Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Kekacauan di Batavia dan Mata di Langit
Hari H pengumuman proyek Batavia Megacity.
Di dalam bunker-nya, Rendra duduk seperti seorang jenderal di ruang komando. Tiga monitor menyala serentak. Monitor kiri menampilkan grafik real-time saham konsorsium Wirawan (Kode: BMGC). Monitor tengah menyiarkan siaran langsung konferensi pers di lokasi pesisir Jakarta Utara. Monitor kanan menampilkan peta GPS yang melacak posisi ponsel Elena Paramita (yang berhasil Rendra retas secara pasif saat sinkronisasi data proyek).
Pukul 13.55 WIB. Lima menit sebelum pengumuman.
Di layar tengah, panggung megah didirikan di atas lahan reklamasi yang berdebu. Spanduk raksasa bertuliskan "Masa Depan Jakarta" berkibar. Para pejabat dan direksi duduk di barisan depan. Elena Paramita terlihat di sana, duduk di barisan kedua, tampak anggun namun gelisah, sesekali berbicara dengan kepala keamanannya.
Rendra memicu Visinya untuk terakhir kalinya, memvalidasi prediksi kerusuhan.
Deg!
Visi itu berubah.
Kemarin, Rendra melihat kerusuhan terjadi di Sektor 4, didalangi oleh orang bayaran Wirawan, hanya berupa lemparan batu dan pembakaran ban untuk menurunkan harga tanah.
Tapi hari ini, Visi itu menunjukkan sesuatu yang berbeda. Rendra melihat asap hitam pekat membubung dari panggung VIP. Ia melihat barikade polisi jebol bukan karena massa bayaran Wirawan, melainkan oleh sekelompok orang berseragam ormas tak dikenal yang membawa senjata tajam dan bom molotov.
"Ini bukan orang Wirawan," bisik Rendra, matanya melebar. "Ini sabotase dari Partai Keadilan. Mereka membajak kerusuhan ini untuk membunuh karakter proyek... atau bahkan membunuh orang."
Situasi berubah dari manipulasi pasar menjadi zona perang. Elena ada di tengah sasaran.
Pukul 14.05 WIB.
MC baru saja mempersilakan Gubernur untuk naik ke podium. Tiba-tiba, dari arah Sektor 4 (yang sudah Rendra peringatkan untuk dijaga ketat), massa bayaran Wirawan mulai beraksi. Mereka membakar ban. Polisi di sana sigap menahan mereka.
Elena tampak lega di layar, mengira semuanya sesuai skenario "kekacauan terkendali".
Namun, Rendra tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Bagas, masuk posisi," perintah Rendra melalui earpiece.
"Siap, Bos. Saya di atap gedung parkir, 300 meter dari panggung. Pemandangan jelas," suara Bagas terdengar tenang dan stabil. Bagas ditugaskan Rendra untuk mengawasi dari jauh sebagai langkah antisipasi.
"Perhatikan sisi timur, Sektor 2. Ada dua van putih yang baru datang. Itu bukan katering. Itu penyerang sungguhan," instruksi Rendra.
Di layar TV, kerusuhan di Sektor 4 hanyalah pengalihan. Tiba-tiba, dari Sektor 2 yang tidak dijaga, puluhan orang keluar dari van putih, melemparkan molotov ke arah tenda VIP.
BOOM!
Api menyambar cepat. Jeritan panik terdengar. Siaran langsung TV berguncang saat kameramen berlari menyelamatkan diri.
Harga saham BMGC di monitor kiri langsung terjun bebas. Panic selling massal.
Rendra tidak panik. Tangannya menari di atas keyboard, mengeksekusi pembelian saham BMGC secara agresif di harga dasar. Ia tahu proyek ini tidak akan batal, hanya tertunda. Ini adalah diskon besar-besaran.
Tapi prioritas utamanya sekarang adalah Elena.
Di lokasi, Elena terbatuk-batuk di tengah asap. Pengawal pribadinya terpisah oleh kerumunan yang panik. Pejabat lain sudah dilarikan lewat jalur evakuasi utama, tapi jalur itu sekarang diblokir oleh massa yang mengamuk.
Ponsel Elena bergetar. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal.
Elena mengangkatnya dengan tangan gemetar. "Halo?"
"Jangan lewat jalur VIP. Itu jebakan," suara Rendra terdengar, disamarkan oleh voice changer menjadi lebih berat dan digital.
"Siapa ini? Hantu?" teriak Elena, setengah berharap, setengah takut.
"Dengarkan aku. Massa di depanmu membawa senjata tajam. Putar balik. Sekarang."
Elena melihat ke depan. Benar saja, di jalur evakuasi VIP, sekelompok preman sedang memukuli petugas keamanan. Elena memucat. Dia berbalik.
"Lari ke arah gudang logistik biru di sebelah kirimu. Pintu samping tidak dikunci. Masuk ke sana," perintah suara itu.
Elena berlari, melepas sepatu hak tingginya. Dia menerobos asap, menuju gudang biru. Namun, dua orang perusuh melihatnya. "Itu wanita dari perusahaan! Kejar!"
Mereka mengejar Elena. Elena menjerit, mempercepat larinya, tapi gudang itu masih 50 meter lagi.
Di bunker, Rendra melihat situasi ini melalui kamera CCTV gudang yang ia retas.
"Bagas. Target Merah dikejar dua orang. Jam 6 dari posisimu. Clear the way," perintah Rendra dingin.
Di lokasi, Bagas yang berada di posisi tinggi tidak menggunakan senapan—itu terlalu mencolok. Ia menggunakan ketapel taktis dengan bola besi (bearing). Senjata sunyi yang mematikan di tangan ahli.
Zing. Tak!
Perusuh pertama yang hampir menangkap rambut Elena tiba-tiba tersungkur, memegangi lututnya yang hancur dihantam bola besi berkecepatan tinggi.
Zing. Tak!
Perusuh kedua jatuh, bahunya terhantam keras, membuatnya kehilangan keseimbangan dan menabrak tumpukan drum kosong.
Elena tidak tahu apa yang terjadi. Dia hanya tahu pengejarnya tiba-tiba jatuh. Dia tidak membuang waktu, langsung masuk ke dalam gudang biru dan mengunci pintu besi dari dalam.
Napasnya memburu. Dia aman.
"Bagus. Tetap di situ sampai polisi anti-huru-hara masuk ke Sektor 2 dalam 4 menit," suara di telepon kembali terdengar.
"Kau... kau melihat semuanya?" bisik Elena, melorot duduk di lantai gudang yang kotor. "Kau...siapa sebenarnya?"
"Aku aset terbaikmu, Nona Paramita. Dan aku baru saja menyelamatkan investasi Tuan Wirawan," jawab suara itu sebelum sambungan terputus.
Di bunker, Rendra menghela napas panjang. Adrenalinnya perlahan surut.
"Target aman, Bos. Polisi sudah masuk," lapor Bagas.
"Kerja bagus, Bagas. Tarik mundur. Jangan sampai ada yang melihat wajahmu," perintah Rendra.
"Siap. Kembali ke sarang."
Rendra beralih ke monitor saham.
Kepanikan pasar mulai mereda setelah berita bahwa "Gubernur dan Direksi Selamat" mulai beredar. Polisi berhasil memukul mundur massa dalam waktu 30 menit. Harga saham BMGC, yang tadi Rendra beli di titik terendah (diskon 15%), mulai merangkak naik kembali (rebound) karena investor sadar proyek tetap berjalan.
Dalam satu jam kekacauan itu, Rendra telah membeli saham senilai Rp300.000.000 dan nilainya kini sudah kembali normal, memberinya keuntungan instan sekitar Rp45.000.000.
Tapi keuntungan finansial itu tidak sebanding dengan Leverage Psikologis yang baru saja ia tanamkan pada Elena.
Elena kini tahu bahwa si "Hantu" bukan hanya analis data. Dia memiliki mata di lapangan, kemampuan taktis, dan bisa melindunginya ketika pengawal Wirawan gagal. Rendra telah membuktikan bahwa dia lebih kompeten daripada seluruh aparat keamanan Wirawan.
Malam harinya, Rendra sedang membersihkan file log di servernya ketika sebuah pesan masuk ke ponsel khususnya. Bukan dari Elena. Tapi dari Tuan Wirawan.
Isinya singkat, tapi mengerikan:
"Kerusuhan hari ini melenceng dari skenario. Ada tikus yang membocorkan rute VIP ke lawan. Elena selamat karena keajaiban. Datang ke kantorku besok. Kita akan berburu tikus."
Rendra terdiam. Wirawan paranoid. Dia berpikir ada pengkhianat di dalam yang membocorkan rute VIP kepada Partai Keadilan.
Rendra tahu dia bukan pengkhianatnya, tapi dalam perburuan penyihir, siapa pun yang terlihat pintar bisa jadi tersangka. Rendra harus berhati-hati. Besok, ia harus memainkan peran sebagai analis yang setia, sambil menyembunyikan fakta bahwa dialah yang memandu Elena keluar dari jebakan yang gagal diantisipasi oleh Wirawan sendiri.
Dan lebih penting lagi, Rendra menyadari bahwa perang antara Wirawan dan Partai Keadilan sudah mencapai tahap upaya pembunuhan. Rendra dan Clara berada tepat di tengah garis tembak.
Rendra menatap layar CCTV kota yang menampilkan malam Jakarta yang gemerlap. Di balik lampu-lampu itu, monster-monster sedang saling memangsa.
"Waktunya memperkuat pertahanan," gumam Rendra.
Ia membuka file baru di komputernya: Project: Iron Wall. Rendra berencana menggunakan uangnya untuk membangun sistem keamanan bagi Clara tanpa sepengetahuan gadis itu. Karena jika Elena mati, Rendra kehilangan akses. Jika Clara terluka, Rendra kehilangan jiwanya.
Semangat Thor