Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27: KATA-KATA YANG TERTAHAN
Pagi hari, mereka bangun dengan sinar matahari yang masuk dari jendela besar. Alara membuka mata—dan hal pertama yang ia lihat adalah wajah Nathan yang masih tidur di sampingnya. Wajah yang tenang, napas yang teratur, tangan yang memeluk pinggang Alara.
Alara tersenyum—tersenyum sambil mengusap wajah Nathan dengan lembut, menelusuri garis rahang yang tegas.
Nathan membuka mata perlahan—lalu tersenyum begitu melihat Alara.
"Morning, beautiful."
"Morning," balas Alara sambil tersenyum malu.
"Sarapan di bed atau di pantai?"
"Pantai!"
Mereka bersiap dengan cepat—Alara pakai bikini dengan outer transparan, Nathan pakai celana pendek dan kaos tank top—lalu berjalan ke pantai yang masih sepi karena masih pagi.
Nathan sudah pesan breakfast picnic—nasi tim di tenda kecil yang dipasang khusus untuk mereka di tepi pantai. Roti, buah-buahan, jus segar, dan kopi.
Mereka makan sambil ngobrol—tentang mimpi, tentang masa depan, tentang hal-hal kecil yang bikin mereka tertawa.
"Kalau nanti kita punya anak," kata Nathan tiba-tiba, "kamu mau berapa?"
Alara hampir tersedak jus. "Anak? Kamu udah mikirin sampai sana?"
Nathan tertawa. "Iya. Aku mikirin masa depan kita. Serius."
Alara menatapnya—menatap dengan mata berbinar. "Dua. Aku mau dua anak. Biar nggak kesepian."
"Oke. Dua." Nathan tersenyum. "Cowok sama cewek?"
"Terserah. Yang penting sehat."
Nathan meraih tangan Alara—menggenggam erat. "Aku nggak sabar untuk masa depan itu. Masa depan sama kamu."
Air mata Alara memanas—tapi ia tahan. Tidak mau nangis di pagi yang indah ini.
Setelah sarapan, mereka berjalan menyusuri pantai—tangan tergenggam, kaki bermain dengan ombak kecil yang menyapu pasir.
"Alara," panggil Nathan tiba-tiba—suaranya serius.
Alara menoleh. "Ya?"
Nathan berhenti berjalan—menghadap Alara sepenuhnya. Matanya menatap Alara dengan tatapan yang... dalam. Tatapan yang penuh perasaan.
"Aku..." Nathan membuka mulut—tapi kemudian menutup lagi. Rahangnya mengeras—seolah berjuang dengan sesuatu.
"Nathan? Kamu kenapa?" Alara khawatir.
"Aku..." Nathan mencoba lagi—tangannya menggenggam tangan Alara lebih erat. "Aku mau bilang sesuatu. Sesuatu yang... yang penting."
Jantung Alara berdegup kencang. "Bilang aja. Aku dengar."
Nathan menatapnya lama—menatap dengan tatapan yang terlihat... takut. Takut untuk mengucapkan sesuatu.
"Aku..." Napasnya tertahan. Mulutnya terbuka.
Tapi kemudian—ponselnya bergetar keras di saku celana. Berkali-kali.
Nathan menutup mata—frustasi. Ia keluarkan ponsel—dan wajahnya berubah.
"Ada apa?" tanya Alara.
"Kantor. Ada... ada masalah urgent." Nathan terlihat tidak mau angkat tapi ia harus. "Maaf, aku harus—"
"Angkat. Nggak apa-apa." Alara tersenyum walau kecewa.
Nathan mengangkat telepon—melangkah sedikit menjauh untuk bicara. Alara bisa lihat wajah Nathan yang serius, rahang yang mengeras, tangan yang mengepal.
Lima menit kemudian, Nathan kembali dengan wajah yang... lelah.
"Kita harus pulang," katanya—suara yang penuh penyesalan. "Ada masalah di proyek lain. Aku harus handle."
"Sekarang?"
"Flight sore ini. Maaf, Alara. Aku tahu kita baru sampai kemarin tapi—"
"Nggak apa-apa." Alara memeluk Nathan. "Kerja lebih penting. Aku mengerti."
Nathan memeluknya erat—sangat erat—seolah tidak mau lepas.
"Nanti," bisiknya di telinga Alara, "nanti aku akan bilang. Aku janji."
Alara tidak tahu apa yang Nathan mau bilang—tapi ada sesuatu di nada suaranya yang membuat dadanya bergetar.
Mereka kembali ke villa—pack dengan terburu-buru—lalu ke bandara untuk flight sore.
Di dalam pesawat, Nathan tidur di bahu Alara—kelelahan yang kentara. Alara mengusap rambut Nathan dengan lembut, menatap wajahnya yang terlihat damai dalam tidur.
Apa yang kamu mau bilang tadi, Nathan? Kenapa kamu terlihat... takut?
Tapi pertanyaan itu tidak terjawab.
Dan Alara tidak tahu—tidak bisa tahu—bahwa Nathan hampir mengucapkan tiga kata.
Tiga kata yang seharusnya ia ucapkan.
Tiga kata yang—kalau diucapkan lebih cepat—mungkin bisa menyelamatkan segalanya dari kehancuran yang akan datang.
"Aku cinta kamu."
Tapi kata-kata itu tertahan.
Dan ketika kata-kata cinta tertahan terlalu lama, takdir punya cara untuk membuat semuanya... rumit.