NovelToon NovelToon
Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: ovhiie

Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.

*
*


Seperti biasa

Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

"Ayah, ini aku."

Dengan ketukan ringan di pintu, Yaga memberi tahu kedatangannya.

Tak lama dari itu, izin untuk masuk terdengar dari dalam.

Aliando sang Ayah mertua, wakil dari Pratama Group, baru saja menyelesaikan persiapan keberangkatannya ke kantor.

Dia sudah mengenakan setelan jas rapi ketika Yaga melangkah ke dalam ruang kerja.

Dia menoleh sekilas dan mengisyaratkan ke arah sofa di tengah ruangan.

"Duduklah."

Tanpa basa-basi, Yaga mengambil tempat di sebelah kursi utama. Obrolan ringan sudah cukup saat makan siang, sekarang adalah waktunya untuk langsung membahas hal-hal yang lebih serius.

"Aku datang untuk menyelesaikan masalah Pak Bram seperti yang direncanakan."

"Pak Bram?"

"Ada informasi yang masuk."

"Begitu ya."

Ayah mertua, yang baru saja duduk di kursinya, menatap Yaga dengan mata penuh perhitungan.

"Tapi kamu tahu, kalau kamu membangkitkan kasus itu lagi, CEO SIN tidak akan tinggal diam. Kamu siap menghadapi kemarahannya?"

Nada suaranya terdengar setengah mengingatkan, setengah mengukur.

Namun, Yaga hanya tersenyum tipis.

"Ini kesempatan yang langka. Kalau ada peluang, kita harus memanfaatkannya, bahkan jika itu hanya kebetulan."

Dia teringat tatapan penuh ambisi dari CEO SIN, laki-laki yang sangat menginginkan kejatuhan Yaga.

Melihat ekspresi percaya diri di wajah menantunya, Aliando mengusap dagunya dengan tertarik.

"Ceritakan lebih lanjut."

"Aku berencana mengirimkan dokumen tentang rekening gelap Pak Bram ke Unit Analisis Keuangan."

Aliando mengernyit mendengar itu. Yaga melanjutkan tanpa ragu.

"Pak Bram terlibat, ada pemain basket terkenal yang bisa menarik perhatian publik, dan waktu ini sangat tepat. Jaksa Adrian juga sedang mencari sorotan karena dia berencana masuk ke dunia politik."

Aliando menajamkan tatapannya.

"Adrian ya? Hmm.."

"Ya. Dia butuh skandal besar untuk memperkuat citranya sebagai ‘pembantai konglomerat’. Aku berencana memanfaatkannya."

Mata keduanya bertemu dalam keheningan sejenak, saling menilai.

"Tapi kamu tahu, ini juga berarti kamu akan dipanggil sebagai saksi."

Nada suaranya seolah sedang memperingatkan, tapi di baliknya ada sesuatu yang lebih dalam. Mungkin, harapan bahwa menantunya tidak akan membuat kesalahan yang bisa merugikan mereka berdua.

Yaga tertawa kecil.

Mereka mungkin berbicara dengan tujuan yang berbeda, tetapi intinya tetap sama

"Apakah aku akan terkena imbasnya?" Aliando menambahkan

"Apa Ayah khawatir?"

"Tidak. Karena kamu adalah menantuku."

Kata-kata itu diucapkan dengan senyum puas, seolah dia bangga melihat menantunya mengambil langkah besar dalam permainan ini.

"Kalau begitu, aku tidak butuh bantuan." Jawaban Yaga tegas.

Mereka mendiskusikan beberapa hal lagi sebelum Yaga bangkit dari tempat duduknya.

Namun, sebelum dia pergi, Aliando menambahkan sesuatu

"Aku dengar pertemuan dengan para konglomerat juga tertunda. Kamu pasti makin sibuk."

Nada suara itu terasa sedikit lebih peduli dibanding sebelumnya, membuat Yaga meliriknya sesaat.

Dari pada orang tuanya, dia memang lebih mirip sikapnya dengan laki-laki ini.

Postur tubuhnya, tinggi badannya, bahkan aura dingin dan tak acuh yang mereka miliki hampir sama

Mereka adalah dua laki-laki yang kebetulan memiliki keterkaitan, berdiri di jalur yang sama demi tujuan masing-masing.

Tetap saja, jika laki-laki itu ingin di anggap seperti ayah mertua yang baik sesekali, Yaga tidak keberatan.

"Benar juga. Sulit untuk mengejar semuanya setelah mengurung diri di luar Negri, ayah."

Jawaban yang ringan, tapi cukup untuk memuaskan ayah mertuanya.

Aliando mengamati dengan tatapan tajam.

"Apa yang kamu inginkan?"

"Jika aku menyelesaikan proyek ini dengan sukses, bantu aku saat waktunya tiba."

Tanpa sedikit pun keraguan, Yaga melemparkan umpannya.

Aliando tertawa pelan.

"Apa kamu akan meminta sesuatu yang begitu besar sampai harus bicara seperti ini?"

"Ayah tunggu saja, dan lihat sendiri."

Yaga membungkukkan sedikit kepalanya sebagai tanda hormat, lalu keluar dari ruangan.

Saat itu, hpnya bergetar di dalam saku jasnya.

[Sekretaris Gan]

"Ya"

_ Tuan muda, saya sudah tiba. Silahkan Anda keluar lewat gerbang depan.

"Aku segera ke sana."

Sambil berjalan menuruni anak tangga, dia memutar lehernya, mencoba meredakan ketegangan di bahunya.

Dia belum tidur nyenyak sejak keberangkatannya dari kediamannya, langsung tenggelam dalam pekerjaan dan hanya sempat tidur sebentar sebelum datang ke rumah mertua.

Dan di sela-sela pikirannya yang sibuk, bayangan sang istri kembali muncul, bertepatan saat melihat kamar kosong yang dia lalui.

Almaira

Kalau dia ada disini, mungkin gadis itu sedang menikmati waktunya sendirian di kamar itu.

Mendadak, dia tertawa miring. Bukan karena kemarahan, bukan karena tidak suka.

Tapi karena di tengah semua ini, dia ingin segara melihatnya di rumah.

***

Di lain tempat

Ketika Pak Berta masuk ke dalam mobil, Yaga memperhatikannya dengan pandangan sekilas.

Dia terlihat lebih pucat daripada terakhir kali mereka bertemu.

Pak Berta masuk ke kursi belakang dengan wajah tegang, mengikuti arahan Sekretaris Gan.

Namun, ketika Yaga tersenyum padanya, meskipun samar, laki-laki itu tampak sedikit lebih lega dan mencoba membalas dengan senyum kikuk.

"CEO Yaga."

"Sudah lama tidak bertemu."

"Saya tidak menyangka Anda akan menghubungi saya secepat ini."

"Saya juga demikian." Jawaban Yaga terdengar santai, tapi tetap menjaga batasannya dengan jelas.

Sementara itu, Pak Berta mengubah posisi duduknya, gelisah di bawah tatapan tajam Yaga yang menunduk sedikit, menatapnya dari atas ke bawah.

"Apa ada sesuatu yang ingin saya bantu?"

Nada suara Pak Berta penuh kehati-hatian. Yaga terkekeh kecil.

"Anda terdengar terlalu serius, seolah-olah kita sedang merencanakan sesuatu yang ilegal. Ini hanya tindakan keadilan untuk menyelamatkan junior-junior Anda, bukan? Jangan terlalu tegang."

"…Apa?" Pak Berta tampak bingung, tatapannya sedikit goyah.

Sikap laki-laki di hadapannya benar-benar berbeda dari pertemuan mereka sebelumnya.

Saat itu, Yaga menatap para pemain yang terlibat dalam skandal dengan tatapan menggelikan.

Bahkan terhadap Pak Berta sendiri, dia tidak menyembunyikan rasa muaknya karena mencoba membela mereka.

Namun hari ini, ekspresi Yaga lebih tenang, seolah-olah semua yang terjadi hanyalah bagian dari permainan yang sudah dia perhitungkan dengan baik.

"Anda pasti tahu bahwa David dan Ferdyan akan segera dipanggil oleh kejaksaan, kan?"

"Ya, saya tahu."

"Sebelum itu terjadi, saya ingin Anda mengadakan konferensi pers dengan mereka."

"Konferensi pers?"

"Hanya pernyataan singkat. Bacakan surat permintaan maaf, dan kalau bisa, tambahkan sedikit air mata."

Pak Berta tampak sedikit kaget dengan permintaan itu.

Namun, bagi Yaga, semakin dramatis konferensi pers itu, semakin baik.

Dia ingin perhatian publik tertuju ke sana, supaya ketika dia menjatuhkan ‘video’ yang dia siapkan, semua orang akan langsung melihat ke arahnya.

Dan jika segalanya berjalan sesuai rencana, skandal ini tidak hanya akan menyeret para pemain itu, tetapi juga Pak Bram, Maura, Amera, dan bahkan CEO SIN ke dalam pusaran.

Semua akan dipaksa naik ke panggung.

Dia menatap laki-laki di hadapannya, yang jelas-jelas tidak dalam posisi untuk menolak.

"Jadi, bisa Anda lakukan?"

Seperti yang dia duga, Pak Berta mengangguk dengan wajah tegang.

Terlalu serius.

Begitu menginginkan sesuatu, seseorang rela melakukan apa saja. Bagus. Yaga belajar satu pelajaran hari ini. Dan sekarang, waktunya untuk menjatuhkan langkah berikutnya.

***

Pagi buta, sebuah berita eksklusif memenuhi halaman utama portal berita.

[Breaking News]

Dua Pemain basket diselidiki atas Dugaan Pembullyan, Percobaan Pembunuhan, Penipuan dan Penggelapan Dana.

Yaga menatap layar tablet di tangannya, membaca artikel tersebut dengan mata penuh perhitungan.

Reaksi publik sudah mulai menggelegak.

Meskipun nama para pemain masih ditulis dengan inisial, fakta bahwa Davidiando dan Ferdyan telah dikeluarkan dari daftar pertandingan cukup untuk memperkuat rumor yang selama ini beredar di komunitas basket.

Jurnalis yang menulis berita itu juga sengaja menggunakan frasa seperti 'dua penembak jitu' yang dengan jelas mengarah pada mereka.

Di media sosial, ada yang mengingat kembali betapa seringnya kedua pemain itu saling menandai satu sama lain di unggahan mereka.

Beberapa orang bahkan mengaitkan agresivitas klub dalam merekrut pemain baru dari IBL sebagai petunjuk bahwa klub tersebut sudah mengetahui skandal ini sejak awal.

Bagus.

Setelah menilai situasi dengan singkat, Yaga mengencangkan jam tangannya.

Dia melangkah keluar dari ruang ganti dan berjalan melewati ruang tamu saat hpnya berdering.

Pak Bima, Sekretaris Pribadi. Yaga mengangkat telepon tanpa berhenti melangkah.

 “Ya.”

_ Tuan muda, sudahkah Anda melihat beritanya?

"Sudah."

_ Bagaimana langkah selanjutnya?

"Begitu konferensi pers selesai, unggah beberapa foto dan video dari akun media sosial pribadi David dan Ferdyan besok. Biarkan publik menggali sendiri. Setelah isu ini mencapai puncaknya, baru kita jatuhkan foto Amera dan CEO SIN yang sedang duduk bersama."

_ Baik.

"Seolah-olah seseorang kebetulan menemukan sesuatu. Seolah-olah ini adalah rahasia yang akhirnya terungkap."

Orang-orang akan memeriksa setiap petunjuk, menyusuri jejak-jejak yang telah dia tinggalkan, dan pada akhirnya, mereka sendiri yang akan menunjuk wajah-wajah yang ingin dia jatuhkan ke panggung skandal.

Saat menutup telepon, Yaga merasakan sejenak kelelahan yang menumpuk di matanya.

Dia mengedipkan mata beberapa kali, mengusir bayangan kantuk, lalu turun ke garasi.

Tiba-tiba, jarinya bergerak menuju galeri hpnya.

Hanya satu foto.

Foto dia.

Dia tidak keberatan melihat wajahnya tersenyum. Tapi justru ekspresi di foto itu yang membuatnya lebih menyenangkan.

Tatapan tajam, penuh amarah, serta poni yang dipotong dengan asal-asalan.

Tawa kecil lolos dari bibirnya.

Apa yang sebenarnya kamu lakukan Almaira?

Gadis itu memiliki cara unik untuk membuatnya merasa seperti orang brengsek.

Menekan tombol kembali, Yaga menyelipkan hpnya ke dalam saku jasnya. Di garasi, mobilnya sudah menunggu dengan sopir pribadi yang berdiri di sampingnya.

Saat dia duduk di kursi belakang, sopir itu membungkuk sedikit dan menutup pintu.

Hari baru telah dimulai.

Sebuah kota berpendar di balik jendela mobil yang melaju.

Yaga menatap jalanan yang sibuk, tetapi tidak merasa bosan.

Roda sudah bergerak. Dia hanya perlu terus melaju ke depan.

***

Sudah lebih dari satu minggu, Yaga masih di luar kota tanpa kabar. Pesan tidak dibalas, di telepon juga tidak diangkat.

Ada apa? Kenapa..

Mungkin karena itu, berat badannya sedikit berkurang, tapi dia tetap fokus pada hari-harinya.

Bukan karena sengaja menghindari makan, melainkan karena dia bisa berdalih bahwa dia terlalu sibuk untuk sekadar duduk dan menikmati makanan.

Kemarin malam, setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, dia membuka sebotol air putih dan duduk di beranda rumahnya.

Saat dia meneguk airnya, sosok Yaga muncul dalam pikiran, sosok yang pernah merampas hpnya dari tangannya.

Namun, wajah yang teringat hanya wajahnya saat mereka berpisah.

Setiap kali perasaan panas menyelusup ke dadanya, dia meneguk airnya lebih banyak.

Kemarin, Aira mengalihkan diri dengan membaca buku. Hari ini, Aira sibuk mengemas segela perlengkapan untuk di bawa ke apartemen Anita. Besok, rencananya dia akan menginap.

Kalau Aira terus menghilangkan rasa rindu dengan cara ini, mungkin suatu hari nanti, dia akan datang dengan sendirinya.

Dia menarik napas panjang, lalu membalikkan badan untuk kembali ke dalam rumah.

Namun, di saat yang sama, matanya bertemu dengan seseorang yang berjalan mendekat.

Sosok Maura kembali tampak berantakan.

Rambutnya acak-acakan, matanya cekung, dan wajahnya penuh dengan kelelahan.

Tapi bahkan dalam kondisi itu, sorot matanya masih dipenuhi dengan penghinaan yang sudah sangat akrab bagi Almaira.

"Nonya Maura datang setiap hari dan memohon untuk di bukakan pintu. Kemarin, ada rentenir datang ke rumahnya dan mencari suaminya. Saat itu, katanya Pak Bram ketakutan setengah mati. Lama-kelamaan Nyonya Maura bisa jadi gila."

Itulah yang dikatakan oleh Lea kepada Almaira kemarin.

Jadi, dia datang ke sini lagi untuk memohon.

Almaira menurunkan pandangannya, tapi yang lebih dulu menghindari tatapan adalah Maura.

Dengan rahang mengeras, sesosok wanita itu berjalan melewatinya, seolah dia benar-benar kehilangan akal. Tidak apa-apa, mungkin ini yang terakhir.

"Saya akan pergi ke apartemen besok. Jika ada yang bicarakan.."

Almaira membuka mulutnya, menghentikan langkah Maura.

Untuk kesekian kalinya selama bertahun-tahun, dia menghadapinya secara langsung dan berkata bahwa ini mungkin terakhir kali mereka bertemu.

"Maksud saya... Jika tidak ada hal lain… mungkin ini terakhir kalinya kita melihat satu sama lain, kan?"

"Bagus kalau begitu."

Begitu cepat, tanpa ragu.

Bukan jawaban yang mengejutkan, tapi kali ini, Almaira tidak merasa sakit. Dia sudah menduga bahwa dia akan mengatakan hal seperti itu.

Aira hanya ingin mendengarnya dengan pasti. Dia menatap wajah Maura dengan tenang.

"Apakah Anda benar-benar membenci saya?"

Seketika, sorot mata Maura bergetar.

Sudah lama Aira ingin bertanya. Tapi Aira tidak pernah melakukannya, karena Aira sudah tahu jawabannya.

Sebelummya Aira berpikir, mendengarnya langsung hanya akan melukai diri sendiri. Tapi sekarang… Aira ingin mendengar jawabannya.

Aira ingin menghancurkan sedikit sisa keinginan bodoh ini di dalam hati, yang masih ingin mengetahui alasannya.

Kenapa dia membenci Aira?

"Ya."

Tanpa ragu Maura menjawab,

Seolah-olah dia telah menahan jawaban itu selama bertahun-tahun dan akhirnya bisa mengatakannya dengan bebas.

Almaira tersenyum kecil.

"Sampai ingin membunuh?"

"….. Apa?"

"Dulu, saya selalu berpikir… bahwa Andalah yang mencoba menabrak saya, bukan Amera"

Udara di antara mereka membeku. Kata-kata itu, seperti batu besar yang jatuh ke permukaan air yang tenang.

Wajah Maura langsung menegang, dan napasnya memburu.

Dia menatap Almaira seakan seseorang baru saja membongkar rahasia yang telah dia kubur dalam-dalam.

"Almaira, maafkan Amera. Dia hanya teman yang iri padamu dan dia tidak tahu apa-apa. Dia sakit, dia hanya mendengar kata-kata ibunya dan menganggapnya serius…"

Di ruangan rumah sakit yang dingin, suara isakan wanita yang berlutut di lantai masih terdengar di telinganya.

Tapi kata-kata yang dia ingin tahu, kata-kata yang dia ucapkan Maura kepada Amera sebelum tragedi kecelakaan itu, tak pernah terdengar.

Apa yang dikatakannya?

Apakah dia benar-benar berkata bahwa dia ingin Aira mati?

"Apakah, Anda pernah bicara pada Amera bahwa Anda ingin saya mati?"

Maura menelan ludah. Dia membeku sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara gemetar.

"Kamu… Kamu sangat mirip dengan Ibumu."

Ah. Jadi itu alasannya.

Jawaban yang diucapkannya sama seperti racun yang selama ini tersimpan di tenggorokannya.

"Karena itu kamu baik hati. Tapi juga karena itu kamu memuakkan."

Wajah Maura berubah.

Bukan karena kebencian… tapi karena penghinaan yang masih membekas, meskipun bertahun-tahun telah berlalu.

"Hari itu, saat dia tinggal bersama ku… Aku masih belum bisa melupakannya. Saat aku melihat matamu, rasanya seperti kembali ke hari itu. Hari di mana aku dihina dan di permalukan."

Dia tertawa kecut, tapi matanya penuh dengan kesakitan.

"Aku dituduh mencuri, di usir oleh keluarga ku. Tapi bodohnya, ibu mu malah menahanku, berpura-pura baik. Aku benci melihat ibu mu yang selalu menjadi nomer satu, padahal dia sakit-sakitan. Munafik bukan?"

Dan setiap kali dia melihat Almaira, yang sangat mirip dengan ibunya, rasa sakitnya kembali pada masa itu.

Betapa menyakitkan.

"Jadi.. itu hanya karena saya mirip dengan ibu saya ya?"

"Hanya? Kamu bilang hanya?!"

"Ya, kurasa itu bukan salah ibu saya."

"Apa?"

Tangan Maura mengepal. Dia menggigit bibirnya dengan keras, tapi emosinya masih belum mereda.

"Beraninya! Kamu bahkan punya kepribadian yang sama dengan ibumu! Kamu tahu betapa aku sangat membencinya."

"Atau… apakah Anda merasa bersalah pada ibu saya?"

Mata Maura membelalak.

Dia terlihat seakan sesuatu dalam dirinya baru saja runtuh. Tangan yang tadi terkepal mulai gemetar. Napasnya memburu, dan wajahnya berubah pucat.

"Kenapa aku harus?! Kenapa aku harus merasa bersalah pada ibumu seperti itu?! Di alam kubur, dia pasti sekarang sedang bersenang-senang kan?! Aku punya suami, aku punya anak, aku punya segalanya, kenapa aku harus. kenapa aku harus…!"

Tapi tidak ada jawaban pasti dalam amarahnya.

Dan entah kenapa, itu terdengar… seperti pengakuan.

Almaira menatap Maura yang penuh amarah, tetapi bagi Almaira, semuanya sudah berakhir.

Ada sesuatu dalam dirinya yang akhirnya runtuh.

Keinginan yang selama ini masih tersisa dalam dirinya akhirnya musnah.

Suara pintu tertutup menggema, jauh di dalam dadanya, seolah menandakan bahwa semuanya telah berakhir.

"Aku benar-benar membencimu."

Kata-kata itu mengalir seperti racun dari mulutnya, ditujukan pada anak sepupunya sendiri.

"Aku bahkan sangat bersyukur, mendengar ibumu mati karena penyakitan."

Tapi meskipun kata-kata itu telah terucap, dadanya terasa semakin sesak.

Tangannya bergetar saat mencoba menyeka air mata yang tak kunjung berhenti.

"Kenapa aku menangis?"

Bahkan setelah dia mengutuknya, bahkan setelah dia melampiaskan semua amarahnya, hatinya tidak merasa lebih ringan.

Justru, kata-kata yang dilontarkan oleh Almaira tadi masih terngiang di telinganya, seolah diputar ulang berulang kali dalam pikirannya.

"Mungkin, sebenarnya Anda masih menyesal pada ibu saya? Benar kan?"

"...."

Maura diam membeku, tidak bisa berkata apa-apa

Kalimat itu menusuk jauh lebih dalam daripada yang dia duga. Seketika, tubuhnya terasa dingin.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!