," gumamnya, lalu menoleh ke Yena. "Mau tukar?"

Yena tertawa gemas. "Tidak mau! Cari sendiri!" tolaknya sambil menjulurkan lidah.

Sementara itu, Gideon dan gengnya yang sedari tadi mengamati mereka berdua, tertawa terbahak-bahak. "Mereka ini sedang bermain-main, ya?" ejek Gideon.

"Dengan gagang sapu dan penggaris kayu, mereka pikir bisa mengalahkan kami?" Teman-temannya ikut menertawakan Indra dan Yena.

"Ini adalah lelucon terbaik yang pernah kudengar! Apa kalian mau kami pukul dengan tangan kosong saja? Kami tidak mau disebut kejam karena memukul anak-anak yang bermain-main," kata salah satu dari mereka, mengejek dengan nada sombong.

Indra dan Yena saling berpandangan. Di mata mereka, tidak ada rasa takut, hanya tekad dan sedikit kenakalan. "Kau siap?" tanya Indra pada Yena.

"Tentu saja!" jawab Yena, memegang penggaris kayunya dengan erat. Aura santai yang mereka pancarkan membuat Gideon dan gengnya semakin meremehkan mereka. Mereka tidak tahu, di balik permainan konyol itu, ada kekuatan dan kecerdasan yang akan segera menghantam mereka. "Baiklah," gumam Indra, mengambil posisi. "Kita lihat saja siapa yang akan tertawa terakhir."

Indra memandang Yena dengan tatapan menantang. "Bagaimana kalau kita adu cepat?" tanyanya sambil memutar gagang sapu di tangannya.

Yena tersenyum lebar, matanya berbinar. "Adu cepat apa?" tanyanya kembali, memegang erat penggaris kayunya.

"Siapa yang paling banyak mengalahkan mereka," jawab Indra, menunjuk Gideon dan gengnya yang masih tertawa meremehkan.

"Yang kalah akan mentraktir makan malam." Yena mengangguk setuju dengan antusias.

"Deal! Aku pasti menang!" serunya, siap menyerang.

Indra hanya tersenyum tipis. "Kita lihat saja."

...

...

Gideon, yang mendengar percakapan mereka, mendengus sinis. "Mereka benar-benar gila! Mereka pikir kami ini apa, mainan?" Tanpa menunggu lagi, salah satu anggota geng Gideon menyerang Indra.

Dengan gerakan cepat, Indra menghindari serangan itu dan memukul lutut lawan dengan gagang sapunya. "Satu," gumam Indra. Di sisi lain, Yena berhasil menangkis serangan dan mendorong lawannya hingga terjatuh.

"Dua!" seru Yena bangga. Pertarungan pun dimulai. Indra bergerak dengan lincah, menggunakan gagang sapu untuk memblokir dan menyerang titik-titik vital lawan. Ia tidak melukai mereka secara serius, hanya membuat mereka tidak bisa bertarung.

Sementara itu, Yena bertarung dengan kekuatan dan kelincahan nekomimi-nya. Penggaris kayu di tangannya menjadi senjata mematikan, ia menyerang dengan cepat dan akurat. "Lima!" serunya, menunjuk lawan yang terkapar.

"Tujuh!" balas Indra. Gideon, yang melihat teman-temannya satu per satu tumbang, tidak bisa lagi tertawa. Wajahnya yang sombong kini digantikan oleh ketakutan. Ia menyadari, terlambat, bahwa Indra dan Yena bukanlah anak-anak yang bermain-main. Mereka adalah petarung yang serius, yang jauh lebih kuat daripada yang ia bayangkan.

Pertarungan sengit di Gedung F terus berlanjut. Meskipun menggunakan senjata seadanya, Indra dan Yena dengan mudah mengungguli Gideon dan gengnya.

Saat Yena berhasil menjatuhkan dua orang sekaligus, ia berteriak, "Hah! Kau lihat, Indra? Sepuluh! Aku menang!"

Indra yang sedang menangkis serangan, menggelengkan kepala. "Jangan sombong. Gerakanmu terlalu lambat," balasnya, lalu dengan sekali sentakan gagang sapunya, ia berhasil membuat lawannya terhuyung-huyung.

"Sebelas! Dan caramu menyerang terlalu ceroboh!" Yena membalas dengan dengusan kesal, tetapi tidak memungkiri bahwa kritik Indra ada benarnya. Pertarungan itu terasa seperti latihan bagi mereka, lengkap dengan ejekan dan kritikan ringan yang mengalir di antara mereka.

"Apa yang terjadi pada latihanmu, Yena? Kau terlalu banyak membuang energi," ejek Indra saat Yena hampir terkena pukulan.

Yena menoleh, matanya memancarkan api. "Hei! Aku ini sedang menahan diri! Lagipula, kau sendiri kenapa hanya pakai sapu? Apa kau lupa caranya menggunakan pedang?" Indra hanya tersenyum tipis. "Pedangku terlalu berbahaya untuk mereka. Gagang sapu ini sudah lebih dari cukup," jawabnya santai. Mereka berdua terus bertarung, saling menyindir dan mengejek, seolah-olah Gideon dan gengnya hanyalah boneka latihan yang tidak berarti.

Gideon, yang menyaksikan itu semua, tidak bisa lagi menahan amarahnya. "Ia merasa harga dirinya diinjak-injak. "Hentikan! Ini tidak lucu!" teriaknya. Namun, teriakannya tidak digubris. Indra dan Yena terus melanjutkan "latihan" mereka, hingga akhirnya semua anggota geng Gideon tergeletak tak berdaya. Yena bersorak,

"Aku menang! Kau yang mentraktir makan malam!" Indra tersenyum. "Angka kita sama. Jadi, kita berdua yang mentraktir diri sendiri." Mereka berdua tertawa, meninggalkan Gideon yang terkapar di lantai dengan kebingungan dan rasa malu yang mendalam. Pertarungan ini menjadi pelajaran pahit bagi Gideon dan gengnya, dan menjadi bukti bahwa kekuatan tidak selalu tentang senjata dan kekerasan, tetapi juga tentang kecerdasan dan kerja sama.

Di tengah tawa kemenangan Indra dan Yena, Gideon bangkit. Wajahnya merah padam karena amarah dan rasa malu. Perlahan, sebuah energi sihir berwarna gelap mulai terpancar dari tubuhnya, membesar dengan cepat. Mata Indra dan Yena yang semula santai kini berubah serius. Mereka saling berpandangan.

"Kau yang urus," bisik Indra.

Yena menggeleng. "Tidak, kau saja. Aku sudah banyak bergerak hari ini," balasnya sambil mengipasi wajah dengan tangan.

Indra menghela napas. "Baiklah, kalau begitu," ujarnya pasrah. Perdebatan kecil mereka menunjukkan betapa mereka tidak menganggap Gideon sebagai ancaman, meskipun energi sihir yang dipancarkannya semakin kuat.

Namun, aura sombong Indra dan Yena berubah menjadi panik ketika mereka merasakan sesuatu yang janggal. Energi sihir Gideon tidak terkontrol, memancar secara acak dan berbahaya.

"Indra, ini tidak benar!" seru Yena, wajahnya tegang. "Sihirnya... dia tidak bisa mengendalikannya!" Indra mengangguk, matanya memancarkan kekhawatiran.

"Dia akan melukai dirinya sendiri dan orang lain," gumamnya. Mereka menyadari bahwa Gideon bukan hanya sombong, tetapi juga tidak terlatih dalam mengendalikan kekuatannya. Sihir yang tidak terkendali itu bisa meledak kapan saja, menghancurkan Gedung F dan melukai semua orang di dalamnya.

.

.

.

.

Di balik jendela, William dan yang lainnya mengintip dengan wajah cemas. Mereka melihat energi sihir yang keluar dari tubuh Gideon, dan mereka merasakan bahaya yang mengancam.

"Apa yang terjadi?" bisik Elara dengan suara gemetar.

"Sihir itu... kenapa tidak stabil?" tanya Leo. William menggeleng.

"Aku tidak tahu. Tapi ini berbahaya. Indra dan Yena harus berhati-hati." William merasa tidak berdaya, hanya bisa menyaksikan dari balik jendela, berharap Indra dan Yena bisa menyelesaikan situasi ini tanpa ada yang terluka. Ia tahu, di balik perundungan ini, ada bahaya nyata yang tidak pernah ia duga.

.

.

.

Energi sihir Gideon semakin tak terkontrol, membuat benda-benda di sekitarnya melayang dan bergetar hebat. Di tengah kekacauan itu, Indra dan Yena berteriak serempak.

"Semuanya, keluar!" teriak Yena, suaranya dipenuhi kepanikan. "Cepat, tinggalkan gedung ini!" Indra mengangguk setuju, matanya terus tertuju pada Gideon yang kini melayang beberapa meter di atas lantai, dikelilingi oleh aura sihir yang gelap.

"Dia akan meledak," gumam Indra, siap untuk mengambil tindakan terakhir. Mereka menyadari bahwa ini bukan lagi pertarungan, melainkan situasi darurat yang mengancam nyawa.

.

.

.

.

Saat energi sihir itu mencapai puncaknya, siap meledak dan menghancurkan seluruh Gedung F, sebuah sosok muncul di ambang pintu.

Seorang wanita dewasa dengan telinga dan ekor serigala yang elegan. Dengan tenang, ia mengangkat tangannya. Aura sihir yang gelap itu seketika meredup, lalu menghilang sepenuhnya. Gideon jatuh ke lantai, terengah-engah, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Chae Bom, guru yang ditakuti sekaligus dihormati, kini berdiri di tengah ruangan yang hancur.

"Kau tidak bisa mengendalikan kekuatanmu sendiri, dan kau berani mengancam nyawa orang lain?" tanyanya dengan suara tenang namun menusuk.

Chae Bom berjalan mendekati Gideon, yang kini hanya bisa menunduk malu.

"Kekuatan bukan untuk disombongkan, melainkan untuk dikendalikan," nasihatnya.

"Mana adalah bagian dari dirimu. Jika kau tidak bisa mengontrolnya, itu berarti kau tidak bisa mengontrol dirimu sendiri."

Indra dan Yena, yang menyaksikan itu, merasa lega. Mereka tahu bahwa kehadiran Chae Bom adalah satu-satunya hal yang bisa menghentikan tragedi itu.

Chae Bom menoleh ke arah mereka dan mengangguk. "Kalian sudah melakukan hal yang benar dengan mencoba menghentikannya. Tapi kalian juga harus tahu, ada kalanya kekuatan tidak bisa dilawan dengan kekerasan."

Willliam dan teman-temannya kembali ke dalam Gedung F, melihat kekacauan yang ada. Mereka menemukan Gideon dan gengnya sudah terkapar tak berdaya. Mereka duduk di salah satu sudut ruangan, menunduk, mendengarkan Chae Bom yang sedang berbicara di depan.

"Kalian semua," katanya dengan suara tenang namun tegas. "Kekuatan sejati bukan tentang seberapa besar kekuatan yang bisa kalian keluarkan. Tapi seberapa besar kontrol yang kalian miliki." Matanya menyapu semua orang, termasuk Yena dan Indra.

"Indra, Yena, kalian berdua juga. Kalian terlalu banyak bermain-main. Mengabaikan aturan, dan lebih mengutamakan emosi daripada akal sehat. Apa kalian lupa, bahwa kalian adalah contoh bagi yang lainnya?" tegurnya dengan nada tidak suka.

Yena hanya menunduk dan bergumam, "Maafkan kami, Bu."

Indra yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. "Mereka merundung teman kami," kata Indra, suaranya dingin dan tegas.

Chae Bom mengangguk. "Aku tahu. Tapi, kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan. Perundungan harus dilawan dengan akal sehat dan strategi." Chae Bom lalu mengalihkan pandangannya pada Gideon. "Kalian akan dihukum. Hukuman yang berat. Sampai kalian tahu bagaimana cara menghargai orang lain dan mengendalikan kekuatan kalian." Setelah itu, Chae Bom juga menasihati Willliam dan yang lainnya, "Kalian juga harus belajar. Jangan pernah merasa lemah. Karena kalian juga tidak lemah. Kalian hanya harus menemukan kekuatan yang ada di dalam diri kalian."

Setelah Chae Bom pergi, Gedung F terasa sangat sunyi. William dan teman-temannya saling berpandangan.

"Aku... tidak menyangka Guru Chae Bom akan sekeras itu," gumam William. Indra hanya menghela napas.

"Itu sudah biasa," katanya. "Guru Chae Bom adalah guru yang paling disiplin di Akademia. Dia sangat tidak suka dengan kekerasan." William menatap Indra dengan wajah heran.

"Bagaimana kau tahu?" Indra hanya mengangkat bahu. "Aku tahu saja."

William tahu Indra menyembunyikan sesuatu, tetapi ia memilih untuk tidak bertanya. Setelah kejadian itu, mereka tahu bahwa mereka memiliki Indra dan Yena di sisi mereka. Dan mereka tidak akan pernah merasa sendirian lagi.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Setelah insiden di Gedung F, kehidupan di Akademia perlahan berubah bagi William dan kawan-kawannya. Mereka tidak lagi menjadi sasaran perundungan. Kehadiran Indra yang dingin namun menakutkan, serta Yena yang berani dan blak-blakan, membuat siswa-siswa lain berpikir dua kali sebelum mencari masalah.

"Lihat, tidak ada yang berani mendekati kita lagi," bisik Leo suatu hari di koridor. William mengangguk sambil tersenyum.

"Terima kasih, Indra, Yena," katanya tulus.

Yena hanya melambaikan tangan, "Itu sudah sewajarnya!" Sementara Indra, seperti biasa, hanya mengangguk pelan, tapi William tahu Indra menghargai ucapan itu.

Perlindungan dari Indra dan Yena memberi ruang bagi William dan yang lain untuk berkembang.

Elara yang pemalu kini menjadi lebih percaya diri, dengan pengetahuan luasnya tentang ramuan ia mampu membuat ramuan penyembuhan yang efektif. Leo yang tadinya hanya mengandalkan fisik, mulai belajar strategi bertarung dengan arahan singkat dari Indra. Sementara William, di balik kacamata barunya, menemukan bakatnya dalam merancang taktik dan strategi pertarungan.

"Siapa sangka kita bisa menjadi seperti ini," gumam William suatu sore. "Dulu kita hanya bisa pasrah, sekarang kita punya harapan."

Mereka bukan lagi "siswa buangan" Gedung F, melainkan sekelompok individu yang unik dan kuat. Mereka semua tahu bahwa kekuatan terbesar mereka bukanlah sihir atau kekuatan fisik, melainkan persahabatan dan dukungan satu sama lain.

"Kita adalah satu keluarga sekarang," kata Elara sambil merangkul Leo. William dan Indra saling berpandangan dan mengangguk. Di tengah ketidaksempurnaan, mereka menemukan kekuatan sejati. Kekuatan yang tidak terukur oleh sihir atau pedang, tetapi oleh ikatan yang terjalin di antara mereka.

Pada suatu malam di Gedung F, saat mereka semua berkumpul di ruang utama, Yena tiba-tiba menatap Indra dengan wajah serius.

"Indra, aku tidak bisa menahannya lagi!" serunya, membuat semua mata tertuju padanya.

"Membocorkan apa?" tanya William, bingung.

Yena menarik napas dalam, siap untuk berbicara.

Namun, Indra langsung memotongnya dengan cepat, "Jangan." Suara Indra pelan, namun tegas, membuat Yena terdiam.

Meskipun begitu, Indra tahu Yena tidak bisa lagi menahan rahasia itu. Yena tersenyum nakal, "Aku sudah menahannya terlalu lama, Pangeran."

"Pangeran?!" William dan yang lainnya serentak terkejut. Mereka semua menatap Indra, menunggu penjelasan. Indra hanya bisa menatap Yena dengan datar, sementara Yena tertawa geli.

"Jadi... kau Pangeran Suzaku?" tanya Elara tak percaya.

Indra menghela napas, mengangguk pasrah. "Ya," jawabnya singkat.

"Dan kau... Death Prince?" tanya Leo, suaranya dipenuhi kekaguman.

Mendengar julukan itu, Indra mendengus. "Julukan itu hanya omong kosong. Aku dijuluki seperti itu karena jarang terlihat di Benua Shirayuki Sakura." Ia menatap teman-temannya. "Aku tidak pernah mengatakan kalau aku bisa sihir, bukan?"

Indra melanjutkan, menjelaskan bahwa ia sebenarnya tidak pandai sihir dan hanya terampil dalam berpedang.

"Aku baru saja belajar teknik sihir dasar dari Chae Bom saat di Suzaku," katanya.

"Karena itulah, aku tidak pernah menggunakannya di sini." William dan yang lainnya hanya bisa terdiam, mencerna semua informasi itu. Di satu sisi, mereka merasa dikhianati karena Indra merahasiakan identitasnya. Namun di sisi lain, mereka mengerti mengapa Indra harus menyembunyikannya. Indra adalah seorang pangeran, dan ia memilih untuk menjadi salah satu dari mereka, bukan di atas mereka.

"Itu tidak penting," kata William akhirnya. "Yang penting, kau tetap Indra, teman kami." Indra memandang William, dan senyum tipis, penuh kehangatan, muncul di wajahnya.

Malam itu, setelah Indra mengungkapkan rahasianya, William dan yang lainnya tidak bisa menahan rasa penasaran.

"Tunjukkan pada kami, Indra," pinta Leo. "Tunjukkan sihir dasarmu!"

Indra menghela napas, namun ia akhirnya setuju. Mereka semua keluar dari Gedung F dan berjalan ke sebuah lapangan kosong. Di bawah langit yang dipenuhi bintang, Indra mengulurkan tangannya. Perlahan, api berwarna biru terang mulai muncul dan melayang di atas telapak tangannya. Api itu menari-nari, lalu membentuk sebuah pedang yang indah dan mematikan. Pedang api itu bersinar, memancarkan aura panas namun terkendali.

"Ini... sihir dasar?" gumam Elara takjub.

"Indra," William mendekat, matanya membelalak tak percaya. "Itu bukan sihir dasar. Itu... itu adalah sihir api yang sangat langka dan sulit dikendalikan. Apalagi bentuk pedang itu, ini adalah bentuk sihir tingkat lanjut!" William yang sangat menguasai taktik pertarungan, tahu persis bahwa untuk mengendalikan api seperti itu dibutuhkan kemampuan yang luar biasa.

Indra hanya memandang William dengan datar. "Ini sihir dasar bagiku," jawabnya, suaranya tenang. "Bukankah aku sudah bilang, aku hanya pandai berpedang?" Indra memutar pedang api itu di tangannya, menunjukkan betapa mudahnya ia mengendalikan api tersebut.

Yena tersenyum bangga. "Aku sudah bilang, dia tidak pandai sihir!" ucapnya sambil menatap Indra. "Dia hanya pandai memadukan sihir dengan pedangnya."

William dan yang lain hanya bisa menggelengkan kepala, terkesima dengan apa yang mereka lihat. Mereka menyadari, sekali lagi, bahwa mereka tidak sepenuhnya mengenal Indra. Meskipun ia mengatakan ia tidak pandai sihir, ia mampu mengendalikan sihir dengan cara yang berbeda. Di mata mereka, Death Prince bukanlah sebuah julukan, melainkan sebuah realita yang menakutkan. Namun, mereka juga tahu, Pangeran Suzaku yang menakutkan itu adalah teman mereka.

Indra memandang Yena yang terus tertawa, sementara teman-temannya masih terkesima dengan pedang api birunya. "Aku tidak bodoh juga soal sihir," ujarnya dengan nada datar, mencoba membela diri.

Yena hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Bodoh!" balasnya sambil mencubit pipi Indra gemas. "Kau pikir pedang apimu itu bukan sihir? Kau bahkan tidak bisa membedakan sihir dan non-sihir, kan?"

Indra menghela napas pasrah, tahu bahwa ia tidak akan bisa menang dalam perdebatan ini. Ia membiarkan Yena terus mencubit pipinya, karena ia tahu itu adalah cara Yena untuk menunjukkan kasih sayangnya. "Aku hanya tidak suka sihir," gumamnya, "itu terlalu rumit."

Yena melepaskan cubitannya dan menyandarkan kepalanya di bahu Indra. "Kau memang bodoh," katanya, namun kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Tapi aku suka kau yang bodoh."

Indra hanya tersenyum tipis, tidak membalas. Ia tahu, di balik semua ejekan itu, Yena adalah orang yang paling peduli padanya. Hubungan mereka memang unik. Yena adalah gadis yang ceria dan blak-blakan, sementara Indra adalah sosok yang pendiam dan misterius. Namun, di antara perbedaan itu, mereka memiliki ikatan yang kuat, sebuah ikatan yang tidak bisa dimengerti oleh orang lain.

"Sudahlah," kata Indra, sambil mematikan pedang apinya. "Kita kembali ke dalam. Malam sudah larut."

Yena mengangguk, lalu menarik tangan Indra. Mereka berjalan beriringan kembali ke Gedung F, meninggalkan William dan yang lainnya masih terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka saksikan. Di bawah langit yang dipenuhi bintang, Indra dan Yena berjalan, menunjukkan bahwa meskipun Indra adalah seorang pangeran yang kuat dan menakutkan, ia hanyalah seorang pemuda biasa di mata Yena, seorang pemuda yang pantas untuk dicintai, bahkan dengan segala kekurangannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Beberapa hari setelah insiden di Gedung F, di ruangan guru yang tenang, Chae Bom duduk menikmati teh bersama Eunho. Mereka berdua memandang pemandangan Akademia dari jendela.

"Perundungan memang berkurang, tapi masih ada," keluh Chae Bom.

"Dan aku tidak suka bagaimana siswa masih berkelompok-kelompok seperti itu. Kekuatan sejati ada pada persatuan."

Eunho mendengarkan dengan sabar, lalu tersenyum. "Kau terlalu keras pada mereka, Chae. Mereka hanya anak-anak yang mencoba mencari tempat mereka. Biarkan mereka menemukan jalan mereka sendiri. Kau hanya perlu mengawasi, bukan mengendalikan." Chae Bom mendengus pelan, tapi ia tahu ada benarnya perkataan sahabatnya itu.

...

...

Saat mereka melanjutkan obrolan santai, pandangan mereka jatuh pada Indra dan Yena yang sedang berjalan bersama di halaman. Indra yang pendiam, terlihat sangat santai saat Yena terus mengoceh di sisinya.

Chae Bom tersenyum kecil. "Apa putrimu berpacaran dengan putra Araya?" tanyanya, sedikit penasaran. Eunho menoleh, melihat Yena yang tertawa senang. "Aku tidak tahu," jawabnya sambil tersenyum. "Dia tidak pernah menceritakannya padaku. Tapi... kelihatannya begitu."

Mereka berdua saling pandang, lalu tertawa bersama. Mereka tahu bahwa kedua anak itu memiliki ikatan yang unik, sebuah ikatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Chae Bom menghela napas, merasa lega. "Setidaknya, dia menemukan seseorang yang bisa melindunginya," katanya sambil meminum tehnya. "Dan Indra menemukan seseorang yang bisa membuatnya tersenyum."

Eunho mengangguk setuju. Ia tahu Indra telah menemukan lebih dari sekadar perlindungan, ia menemukan keluarga, dan persahabatan yang tulus. Tawa mereka yang hangat memenuhi ruangan, menandai akhir dari sebuah cerita yang penuh dengan perundungan dan kesedihan, dan awal dari sebuah cerita yang dipenuhi persahabatan dan cinta.

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!