SCARLET TEARS: VANILLA AND VENGEANCE

Lima tahun berlalu sejak mansion Seung Jo bertransformasi menjadi perpustakaan umum—sebuah tempat yang kini bersinar, seolah menyambut setiap jiwa yang melangkah masuk. Sinar matahari menembus jendela-jendela tinggi, menghidupkan debu yang menari-nari di antara rak-rak buku.

Tawa anak-anak dan bisikan para pembaca menggantikan keheningan yang dulunya dipenuhi ketakutan...

Namun, di balik semua keceriaan itu, ada sesuatu yang lama terpendam, mulai menggeliat—dug... dug... dug...

Bu Rina, pustakawan senior, mengangkat wajahnya dari tumpukan buku. Suara ketukan pelan, teratur, seolah ada yang mengetuk kayu dari balik dinding. Dinding tua, di sebelah ruang baca anak—hanya itu yang ada.

“Aduh...!” Suara jeritan perempuan, pendek dan teredam, seperti terperangkap dalam rasa sakit. Bu Rina berbalik, dan mendapati ruangan itu kosong. Hanya seorang anak kecil, tenggelam dalam dunia buku bergambar di karpet.

“Jina dengar suara tadi?” tanyanya, rasa ingin tahunya membara.

Anak itu menggeleng, matanya tak lepas dari halaman. “Nggak, Bu. Cuma suara angin.”

Tapi, tidak ada jendela yang terbuka...

Malam tiba, dan Pak Junil, petugas kebersihan, menyapu lantai basement—bekas ruang bawah tanah tempat Hayeon terkurung. Suara aneh yang menyeramkan mulai mengusik ketenangannya.

'sret... sret... sret...' Suara berat, seperti sesuatu yang diseret di lantai marmer. Tubuhnya menegang. Dia mengarahkan senter ke lorong gelap. Kosong. Namun, suara itu semakin mendekat, jantungnya berdebar, mengingat cerita-cerita lama tentang mansion ini.

"BRAK!" Suara pintu lemari buku jatuh dari lantai atas, membuatnya hampir melompat. Bergegas, dia naik dan menemukan rak buku besar terjatuh, buku-buku berserakan. Anehnya, tidak ada siapa-siapa. Alarm keamanan pun tak berbunyi. Pak Junil itu terjatuh menatap tak percaya sebelum akhirnya mundur dan lari.

Di antara tumpukan buku, sebuah buku tua dengan sampul coklat terbuka. Judulnya: "Kumpulan Puisi Cinta dari Jeju". Halaman yang terbuka—puisi tentang laut dan seorang gadis yang menunggu...

Laporan-laporan aneh mulai mengalir.

- Seorang mahasiswa yang belajar larut malam mendengar suara tangisan lembut dari lorong bekas kamar tidur Seung Jo. Saat diperiksa, tidak ada siapa-siapa, tetapi udara di sana terasa dingin, menusuk.

- Beberapa anak mengeluh tentang "Paman yang Sedih" yang kadang terlihat duduk di sudut ruang baca dewasa, menatap kosong ke arah bekas dapur. Didekati, sosoknya menghilang, seperti embun pagi.

- Yang paling menyeramkan, bau darah dan aroma strawberry busuk tiba-tiba muncul di area bekas dapur, tempat Hayeon terjatuh. Bau itu paling menyengat di hari-hari peringatan kematiannya...

Manajer perpustakaan, skeptis, akhirnya memanggil tim investigasi paranormal. Mereka menghabiskan semalam di dalam bangunan itu.

Hasilnya? Mengejutkan.

Rekaman EVP (Electronic Voice Phenomenon) menangkap suara yang tak terdengar oleh telinga manusia: bisikan parau,

“Lepaskan aku...”, diikuti teriakan marah seorang laki-laki,

“SEMUANYA KARENA KAU!”

Di bekas kamar mandi mewah Seung Jo, termografi menangkap bayangan panas berbentuk tubuh perempuan kecil, meringkuk di lantai—tepat di tempat noda darah yang tak pernah sepenuhnya hilang.

Kini, perpustakaan itu masih beroperasi. Namun, para staf dan pengunjung tahu aturan tak tertulis:

- Jangan tinggal sendirian setelah jam tutup.

- Hindari lorong dekat bekas dapur saat senja.

- Dan jika kamu mendengar suara tangisan atau amarah di kejauhan, berpura-puralah tidak mendengarnya...

Karena meski bertahun-tahun berlalu, arwah-arwah terluka itu masih berkeliaran di antara rak-rak buku—sebuah kisah cinta tragis yang kini menjadi legenda urban, dibisikkan dari mulut ke mulut. Mengingatkan kita semua bahwa beberapa luka terlalu dalam untuk disembuhkan, bahkan oleh waktu. Dan mansion ini, di balik wajah barunya yang cerah, akan selamanya menyimpan bayang-bayang kelam dari masa lalu...