Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Polos
Anna melangkah tergesa-gesa menuju pintu kamar hotel, perasaan kesalnya sudah menggunung sejak malam hari. Baru saja membuka matanya, terdengar ketukan halus di pintu. "Siapa sih? Pegawai hotel mana mungkin datang sepagi ini," gerutunya dengan nada kesal, suara lelahnya menggema di dalam kamar sunyi itu.
Dia menarik handle pintu perlahan, dan tatapannya langsung bertemu dengan sosok Juna yang berdiri di sana, matanya tampak sayu, senyum tipis tersungging di bibirnya. Namun sebelum Anna sempat bicara, tubuh Juna tiba-tiba oleng lalu terjatuh tepat ke pelukannya.
"He... Jun. Kamu kenapa? Kebiasaan kamu itu, kalau lelah nggak mau istirahat malah pingsan begini," gumam Anna sambil memapah Juna masuk ke dalam kamar, kepanikan muncul dalam suaranya.
Anna membaringkan Juna di atas tempat tidur dengan hati-hati, bahunya sedikit bergetar oleh beban tubuh Juna yang tiba-tiba terasa berat. "Aduh, beratnya kamu ini... Bisanya tubuh tegap begini, kok bisa oleng?" ucapnya sambil mengatur napas, matanya terus menatap wajah terbujur itu.
Anna segera meraba dahi Juna dengan jemarinya, lalu mengernyit. "Pakai acara demam lagi. Ckk... dasar kamu."
Dia menghela napas panjang, ia kesal bukan kepalang. Di saat Juna lemah dan sakit seperti ini, dia malah datang padanya, padahal sebelumnya sempat menjauh seperti tersakiti.
"Giliran sakit, kamu cari aku. Kemarin-kemarin waktu sehat, kamu malah nangisi perempuan yang jelas-jelas cuma main-mainin hati kamu. Pakai pura-pura mati segala," ucap Anna lantang, lalu menghentakkan kakinya sebelum membuka tirai jendela, membiarkan sinar matahari pagi menyapu masuk ke dalam kamar yang semula gelap itu.
Dia kembali menghampiri Juna yang berbaring lemah. “Juna, bangun. Udahan pingsannya. Kamu sudah makan belum?” Suaranya lembut tapi tegas, sedikit mengguncang bahu Juna agar tersadar.
Mata Juna terbuka perlahan, berkedip-kedip menahan sakit yang menyesak di kepalanya. "Na, kepalaku sakit," dia berbisik sambil menggenggam pelipisnya lemah.
Dengan wajah setengah marah setengah cemas, Anna mengambil obat dari dalam tas yang masih tergeletak di kursi. Ia memberikannya pada Juna, "Ini minum. Kamu itu kecapekan, kebanyakan nangis. Sakitmu karena itu, tahu?" ujar Anna, suaranya meninggi sedikit menandakan betapa kesalnya dia pada kondisi Juna.
Namun, medengar nada dan sikap Anna yang keras tapi penuh perhatian, Juna merasakan hangat yang mengalir di dadanya. Dia tersenyum lemah, lalu meraih tangan Anna, memeluknya erat, suaranya bergetar, "Maaf ya, Na."
"Gak!" jawab Anna tegas sambil dengan sigap meraih obat dari tangan Juna, memasukkannya ke mulut tunangannya itu, kemudian menepuk-nepuk bahu Juna. Tak lupa ia memberikan segelas air supaya Juna mudah menelan obatnya.
Juna menatap Anna dengan mata lembut, hatinya terbuka kembali. "Kamu marah ya?" tanyanya pelan setelah menenggak obat.
Anna menarik napas dalam, wajahnya yang semula keras mulai melembut sedikit, meski matanya masih menyimpan rasa kecewa. "Menurut kamu? Perempuan mana yang gak sakit hati melihat tunangan menangisi jenazah mantannya," ucap Anna perlahan, nadanya serak.
Juna menunduk kecil, wajahnya seketika berubah sendu. "Aku tidak berniat membuat kamu merasa seperti itu," bisiknya seakan mencari pengampunan.
Anna duduk disisi tempat tidur, menyentuh lembut pipi Juna yang mulai berpeluh dingin. "Ini bukan soal aku, Jun. Aku cuma takut kehilangan kamu, takut kamu masih menjaga luka lama yang belum sembuh. Tapi aku juga manusia yang bisa sakit," jelasnya dengan suara pelan penuh perasaan.
Mata Juna berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan Anna erat seperti menemukan dermaga di tengah badai kehidupannya. “Aku janji, mulai sekarang aku akan belajar mencintai kamu dan berhenti terjebak di masa lalu," ujarnya dengan suara yang tegas namun penuh harap.
Anna tersenyum, mata mereka bertemu dalam diam penuh makna, seolah berbicara tanpa kata. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela menari-nari di sekitar mereka, menyelimuti kamar dan suasana hati yang mulai menghangat.
Walau begitu, Anna tidak sepenuhnya percaya, karena tidak mudah melupakan seseorang hanya dengan semalam. Anna hanya memberikan kesempatan pada Juna.
“Buktikan, jangan cuma asal ngomong.” Anna bangkit dari tempat tidur, tetapi Juna menahannya.
Anna terhuyung dipelukan Juna, pandangan mereka bertemu.“Pulang nanti, ayo kita menikah?” bisik Juna.
“Gak mau?”
“Maunya apa?”
“Gantiin biaya rumah sakit Elsa, satu milyar.”
“Bukannya delapan ratus juta aja ya?”
“Yang dua ratus, bunganya. Mana, sini,” tegas Anna dengan ekspresi lucunya.
Juna tersenyum mengeluarkan ponselnya lalu mentransfer uang sejumlah yang Anna minta.“Sudah aku transfer ya. Maaf, kemarin mengabaikan kamu. Tapi, sekarang aku lega, Na. Tidak ada rasa bersalah lagi. Beban di pundakku rasanya hilang.”
“Preett,” jawab Anna menatap Juna dengan ekspresi seperti biasa, menggemaskan.
Anna bangkit dari atas tubuh Juna. Ia masih kesal, Juna masih membahas Elsa.“ Jun, bukannya aku gak respect atau apalah itu. Kemarin-kemarin aku memang menyuruhmu untuk menemani Elsa untuk terakhir kalinya, tapi tolong, saat ini dan selamanya jangan membahas Elsa lagi. Kamu pikir aku gak cemburu. Kalau kamu memang masih cinta sama dia, silahkan. Tapi jangan tunjukkan didepanku. Aku juga tidak mau bersaing dengan masa lalumu,” cerocos Anna tanpa Jeda.
Juna hanya mengangguk diam dan mencoba memahami perasaan Anna.“Maaf, Na.”
“Ya sudah, kamu istirahat ya. Aku mau mandi dulu,” ujar Anna, nada bicaranya sudah mulai menghangat.
“Mau dimandiin?” goda Juna.
Anna tanpa kata melempar bantal ke wajah Juna, wajahnya kesal. Juna hanya tertawa kecil melihat Anna kini masuk kedalam kamar mandi. Juna kemudian berbaring dan beristirahat karena ia sangat lelah dan mengantuk.
Lima jam berlalu, Juna tidur begitu pulas, sedang Anna sudah kembali dari jalan-jalan mengelilingi pusat perbelanjaan mall yang ada di Singapore.
Ia membeli beberapa pasang baju untuk Juna, karena ia melihat Juna masih menggunakan baju yang sama disaat hari kematian Elsa.
“Jun, bangun. Kamu tidur pulas banget,” Anna menggoyangkan lengan Juna.
Juna berdehem, menarik selimutnya.“Aku masih ngantuk, Na.”
“Iya, tapi makan dulu yuk. Nanti tambah sakit loh…”
Juna tersenyum lalu membuka matanya, ia senang Anna begitu perhatian padanya dari hal kecil dan urusan perutnya.
“Kamu sendiri sudah makan?” tanya Juna melihat wajah Anna.
“Sudah, tadi sama pak Aldo. Tadi jalan-jalan sama pak Aldo beli keperluan kamu. Ada baju, ada–”
Sebelum Anna melanjutkan kalimatnya, Juna menutup mulut Anna dengan telunjuknya.“ Terima kasih, kamu perhatian sama aku. Kamu benar-benar wanita paling tulus sayang sama aku.”
Entah polos atau bodoh, atau apa sebutan untuk Anna ini. Anna tersenyum mendengar pujian dari Juna. Sampai ia lupa kemarin-kemarin Juna secara tidak langsung menyakiti dirinya.
“Ya sudah, sana. Mandi ganti baju, nanti aku temani makan.”
Juna tersenyum, mengangguk.“Iya.”