Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 35
Ruang pertemuan di lantai delapan hotel mewah itu dipenuhi cahaya hangat dari lampu gantung kristal. Meja panjang berlapis marmer tampak rapi dengan berkas presentasi, botol air mineral, dan layar besar yang menampilkan sketsa rancangan gedung. Udara ruangan beraroma kopi premium, menyiratkan keseriusan sekaligus kenyamanan sebuah rapat kelas eksekutif.
Begitu Liam memasuki ruangan, Arga sebagai direktur operasional Gravitec Construction, segera bangkit untuk menyambutnya. Penampilan Arga rapi, jas abu tua dan dasi biru gelap memberi kesan tegas dan berwibawa. Sementara Liam dengan kemeja hitam yang membuat ketampanannya semakin terpancar.
“Halo, Pak Liam. Senang akhirnya bisa bertemu langsung. Saya Arga, Direktur Operasional Gravitec Construction,” ujar pria itu dengan nada ramah namun tetap berwibawa.
Liam membalas jabatan tangannya dengan mantap. “Liam. Senang bertemu, Pak Arga.”
Arga tersenyum kecil lalu bergerak ke samping, memberi ruang pada seorang pria paruh baya yang sejak tadi duduk sambil meneliti berkas. Wajahnya berkarisma, tatapannya tajam namun penuh perhitungan.
“Dan ini Pak Darmawan,” lanjut Arga. “Beliau adalah klien utama kita, CEO dari Darmawan Global Holdings.”
Pria itu berdiri pelan dan mengulurkan tangan. “Senang bertemu, Pak Liam. Saya sudah melihat portofolio Anda. Kesan pertama saya, Anda bukan hanya arsitek yang berbakat, tapi punya karakter desain yang berani.”
“Terima kasih, Pak. Saya merasa terhormat dipercaya mengerjakan proyek sebesar ini,” jawab Liam dengan sopan.
Setelah semua saling memperkenalkan diri, mereka duduk. Arga membuka rapat. “Baik, untuk memulai, hari ini kita akan membahas konsep awal gedung baru Darmawan Global Tower. Gedung ini akan menjadi ikon baru di pusat bisnis Jakarta. Kami ingin mendengar langsung bagaimana visi Liam sebagai arsitek utama.”
Liam membuka map besar berisi sketsa dan rendering digital. Dengan gerakan tenang, ia menggeser beberapa lembar ke tengah meja agar semua bisa melihat.
“Ini adalah konsep awal yang saya bawa,” ucap Liam. “Klien menginginkan gedung yang bukan hanya megah, tetapi juga efisien, ramah lingkungan, dan punya identitas kuat. Maka saya merancang bentuk struktur yang memadukan elemen modern dengan siluet yang mudah dikenali.”
Ia menunjuk gambar tampak depan gedung setinggi 50 lantai. Pilar-pilar kaca besar memantulkan cahaya, sementara bagian tengah memiliki lengkung halus yang membuat bangunan tampak hidup.
“Elemen utama yang saya sorot adalah fasad berbentuk kurva vertikal ini,” jelas Liam. “Selain memberi kesan dinamis, bentuk ini membantu mengurangi tekanan angin dan meningkatkan efisiensi energi. Teknologi kaca yang akan digunakan juga mampu menyesuaikan intensitas cahaya matahari.”
Arga menunduk memerhatikan sketsa itu dengan serius. “Desainnya unik. Struktur kurvanya akan menjadi tantangan bagi tim konstruksi, tetapi secara visual, ini bisa menjadi ikon baru kota.”
Pak Darmawan bersandar, mengamati dengan kedua tangan terlipat. “Saya suka konsepnya. Tidak kaku, tetapi tetap elegan. Gedung ini harus mencerminkan perkembangan perusahaan kami, maju, relevan, dan berkelas.”
Liam mengangguk. “Saya ingin memastikan setiap detail mencerminkan visi perusahaan Anda. Jika Bapak berkenan, saya bisa menyiapkan model 3D lengkap untuk presentasi berikutnya.”
“Lakukan,” jawab Pak Darmawan mantap. “Saya ingin proyek ini bergerak cepat.”
Arga menutup berkas. “Baik, kalau begitu kita lanjutkan pembahasan teknis. Liam, Anda akan bekerja langsung dengan tim engineering Gravitec. Kita buat proyek ini berjalan seefisien mungkin.”
Liam mengangguk dengan keyakinan. “Siap. Saya akan menyesuaikan konsep sesuai kebutuhan struktural tanpa mengubah identitas desain.”
Rapat pun berlanjut, penuh diskusi, rencana, dan komitmen. Di atas meja, sketsa karya Liam seperti menandai langkah awal dari sebuah bangunan besar yang kelak berdiri menjulang di langit Jakarta.
Tanpa terasa waktu bergulir, dan rapat pun berakhir dengan hasil yang memuaskan bagi semua pihak. Slide terakhir menutup presentasi, dan suasana ruang rapat berubah lebih santai.
“Rancangan Anda benar-benar mengesankan, Pak Liam,” puji Arga sambil menutup map di depannya. Nada suaranya terdengar tulus, bukan sekadar basa-basi.
Pak Darmawan, sang klien, ikut mengangguk setuju. “Betul. Konsep gedung ini sangat sesuai dengan visi perusahaan kami. Saya puas dengan hasil diskusi hari ini.”
Liam tersenyum kecil, tetap menjaga profesionalismenya. “Terima kasih, Pak. Saya senang kalau konsep yang saya ajukan bisa diterima dengan baik. Semoga tahap berikutnya berjalan lancar.”
“Sebelum kita bubar, saya ingin memberikan undangan khusus,” ujarnya dengan gaya tenang namun berwibawa, khas seorang konglomerat yang terbiasa berjalan di antara pejabat tinggi dan pemilik perusahaan besar.
Arga menerima amplop itu dengan bingung. “Undangan, Pak?”
“Ya. Minggu depan adalah ulang tahun pernikahan saya dan istri yang ke-20 tahun,” jelasnya. “Acara ini cukup besar, akan dihadiri rekan bisnis, kolega, beberapa pejabat negara, dan para pemilik perusahaan besar. Saya ingin Pak Arga dan Pak Liam hadir sebagai tamu kehormatan, sekaligus bentuk apresiasi saya untuk kerja sama kita.”
Nada suaranya halus, tetapi jelas bahwa undangan itu bukan sekadar undangan biasa. Ini adalah sinyal masuknya mereka ke lingkaran bisnis yang lebih tinggi.
Arga menunduk sopan. “Terima kasih banyak, Pak Darmawan. Merupakan kehormatan bagi kami.”
“Saya sangat berterima kasih, Pak,” tambah Liam. “Saya akan memastikan hadir.”
Pak Darmawan tersenyum tipis. “Bagus. Saya tunggu kehadiran Anda berdua.”
Setelah itu, beliau berpamitan lebih dulu, diikuti asistennya. Suara langkah elegan mereka menghilang di balik pintu tebal ruang rapat.
Setelah bertukar salam dan jabat tangan, Pak Darmawan bersama timnya pamit meninggalkan ruangan lebih dulu. Pintu menutup perlahan, menyisakan Liam, Arga, dan beberapa staf Gravitec Construction yang sedang merapikan barang masing-masing.
Arga memutar tubuhnya menghadap Liam. “Pak Liam,” panggilnya dengan nada lebih santai, “apa Anda tidak keberatan kalau kita makan malam bersama? Kebetulan saya dan tim ingin makan di restoran hotel. Kita bisa lanjut diskusi ringan… atau sekadar bersantai.”
Salah satu staf di belakang Arga mengangguk kecil, menunjukkan dukungan pada ajakan sang direktur operasional itu.
Liam tersenyum sopan, lalu menggeleng halus. “Terima kasih atas undangannya, Pak Arga. Tapi saya tidak bisa ikut. Istri saya sudah menunggu di rumah. Kami punya rencana malam ini.”
Arga sempat mengangkat alis, sedikit terkejut. “Oh, jadi Anda sudah menikah? Saya kira… ya, saya pikir Anda masih single.”
Liam tertawa kecil, nada ramah dan tidak tersinggung. “Sudah menikah, Pak Arga. Dan istri saya cukup disiplin soal waktu makan malam.”
Arga ikut tertawa. “Begitu ya? Wah, kalau begitu jangan sampai membuat beliau menunggu. Lain waktu saja kita makan bersama.”
“Saya dengan senang hati,” balas Liam.
Mereka kembali berjabat tangan sebelum akhirnya meninggalkan ruang rapat, tanpa mereka tahu jika yang satu adalah masa-lalu Lara dan yang satu lagi adalah masa-depan Lara.
jd malas bacanya