NovelToon NovelToon
Terperangkap Dimensi Lain

Terperangkap Dimensi Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Akademi Sihir / Fantasi Isekai / Time Travel / Fantasi Wanita
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Sunny Rush

Elara dan teman-temannya terlempar ke dimensi lain, dimana mereka memiliki perjanjian yang tidak bisa di tolak karena mereka akan otomatis ke tarik oleh ikatan perjanjian itu itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 31

Yang lain sudah mulai berlatih bersama para senior di area terlarang, masing-masing menyalurkan kekuatan mereka dengan penuh semangat. Elara hanya berdiri di tepi, menatap mereka dengan raut bingung dan sedikit cemas.

"Kamu kenapa?" tanya Lysandra sambil mendekat, nada suaranya mencurigakan.

"Ada yang aneh sih, tapi nggak tahu apa," jawab Elara, matanya masih menatap kerumunan teman-temannya yang berlatih.

"Kamu nggak latihan?" Arsen muncul di sampingnya, menatap Elara dengan tajam tapi penasaran.

"Bukannya kita dilarang memasuki area ini, tapi kenapa kita latihan di sini?" tanya Elara, nadanya serius. Pertanyaan itu membuat Arsen terdiam sejenak.

"Bukannya kamu yang paling tahu, Arsen?" Lysandra menimpali, sedikit menantang.

"Brian, apa yang kamu rasakan?" tanya Arsen sambil menatap Brian, yang berdiri di samping dan tampak santai.

"Jalani saja dulu, urusan nanti diurus belakangan," jawab Brian dengan nada cuek, sambil sesekali menatap Elara yang tampak kesal.

"Brian…" geram Elara, mendengus kesal.

"Lagian perasaanmu ngaco," komentar Arsen santai, menatap Elara seolah ingin menenangkan tapi sekaligus menggoda.

"Sebenarnya feeling Brian itu bagus, Elara. Dia bisa merasakan sesuatu hal yang mungkin sama seperti kamu, tapi bedanya dia bodo amat, sedangkan kamu khawatir," jelas Arsen, nada suaranya serius tapi ada sedikit nada menertawakan.

"Kalau begitu sekarang bagaimana?" tanya Elara, masih ragu-ragu.

"Latihan saja dulu…" jawab Brian, lalu meninggalkan mereka dengan langkah tenang dan cuek.

"Ayo latihan!" seru Arsen, mencoba mengajak Elara untuk menyalurkan energinya.

Elara bergerak mendekat, ingin menyentuh tangan Arsen untuk memulai latihan, tapi begitu tangannya hampir menyentuh, tangan Arsen terasa tak bisa dijangkau.

"Arsen, kenapa tanganmu?" Elara terkejut, mundur sedikit sambil menatap tangannya sendiri.

"Mungkin karena dia terikat sama Selena…" ucap Lysa, menatap Arsen dan Elara dengan tajam.

"Gak mungkin…," gumam Elara, hatinya berdebar. Kenangan potongan mimpi yang aneh dan samar muncul di pikirannya, membuatnya terdiam sejenak.

"Kenapa?" Arsen menatap Elara, nada suaranya khawatir tapi lembut.

Elara menelan ludah, matanya masih menatap tangan Arsen yang seolah ,ada jarak tak terlihat. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah semua ini hanyalah efek dari perasaan dan ikatan yang tak terlihat, atau ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu mereka di area terlarang ini.

....

Ada yang aneh, ini benar-benar sangat aneh..

Elara menatap ke arah danau airnya beriak padahal tak ada angin sama sekali. Cahaya redup yang seharusnya tenang kini berpendar, seperti menyembunyikan sesuatu di dalamnya.

"Kenapa... danau itu...?" gumam Elara pelan, langkahnya perlahan maju tanpa sadar.

Energi di sekitar mereka mulai bergetar halus rumput, udara, bahkan sihir di tubuh para murid berdesir, seperti ada sesuatu yang perlahan menyedot kekuatan mereka.

"Elara, kenapa kamu bengong di situ?" panggil Arsen dari jauh.

Elara menoleh cepat. “Arsen!” suaranya tegas dan penuh panik.

“Jangan keluarkan energimu!”

Arsen menatap heran, tapi mendekat. “Kenapa? Ada apa?”

“Lihat mereka!” Elara menunjuk ke arah para murid lain. Tubuh mereka tampak goyah, sebagian bahkan berlutut, aura sihirnya berpendar samar tersedot menuju langit, ke arah pusaran tak kasatmata yang muncul tepat di atas danau.

“Gak ada apa-apa, Elara…” Arsen mencoba menenangkan, tapi matanya menyipit saat aura Elara mulai bergetar semakin kuat. “Kamu terlalu tegang...”

“Arsen! Dengarkan aku!” teriak Elara, menahan napas saat energi di sekeliling mereka bergetar semakin keras. Udara berubah berat, seperti menekan dada mereka.

Arsen melangkah mendekat, dan saat itu Elara spontan ingin menarik tangannya. Tapi begitu ujung jarinya hampir menyentuh, tubuh Arsen menolak seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka.

“Kenapa aku gak bisa ?!” Elara memaksa, matanya melebar.

Danau itu kini bersinar cahaya putih dan hitam membentuk pusaran besar di udara. Suaranya seperti jeritan ribuan roh yang beradu di satu titik.

“Arsen!” Elara berteriak lagi, tubuhnya bergetar saat angin energi menerjang.

Arsen berusaha menahan langkahnya, tapi gravitasi dari pusaran itu menariknya perlahan ke depan.

“Elara, mundur!” serunya.

“Tidak! Aku gak akan biarkan kamu!” teriak Elara. Ia memaksa lagi, dan tiba-tiba tangannya menembus batas itu.

Elara berhasil memegang tangan Arsen. Cahaya terang menyilaukan pandangannya, sementara suara gemuruh menelan udara. Tapi… sesuatu lain terasa.

Ada tangan lain yang menggenggam tangannya dari belakang hangat, kuat, dan stabil.

Brian.

Elara sempat menoleh sekilas pandangan mata Brian menatapnya dingin tapi tegas, wajahnya diterangi oleh kilatan cahaya putih dan hitam yang saling bertabrakan.

“Elara, jangan lepas!” ucap Brian singkat.

Cahaya itu semakin menyilaukan campuran putih dan hitam menelan mereka bertiga sepenuhnya.

Angin meledak seperti badai, tubuh-tubuh murid lain terhempas jatuh, tapi hanya tiga orang yang tersisa di tengah pusaran cahaya itu.

Saat semuanya berhenti…

Danau itu sunyi.

Tak ada suara. Tak ada angin.

Dan hanya tiga sosok yang tersisa Arsen, Elara, dan Brian.

Elara terengah-engah, menatap sekitar yang kini berubah menjadi hamparan kosong dengan langit kelabu.

Tubuhnya masih memegang tangan Arsen, dan tangan lainnya masih erat dalam genggaman Brian.

“Dimana… ini?” bisik Elara, suaranya bergetar.

Arsen menatap sekeliling, wajahnya serius. “Bukan dunia kita.”

Brian perlahan melepaskan genggamannya, tapi matanya tetap terpaku pada Elara. “Sepertinya kita yang ditarik—bukan tersesat.”

Elara menelan ludah. “Dit… tarik? Oleh siapa…?”

Angin berhembus pelan. Dan di kejauhan, suara bisikan samar terdengar dari langit yang retak seolah ada sesuatu… atau seseorang… yang baru saja membangunkan mereka dari mimpi yang belum selesai.

....

Mereka bertiga melangkah perlahan, menyusuri jalanan yang asing namun terasa familiar. Suasana di sekitarnya seolah kabur langit berwarna abu keunguan, tanah memantulkan bayangan samar diri mereka sendiri. Di kejauhan, ada siluet orang-orang lain yang berjalan ke arah yang sama, wajah mereka tak sepenuhnya jelas, seperti refleksi yang bergerak tanpa jiwa.

“Ini... dunia duplikat, bukan?” tanya Elara pelan, matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya aneh yang menyelubungi tempat itu.

Arsen memperhatikan sekitar. “Tapi ini beda. Rasanya... lebih padat, lebih nyata.”

Brian berjalan paling depan, langkahnya cepat dan penuh kewaspadaan. “Mungkin karena mereka...” ia menunjuk sekilas ke arah para sosok samar di depan “ dibantu dengan energi kita.”

Elara langsung berhenti, menatap punggung Brian dengan ekspresi kaget.

“Jadi lo... ingat?” suaranya menurun, namun tegas. “Tentang semua mimpi itu? Tentang dunia kita orang tua kita semuanya?”

Brian tidak menoleh. Ia hanya diam sejenak, lalu melanjutkan langkah tanpa sepatah kata pun.

Diamnya justru lebih menyakitkan daripada jawaban apa pun.

Elara menunduk, hatinya terasa berat. “Brian…” bisiknya nyaris tak terdengar.

Arsen mendekat, menatap wajah Elara yang muram. “Ada apa, Elara?”

Elara memaksa tersenyum kecil. “Gak papa, Arsen. Ayo kita pergi. Mungkin jawabannya ada di depan.”

Mereka terus berjalan. Tapi setiap langkah yang mereka ambil, Elara merasa dunia ini semakin tidak wajar.

Pohon-pohon tampak seperti kristal hidup, dan setiap bayangan yang mereka lewati berbisik lirih, menyebut nama mereka satu per satu.

Suara langkah kaki semakin ramai. Mereka bertiga tiba di sebuah dataran luas di tengahnya berdiri batu besar hitam menjulang tinggi dengan ukiran simbol kuno yang berkilau samar. Di sekeliling batu itu, sosok-sosok lain yang mirip murid Akademi Agatha berkumpul dalam lingkaran besar.

Tapi...

“Elara…” bisik Arsen pelan. “Lihat baik-baik.”

Elara memicingkan mata. Tubuhnya menegang.

Wajah-wajah yang berkumpul di depan mereka... semuanya identik dengan mereka sendiri. Ada Elara lain, Arsen lain, bahkan Brian lain yang berdiri di antara kerumunan.

“Elara…” suara Brian rendah dan dingin di belakangnya. “Kita bukan di dunia duplikat biasa.”

Elara menatap batu besar itu di atasnya, simbol merah menyala perlahan seperti jantung yang berdenyut.

“Kalau begitu,” katanya lirih, “kita sedang berdiri... di jantung dunia refleksi.”

Udara bergetar. Batu itu berdenyut sekali lagi dan dari baliknya, suara berat dan lembut bergema:

“Akhirnya… kalian bertiga datang. Pewaris darah leluhur, dan pengikat perjanjian yang belum selesai.”

Arsen menegang. Brian segera berdiri di depan Elara, melindunginya secara refleks.

Elara hanya menatap batu itu matanya bergetar, dadanya sesak.

Suara itu… ia mengenalinya.

Tapi dari mana?

1
Flynn
Ngakak!
Melanie
Romantis banget!
Android 17
Jlebbbbb!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!