Nama besar - Mykaelenko... bukan hanya tentang kekayaan.
Mereka mengendalikan peredaran BERLIAN
— mata uang para raja,
Juga obsesi para penjahat.
Bisnis mereka yang resmi. Legal. Tak bernoda
— membuat mereka jauh lebih berbahaya daripada Mafia Recehan.
Sialnya, aku? Harus Nikah kilat dengan Pewarisnya— Dimitry Sacha Mykaelenko.
Yang Absurdnya tidak tertolong.
•••
Namaku Brea Celestine Simamora.
Putri tunggal Brandon Gerung Simamora, seorang TNI - agak koplak
- yang selalu merasa paling benar.
Kami di paksa menikah, gara-gara beliau yakin kalau aku sudah “di garap” oleh Dimitry,
yang sedang menyamar menjadi BENCONG.
Padahal... sumpah demi kuota, aku bahkan tak rela berbagi bedak dengannya.
Apalagi ternyata,,,
Semua cuma settingan Pak Simamora.
⛔ WARNING! ⛔
"Cerita ini murni fiksi, mengandung adegan ena-ena di beberapa bab.
Akan ada peringatan petir merah di setiap bagian — Anu-anu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lamaran versi apakah ini?
***
Mobil limosin itu melaju mulus di jalan raya.
Terlalu mulus, sampai Pak Mora punya waktu untuk curiga, dan tanya-tanya.
"Memangnya, kau punya ide apa buat nangkap Renggo? Kalau sampai bahaya lagi buat Brea, aku nggak mau, ya."
Nada suaranya datar… tapi matanya jelas-jelas lagi menginterogasi.
"Ide ini… sedikit mind blowing sih, Pak." Dimitry menyandarkan tubuh, santai di sebrangnya.
"Tapi kupikir cukup efektif. Tinggal bapaknya aja yang setuju atau nggak."
Sambil bicara, Dimitry keliatan lagi melepas cincin dari jarinya. Lalu,,, klik,,,,
Dia menutup sekat antara kursi penumpang dan ruang kemudi.
Jangan lupa ini mobil Limosin ya sayang,,,, sudah pasti ada sekat antara supir, dan pemiliknya.
"Bau-bau rahasia ini."
Alis Pak Mora langsung naik.
"Sampai bodyguard-mu aja dilarang ikut ngawal? Kau bikin aku curiga aja."
Dan kecurigaan Pak Mora makin jadi, waktu Dimitry menekan tombol kecil di cincin yang baru dia lepas, lalu mencopot speaker mini yang disamarkan di kancing bajunya.
"Itu… pelacak?" Tanya Pak Mora, takjub.
"Hum,,," Dimitry mengangguk, nadanya santai tapi jelas. "Mereka kadang-kadang merepotkan."
Kata ‘Mereka’ di sini? Udah jelas merujuk ke, para bodyguard yang hobi nyelipin tracker ke barang-barang Dimitry. Termasuk cincin yang selalu dia pakai ini, dan setiap kancing baju miliknya.
"Terus kenapa harus dimatikan?" Tanya Pak Mora heran.
"Kalau mereka dengar pembicaraan kita sekarang, pasti ada yang lapor ke Rusia. Dan kalau sudah gitu… ideku nggak akan relevan lagi. Karena mereka nggak bakal setuju."
Pak Mora makin nggak paham.
Alisnya sudah siap melempar tanda tanya.
Dimitry memutuskan potong langsung ke inti pembicaraan.
"Aku berniat menawarkan pernikahan… untuk anak bapak. Brea."
Nada suaranya datar, tapi tatapan matanya serius.
"Aku bersedia jadi suaminya, supaya dia dapat privilege dan pengawalan seperti keluarga Mykaelenko yang lain."
Bruttttt—
Pak Mora langsung tersedak ludahnya sendiri.
"Heh! Kau kalau ngomong jangan ngawur ya"
Ia hampir menunjuk wajah Dimitry, tapi tangannya cuma mengusap dada sendiri.
"Ini pernikahan yang kau maksud? Yakin kau nggak bakal rugi, hah? Banyak perempuan di luar sana yang lebih cantik daripada Brea."
"Yang lebih kaya, lebih populer, dan mereka ngantri mau nikah sama kau. Kenapa pulak kau mau kawin mendadak sama anakku?"
Bukan berarti Pak Mora lagi meremehkan anaknya sendiri ya. Dia cuma realistis.
Dirinya yang sudah tua ini, cuma TNI pangkat Pelda, malah sebentar lagi mau pensiun.
Sementara Dimitry? Anak raja berlian. Satu biji berlian miliknya… harganya bisa buat beli mobil.
Dan ya… semua orang tau.
Pernikahan beda level itu jarang mulus.
Di film sering jadi drama. Di dunia nyata? Bisa lebih parah.
Dan Pak Mora jelas nggak mau Brea terjebak di situ.
"Memangnya aku kurang kaya ya, Pak? Sampai harus cari perempuan yang setara hartanya?" Dimitry mengangkat alis, santai.
"Dan Kalau urusan cantik sih… relatif, ya. Semua orang punya selera beda-beda."
Pak Mora cuma melirik tajam.
Dimitry tetap lanjut, seolah gak sadar lagi melangkah ke wilayah berbahaya.
"Tapi bukan itu intinya. Tujuanku menikahi anak Bapak cuma supaya dia dapat perlindungan penuh. Dan caranya cuma satu, nama Brea harus masuk daftar keluarga Mykaelenko."
Aduh… mulut Dimitry ini memang ajaib.
Apa semua horang kaya kalau ngomong sesantai ini? Masalah hidup dibikin terdengar kayak promo diskon 50% di grosiran Wardah.
"Hm. Aku makin yakin, keknya kepalamu ada salah urat."
Pak Mora menyandarkan badan, tangannya disilangkan.
"Udahlah, anggap saja kau nggak pernah ngomong gitu ya. Bukannya aku nggak setuju atau nggak suka kau jadi menantu ku, tapi… yang namanya kawin itu banyak pertimbangannya."
Ia menatap Dimitry tajam, lalu menambahkan,
"Lagian aku juga belum tau gimana reaksi Brea kalau dengar artis setajir kau mau nikah sama dia."
Pak Mora menghela napas.
"Asal tau aja, dia punya trauma. Si Renggo itu anak orang kaya di Medan. Pisah sama dia aja udah setengah mati. Dia sampai bilang… Kapok berurusan sama miliarder. Begitu katanya."
Sedangkan di sisi Dimitry?
Dia cuma bisa diam, membeku.
Jujur nggak nyangka, perjuangan mati-matian untuk memberanikan diri melamar, malah disuruh lupakan gitu aja. Eh, masih ditambah cap “kenak penyakit saraf” pulak?
Mau sakit hati juga susah.
Dari dulu dia tau, akal Pak Mora memang begitu. Mulut blak-blakan, nggak ada remnya.
Tapi hatinya? Baik banget. Nggak ada obat.
"Bapak yakin mau nolak tawaran ini? Coba pikirkan dulu, Pak. Jangan buru-buru ambil keputusan. Aku sabar kok, kalau di suruh nunggu," ujarnya, masih belum mau nyerah.
Pak Mora menatapnya lama.
"Eh, sekarang aku yang mau tanya sama kau, ya…"
Badannya condong sedikit ke depan.
"Alasan kau tiba-tiba mau nikah sama anakku itu apa? Cuma mau balas budi karena dulu kau pernah kutolong? Bukannya udah kubilang, kau nggak perlu balas apa pun. Itu memang tugas kami sebagai aparat."
Pertanyaan itu logis. Terlalu logis, sampai Dimitry cuma bisa bengong.
Karena memang… alasan utamanya persis banget seperti kata Pak Mora.
Dimitry memang tipe yang susah melupakan jasa orang lain.
Biarlah hidupnya berantakan, tapi kalau soal hutang budi… itu bisa dia bawa sampai mati.
"Tapi Pak… kalau boleh jujur, bukan cuma itu alasanku mau nikah sama anak Bapak."
Nada Dimitry kali sekarang lebih pelan, tapi sorot matanya mantap.
"Ada banyak pertimbangan yang bikin aku yakin melamar Brea."
Pak Mora langsung nyeletuk cepat,
"Pasti salah satunya gara-gara aku yang jadi bapaknya, iya kan?"
Dimitry tersenyum tipis. "Iya, itu betul."
Lalu dia menambahkan, lebih serius,
"Tapi… apa Bapak nggak sadar? Anak Bapak itu kelewat cantik. Ada banyak nilai plusnya. Bahkan si Renggo aja nggak bisa lepasin dia sampai sekarang."
Ucapannya disertai lirikan ke Brea yang lagi terlelap di pangkuan ayahnya.
Rambut cewek itu awut-awutan, pipinya pucat, tapi entah kenapa… tetap aja cantik.
"Ealah… memang brengsek kau, ya," Pak Mora ngakak.
"Tapi ya sudahlah, biar kupikir-pikir dulu. Yang penting kau udah tau, alasan kenapa aku nggak bisa langsung terima tawaranmu, kan?"
Dimitry mengangguk cepat.
"Aku nggak keberatan nunggu. Tapi kalau bisa, jangan lama-lama, Pak. Takutnya si Renggo makin berulah."
Pak Mora menyipitkan mata, senyum nakalnya mulai muncul.
"Takut Renggo berulah… atau takut anakku diambil orang?"
Dimitry cuma mengangkat bahu, tapi senyumnya jelas membocorkan jawabannya.
Dan begitulah…
Kepulangan Pak Mora dan Brea kali ini malah jadi ajang melamar anak orang.
Bukan sekadar soal balas budi.
Ada hal lain yang gak kalah besar: yaitu,,,, Rada rindu seorang anak pada sosok ayah.
Rasa yang dulu pernah Dimitry rasakan saat berinteraksi dengan Pak Mora di tengah konflik Aceh.
Makanya, begitu kesempatan itu datang lagi… mana mungkin dia cuma diam?
***
"Assalamualaikum, Mayang! Cepat bukain pintu!"
Pak Mora sudah sampai rumah, ngos-ngosan memapah Brea yang teler.
Dimitry? Sudah dia usir pulang.
Bayangin aja… mobil limosin nyelonong masuk komplek perumnas tentara.
Satu RT pasti langsung heboh. Apalagi kalau tahu pemiliknya—Dimitry Sacha Tobingga, artis internasional, bujang pula.
Besok paginya, gosipnya bisa meledak sampai grup WA arisan RW.
"Walaikumsalam… bentar, Yah!" sahut Mayang dari dalam.
Dan begitu pintu dia buka, matanya langsung melotot.
"Astagfirullah, Ayah! Brea kenapa ini?"
Tanpa banyak tanya, Mayang langsung membantu memapah anaknya.
"Udah, bawa masuk dulu. Nanti kita ngomong di dalam," kata Pak Mora, setengah ngos-ngosan.
Begitu Brea sudah rebahan nyaman di kasur, Mayang mulai mencecar.
"Ayah bilang tadi malam Brea nginep di rumah Yasmin? Kok sekarang malah pingsan? Jangan-jangan dia jadi korban praktek hipnotisnya lagi?"
Pak Mora menggeleng cepat, sambil lap keringat, lalu ambil minum.
"Bukan hipnotis. Yasmin udah aku wanti-wanti, jangan pernah lagi pakai Brea buat latihan aneh-aneh."
Mayang nyipitkan mata curiga. "Terus kenapa?"
Pak Mora menarik napas panjang, jelas agak ragu.
"Sebenernya… tadi malam aku bohong sama kau, Mayang. Anak kita itu nggak nginep di rumah Yasmin. Dia… diculik sama Renggo."
Ceplos Pak Mora blak-blakan.
***