NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rencana

“Aku curiga sama ipar dan selingkuhan Bapak, Saras. Entah kenapa, sejak tahu mereka bersekongkol, pikiranku nggak bisa tenang,” ucap Renaya dengan nada berat.

Dodi mengernyit, sedikit heran.

“Kenapa kecurigaanmu jatuh ke mereka?”

Renaya mengangkat bahunya, matanya menatap kosong ke dinding. “Kalau mereka berani mencelakai Ibu pakai obat itu, nggak menutup kemungkinan mereka juga dalang di balik kematian adikku, Sandrawi.”

Dodi mengangguk pelan, jemarinya mengusap dagu, mencoba merangkai logika. “Bisa jadi. Gerak-gerik mereka memang dari awal mencurigakan. Tapi… kamu nggak punya bayangan kenapa mereka mau mencelakai Ibumu?”

Renaya menggenggam cangkir teh, menghembuskan napas panjang sebelum menjawab, “Kalau Saras, aku paham motifnya. Dia wanita simpanan Bapak. Satu-satunya alasan dia ingin Ibu disingkirkan ya karena ambisinya ingin menggantikan posisi Ibu di sisi Bapak. Tapi… Bagantara… aku sama sekali nggak paham apa alasannya ikut campur dan membantu Saras.”

Dodi hanya mengangguk kecil. Di benaknya, kasus ini semakin berbelit. Bagantara, menantu Baskoro dan ipar Renaya, menjadi teka-teki paling besar.

“Kamu udah coba bandingin tulisan surat itu sama tulisan Saras?” tanya Dodi pelan.

Renaya menggeleng, wajahnya tampak lelah. “Belum… aku nggak tahu gimana caranya ambil tulisan Saras tanpa dia curiga.”

Dodi menghela napas, mengumpulkan pikirannya sejenak sebelum menyahut, “Kalau kamu bisa buktiin Saras yang nulis surat itu, kamu udah punya pijakan kuat buat melapor. Walau… nggak serta merta mereka langsung dijeblosin ke penjara.”

Renaya mengangguk paham. “Aku nggak muluk-muluk. Setidaknya, penyidik bisa mulai pantau mereka.”

Dodi menyandarkan punggung ke kursi. “Kamu udah kepikiran mau gimana, Renaya?”

Renaya hanya memandangi permukaan teh yang sudah mendingin. Tujuannya datang ke kantor polisi pun karena pikirannya buntu.

Melihat wajah lelah Renaya membuat hati Dodi tergerak. Sebagai aparat hukum, dia tak bisa menutup mata. Meski Renaya belum secara resmi membuat laporan, nuraninya tahu Renaya berjuang sendirian.

“Oke… aku bantu kamu,” ujar Dodi mantap. “Nggak susah kok bandingin tulisan tangan Saras. Aku bisa bantu urus itu.”

Renaya sontak menegakkan punggungnya. “Kamu serius?”

Dodi tersenyum tipis. “Aku serius. Ini bagian dari tugasku.”

Seketika, beban yang menekan dada Renaya sedikit terangkat. Dia benar-benar bersyukur bisa mengenal Dodi, laki-laki yang secara tidak sengaja ia temui saat mencari Yudayana di kelab malam. Tanpa Dodi, entah bagaimana dirinya menghadapi semua kekacauan keluarganya.

“Aku nggak tahu harus bilang apa… bilang makasih rasanya nggak cukup,” ucapnya lirih.

Dodi terkekeh ringan. “Traktir makan siang aja.”

“Hanya itu?” Renaya menaikkan satu alis, tak percaya.

Dodi mengangkat bahu santai. “Saat ini, cuma itu yang aku butuhkan.”

Tanpa banyak bicara, mereka pun berjalan ke rumah makan sederhana di seberang kantor polisi. Rasa terima kasih membuat Renaya membiarkan Dodi memilih sesuka hati. Toh, ia tahu, berapa pun uang yang ia keluarkan tak akan pernah sebanding dengan bantuan yang ia terima.

Suasana makan siang terasa ringan. Obrolan mengalir seputar kehidupan mereka. Dodi menceritakan rutinitasnya sebagai polisi, Renaya sesekali menyelipkan cerita masa lalu, tentang Sandrawi dan kisah pilu keluarga mereka.

Saat piring di meja sudah bersih, mereka beranjak kembali ke kantor. Ketika Renaya mengeluarkan uang seratus ribu dari dompet, Dodi sudah lebih dulu melunasi semuanya.

“Lho… kok kamu yang bayar?” Renaya menatapnya heran.

“Memangnya kenapa?” tanya Dodi, balik menatap Renaya dengan ekspresi santai.

“Aku tadi niatnya mau traktir kamu buat tanda terima kasih,” jawab Renaya dengan wajah polos.

Dodi mengedikkan bahu, senyumnya mengembang tipis. “Itu cuma alasan biar kamu nggak nolak makan,” balasnya ringan, lalu berbalik dan melangkah lebih dulu.

Renaya mendecak pelan, tak percaya dengan kelicikan kecil pria itu. Ia mempercepat langkahnya, menyusul Dodi yang sudah lebih dulu menyeberang menuju halaman kantor polisi.

“Serius, terima kasih banyak. Aku bahkan udah nggak tahu harus bilang terima kasih berapa kali ke kamu,” ucap Renaya, menahan perasaan sungkan yang semakin mengganjal.

Dodi hanya mengibaskan tangannya di udara, seolah ucapan itu tak perlu diulang.

“Udahlah, nggak usah basa-basi. Oh iya… kamu ke sini naik apa?” tanyanya santai.

“Naik motor kok, jadi nggak usah repot-repot nganterin aku pulang,” sahut Renaya menolak dengan sopan, lalu kembali menyinggung soal Saras. “Eh, soal Saras… kamu ada ide nggak?”

Dodi tampak berpikir sesaat, mengusap dagunya perlahan. “Belum kepikiran yang matang sih, tapi buat dapetin tulisan tangannya kayaknya nggak sesulit itu. Kamu ada waktu besok?”

Renaya mengangguk. “Ada, aku nggak ada agenda.”

“Bagus. Besok aku ke rumahmu,” ujar Dodi ringan.

Alis Renaya terangkat. “Ngapain ke rumahku?”

Dodi mengulum senyum, tatapannya penuh rahasia. “Buat mulai rencana kita. Semakin cepat semakin baik, kan?”

Renaya menghela napas. Ia sudah paham benar, Dodi memang tipe lelaki yang selalu menyimpan sesuatu di kepalanya, tak mudah ditebak. Meski belum tahu rencana apa yang tengah disusun, Renaya mengiyakan saja, bahkan langsung mengirimkan alamat rumahnya.

“Kalau Saras datang ke rumahmu, langsung kabarin aku,” pesan Dodi sebelum Renaya berpamitan.

---

Keesokan harinya, tepat ketika Saras tengah duduk santai mengobrol dengan Ratih di ruang tamu, Renaya buru-buru mengirim pesan ke Dodi. Ia bahkan belum sempat meletakkan ponsel saat suara deru motor terdengar berhenti di halaman rumah.

Suara ketukan pintu menyusul, membuat Ratih dan Saras secara refleks menghentikan obrolan mereka. Keduanya saling bertukar pandang, lalu berjalan menghampiri pintu.

Renaya yang mendengar suara itu segera bangkit dari kasur, berlari kecil ke arah ruang depan.

“Ya ampun, Renaya, kamu bikin Ibu kaget saja,” protes Ratih begitu berpapasan dengannya.

“Siapa yang datang, Bu?” tanya Renaya, padahal jawabannya sudah jelas.

“Temanmu. Namanya Dodi… kamu yakin dia temanmu?” tanya Ratih dengan nada sedikit curiga.

Renaya mengangguk mantap. “Iya, Bu. Teman lama.”

Tanpa menunggu lagi, Renaya segera menyusul ke ruang tamu. Dodi sudah duduk santai di sofa, berhadapan langsung dengan Saras yang tampak penasaran.

“Oh, Mas Dodi temannya Renaya ya?” sapa Saras, senyum ramah terukir di bibirnya.

Dodi membalas senyuman itu dengan santai. “Iya, Mbak. Temannya Renaya.”

“Baru tahu nih, Renaya punya teman lelaki seperti Mas Dodi,” celetuk Saras menggoda.

Dodi tertawa kecil. “Saya juga baru tahu kalau Renaya punya tetangga cantik seperti Mbak Saras.”

“Ah… saya kira Mas Dodi kakaknya Renaya, soalnya mirip,” ujar Sarah dengan nada genit terukur.

Saras terkekeh, pipinya merona halus. “Aduh, Mas bisa saja. Saya ini cuma tetangganya Rena, bukan kakaknya.”

“Serius, Mbak? Wah saya kira saudara kandung, soalnya sama-sama cantik,” ujar Dodi tak kalah lihai.

“Mas pandai sekali merayu, ya,” balas Saras, suara tawanya terdengar ringan.

Tanpa perlu banyak usaha, Dodi tahu, ikan sudah menggigit umpannya. Tak butuh waktu lama untuk memancing perhatian Saras.

“Jadi Mas Dodi ini temannya Rena… atau calon pacarnya, nih?” goda Saras, senyumnya semakin lebar.

“Teman biasa, Mbak. Kami dulu satu sekolah,” jawab Dodi santai. “Kemarin nggak sengaja ketemu di kafe, akhirnya ngobrol lagi.”

“Oh… gitu… jadi sekarang lagi proses naksir nih ya?” tanya Saras sambil mengedipkan mata.

Dodi menggeleng sambil tertawa kecil. “Kebetulan Renaya bukan tipe saya, Mbak.”

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!