GAMAN JULANG DAN SERIBU TIRAKAT
"Gimana, Jul, kalau sudah begini apa rencanamu? Sayang banget udah kelas tiga SMA malah dikeluarin dari sekolah. Disuruh pindah sekolah enggak mau," tanya Mas Ahmad, kakak pertamaku, dengan nada pelan sambil duduk dan menyalakan sebatang rokok.
Kami duduk bersebelahan di ruang tamu. Aku tak bisa menjawab pertanyaannya.
Kuambil sebatang rokok milik Mas Ahmad yang diletakkan bungkusnya di hadapanku.
Saat mau ku nyalakan, "Pret...," baterai korek apinya lepas. "Yaah... rusak deh koreknya."
"Minta apinya, Mas!" Ku ulurkan tangan untuk mengambil rokok yang tengah dihisap Mas Ahmad.
Aku menghela napas, mengembuskan asap, lalu mengangkat tangan memegang dagu. Hatiku bergejolak, gundah gulana.
Rasanya sudah malas untuk sekolah formal. Jadwal manggung main musik yang padat membuatku tak ingin sekolah lagi. Harus bangun pagi setiap hari, pulang sore, sungguh sangat membosankan. Semua itu ku anggap mengganggu waktu latihan band sebagai hobiku.
Aku terdiam sambil berpikir untuk menjawab pertanyaan Mas Ahmad.
Suasana hening sejenak, di antara kami tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun, hanya saling mengembuskan asap rokok.
Hingga kurang lebih lima menit waktu berlalu, perutku terasa mules, ingin ke belakang. Sebenarnya enggak mules-mules amat sih, tapi aku mau memanfaatkan momentum di kamar kecil untuk merenung dan berpikir.
Di tengah buang hajat, "ting..." ada gambar lampu bohlam di otakku. Terlintas dalam pikiranku sebuah solusi yang menurutku ciamik dan sangat cemerlang.
Aku bergegas siram-siram cebok, lalu keluar kamar kecil untuk menemui Mas Ahmad di ruang tamu.
"Aku mau ikut kejar Paket C saja, Mas! Lagian tanggung juga, tinggal satu semester. Lanjutin pindah di Paket C aja!" ku jawab, disertai sedikit senyuman kaku.
Kebetulan di kampungku sudah ada program kejar Paket C yang belum lama berdiri. Sekolahnya dekat rumah, kurang lebih cuma 200 meter.
Dalam hati dan otakku, terbayang untuk ke depannya. Jika aku pindah mengikuti kejar Paket C, maka semua akan lancar. Hobi main musik jadi tidak terlalu terganggu, karena sekolah Paket C cuma seminggu sekali.
Aku sudah tak lagi harus bangun pagi setiap hari, hidupku akan enjoy meniti karier. Namun, tetap punya ijazah setara SMA. Jika suatu saat ingin kuliah juga bisa. Itulah rancangan yang terbesit di pikiranku.
"Ya udah... terserah kamu. Kalau kamu sudah yakin dengan keputusanmu." Mas Ahmad berlalu pergi setelah mendapat jawaban dariku.
Mas Ahmad orangnya kalem. Dia tidak pernah marah, usianya 35 tahun. Jangankan marah, bicara keras saja tidak pernah.
Jika aku melakukan kesalahan, dia selalu menasihati ku dengan santai dan tenang. Dia sudah punya rumah sendiri. Mas Ahmad tinggal bersama istri dan kedua anaknya.
Sepertinya kesalahanku kali ini sudah sangat fatal. Aku dikeluarkan dari sekolah dan bikin malu keluarga. Penyebabnya gara-gara sering bolos.
Ya, begitulah pemain band. Sebagian besar waktuku terpakai untuk latihan band dan manggung. Walaupun hasilnya tak seberapa, namun aku senang menjalaninya.
Aku orangnya tak pandai membagi waktu. Sampai-sampai, harus mengorbankan sekolahku.
Aku punya dua kakak, yang satunya lagi perempuan. Saat ini dia sedang merantau di Jakarta bekerja di perusahaan konveksi.
Namanya Salma, usianya 27 tahun. Dia masih single belum menikah. Jadi, di rumah cuma ada aku dan ibu.
Salma yang membiayai sekolahku, membantu ibuku yang seorang janda umur 55 tahun.
Bapak sudah meninggal sejak aku masih kelas tiga SD.
Meskipun bapak sudah meninggal, namun beliau masih membiayai hidup kami sampai sekarang, dari gaji pensiunannya.
Beliau seorang PNS zaman Orde Baru. Jadi gajinya tidak seberapa. Hanya cukup buat kebutuhan sehari-hari.
Betapa terpukul dan sedihnya Salma mendengar kabar bahwa aku dikeluarkan dari sekolah.
Dia tahu lewat telepon dari tetanggaku yang suka julid.
Padahal Mbak Salma sudah banting tulang, memeras keringat, mencari nafkah dan menaruh harapan besar kepadaku sebagai putra bungsu dalam keluarga, agar menempuh pendidikan sampai sarjana.
Tentunya bukan hanya Mbak Salma, semua keluargaku juga pastinya kecewa.
Gunjingan tetangga merambat dari satu ke yang lain, hingga ada yang melarang anaknya bergaul denganku.
"Mau jadi apa anak itu? Kerjaannya tiap hari bawa gitar ke sana kemari. Sekolah nggak becus, pasti dia nakal tuh. Buktinya, sampai dikeluarin dari sekolah." Kurang lebih begitu kalimat yang sering dibicarakan tetangga tentang diriku.
Aku bukan anak bodoh, bukan anak nakal. Aku juga selalu sopan kepada Bapak-Ibu guru. Nilai mata pelajaran ku sebenarnya bagus.
Hanya saja, aku tak pandai membagi waktu. Aku tak bisa memilih mana yang seharusnya menjadi prioritas.
Kebiasaanku yang suka begadang, membuat susah bangun pagi. Walaupun sedang tak ada acara, aku tetap sering terjaga di malam hari, bermain gitar sampai larut.
Karena bangun kesiangan, makanya aku jadi sering bolos sekolah.
Sedangkan Ibu, beliau terus membujuk agar aku jangan ambil kejar Paket C. Pindah sekolah formal yang lain saja.
Namun, keputusanku kali ini sudah bulat. Aku tetap mau pindah kejar Paket C saja.
Sifatku yang keras kepala, membuat Ibu hanya bisa pasrah dan mendoakan. Beliau hanya menegaskan, semoga aku tak menyesali keputusan yang kupilih saat ini di kemudian hari.
Inilah aku, Gaman julang, remaja 18 tahun yang telah mengecewakan ibu dan kedua kakakku.
Hatiku lumayan keras. Sehingga jarang menyadari sifat buruk yang kumiliki. Aku tidak memikirkan perasaan keluarga.
Berbeda dengan keluargaku...
Aku sendiri tidak merasa sedih. Aku beranggapan, paling-paling juga lambat laun kekecewaan mereka akan berangsur-angsur menghilang ditelan waktu.
Semua sudah telanjur terjadi, ya mau gimana lagi, waktu tak bisa diputar kembali.
Aku berkata pada diriku sendiri, "Tak perlu risau, tenang saja! Sejarah belum selesai ditulis, Bro!"
Aku akan mengikuti kejar Paket C. Toh juga ijazahnya juga sama saja. Yang terpenting, pengetahuan dan otak selalu encer. Soal belajar bisa di mana saja tempatnya, nggak harus di sekolah formal.
Aku tidak pernah menyesali semua yang telah terjadi dalam hidupku. Hidupku adalah milikku. Bukan milik orang lain. Akulah yang sedang menjalani, bukan mereka.
Aku merasa sebagai orang merdeka, yang bebas menentukan keputusan untuk diriku sendiri.
Lihat saja nanti! Kelak akan tiba waktunya. Aku akan kembalikan senyum keluargaku. Pasti! Suatu saat ku buktikan bahwa hidupku akan baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Adifa
wahai anak lelaki klo Ingin kaya, jangan keseringan beli rokok, rokok itu harga nya lumayan klo di hitung hitung sebulan habis berapa kotak. dan perkotak itu brapa ribu🥲
2025-08-21
3
🌹Widianingsih,💐♥️
benar sekali bang Gaman, hidup itu kita yang menentukan orang lain yang menilai kulit luarnya saja.
Selama tidak menggangu orang lain ...why not ....toh kita sedih juga orang lain tak mau tau, kecuali keluarga.
Semangat bang.... lanjutkan hidupmu !👍
2025-09-25
1
Mouzza Abirama
Kayaknya kalau kita tetanggaan, aku juga ngga dibolehin main sama kamu bro xixixi
2025-09-01
2