kehilangan bukan lah kesalahan ku, tetapi alasan kehilangan aku membutuhkan itu, apa alasan mu membunuh ayah ku? kenapa begitu banyak konspirasi dan rahasia di dalam dirimu?, hidup ku hampa karena semua masalah yang datang pada ku, sampai aku memutuskan untuk balas dendam atas kematian ayah ku, tetapi semua rahasia mu terbongkar, tujuan ku hanya satu, yaitu balas dendam, bukan jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
penculikan
Semua orang di rumah terlihat panik. Saat makan malam, Zelena tak kunjung muncul. Ketika diperiksa ke kamarnya pun, ia tidak ada. Kekhawatiran menyelimuti seluruh rumah, termasuk Arman—meski ia hanya berpura-pura cemas.
“Cari Zelena sekarang juga! Saya tidak ingin dia terluka. Temukan dia!” seru Ahmad tegas, ekspresi wajahnya penuh kepanikan.
Kenzo menatap Ahmad, terlihat ragu sebelum akhirnya berkata, “Ayah… sebaiknya berita hilangnya Zelena jangan kita sebar luaskan, juga… jangan laporkan ke polisi.” masalah dari keluarga mereka memang jarang polisi tahu dan ikut campur, karena jika polisi tau, maka akan lebih bahaya
Ahmad menatap putranya tajam. “Ya, ayah setuju. Ini bisa menjadi masalah besar kalau polisi sampai ikut campur. Tapi… kenapa kau terlihat ragu? Lanjutkan ucapanmu.”
Kenzo menarik napas. “Kita juga tidak perlu memberitahu Leon. Menurutku, dia tidak perlu tahu.”
Ahmad mengerutkan dahi. “ ya, kau benar, beritahu dia agar semua nya lebih mudah, dia juga membantu mencari Zelena, "
Kenzo tampak tak senang. “Ayah… rencana kita adalah menjebaknya agar patuh. Kita jadikan Zelena sebagai umpannya. Tapi bagaimana kalau ternyata Leon benar-benar jatuh cinta pada Zelena?”
" Hubungan antara mereka memang terlihat sangat dalam, beberapa hari ini mereka sering bersama, itu membuat ayah menjadi ragu akan perasaan Zelena "
" Ayah, Zelena sudah jatuh cinta pada Leon, aku sebagai saksi nya, beberapa kali pertemuan mereka terlihat intens dan juga ciuman "
Kenzo melihat kejadian malam itu, kejadian di taman, saat Leon baru kembali dari misi nya, dan bertemu Zelena, adegan ciuman itu di saksikan oleh Kenzo,
" Sudah sejauh itu hubungan mereka? ayah sama sekali tidak tahu, karena jarang memperhatikan Zelena " jawab Ahmad, dengan keraguan di hati nya
" ya ayah, aku juga merasa ini sudah terlalu jauh " jawab Kenzo,
Ahmad terdiam sejenak, lalu duduk dengan wajah berat. “Baiklah. Untuk saat ini, kita tidak akan memberitahu Leon.”
" itu keputusan yang baik, Leon tidak seharusnya tahu, dan biarkan saja dia untuk saat ini, " Kenzo terlihat bahagia dengan keputusan ayah nya,
Pagi harinya – Rumah Ahmad.
Leon datang ke rumah seperti biasa. Hari ini, ia berniat mengantar Zelena ke sekolah. Setelah menyelesaikan misinya, ia merasa bisa lebih tenang karena yakin tak ada lagi yang bisa menyentuh gadis itu selain dirinya.
Ia membuka pintu kamar Zelena… kosong. Tempat tidur rapi. Tak ada jejak keberadaannya.
"Kemana dia? Sudah ke sekolah? Atau… dia marah karena aku tak habiskan waktu dengannya kemarin?" pikir Leon cemas. Ia turun ke bawah.
Di ruang makan, Leon melihat Ahmad dan Kenzo sedang berbicara serius. Tapi karena posisinya cukup jauh, ia tak bisa mendengar jelas.
“Maaf, Pak… Zelena ada di mana?” tanya Leon begitu Ahmad menoleh ke arahnya.
Ahmad tersenyum tipis. “Dia sudah berangkat ke sekolah. Bersama Arman. Kau terlambat, Leon.”
Tapi Leon merasa ada yang janggal.
“Lagipula, Zelena sudah dekat ujian nasional. Dia nggak boleh terlambat belajar,” tambah Kenzo cepat.
“Ujian nasional… Setelah itu, apakah aku dan Zelena akan menikah?” tanya Leon, menatap Ahmad dan Kenzo bergantian.
Sesuai rencana, pernikahan memang akan segera dilaksanakan setelah sekolah selesai.
“Ya. Nanti kita akan bicarakan. Saya dan Kenzo sudah menyiapkan segalanya untuk kalian. Termasuk rumah,” jawab Ahmad.
Leon hanya tersenyum tipis. “Tentu saja kalian sudah menyiapkan rumah. Tapi kenapa aku merasa kalian ingin mengatur lebih dari sekadar tempat tinggal…” pikirnya.
“Baik,” jawab Leon singkat, mengikuti permainan mereka.
Sore hari – Gerbang sekolah.
Leon berdiri di tempat biasa ia menunggu Zelena. Tapi hingga gerbang sekolah mulai sepi, sosok itu tak juga muncul.
“Amira!” panggil Leon saat melihat teman Zelena berjalan keluar bersama Tama.
Amira menoleh. “Eh, Kak Leon…”
“Zelena di mana? Kenapa kalian nggak keluar bareng?” tanya Leon sambil melirik ke dalam sekolah.
Amira terlihat bingung. “Zelena nggak masuk sekolah, Kak. Dia izin hari ini. Makanya aku sama Tama mau ke rumah malam ini.”
Leon terdiam. Hatinya mulai gelisah.
“Guru wali kelas kami bilang, kalau bisa, tolong sampaikan ke Zelena. Dia harus ikut ujian susulan minggu depan,” lanjut Amira.
Leon mengerutkan dahi. “Zelena nggak sekolah? Tapi katanya dia pergi bareng Arman?”
“Mas Arman memang datang ke sekolah. Tapi cuma ngasih surat izin dari orang rumah,” jawab Amira.
Leon langsung paham. “Ada yang nggak beres.”
“Terima kasih, Amira,” ucapnya buru-buru lalu berlari menuju mobil.
Di dalam mobil.
Leon segera menghubungi pamannya, Alex. “Paman, Zelena hilang. Tolong lacak dia sekarang. Aku akan ke tempatmu.”
Namun, belum sampai di lokasi, sebuah pesan masuk. Titik pelacakan menunjukkan lokasi: sebuah gudang tua, jauh di tengah hutan.
Tanpa pikir panjang, Leon membelokkan mobil dan tancap gas menuju tempat tersebut.
Gudang terbengkalai – Tengah hutan.
Di dalam gudang gelap dan berdebu itu, sekitar sepuluh pria berjaga. Salah satu dari mereka adalah Arkan, tangan kanan Arman.
“Sudah kau beri makan?” tanya Arkan.
Zelena masih duduk tak sadarkan diri di kursi kayu, tubuhnya terikat, matanya ditutup kain hitam.
“Dia masih belum sadar. Ini sudah seharian,” sahut seorang pria.
“Kalau begitu, siram dia dengan air dingin. Kalau Arman datang dan dia masih begini, kita yang akan kena,” perintah Arkan.
Beberapa menit kemudian, mereka menyiramkan seember air es ke tubuh Zelena.
Zelena menggeliat. Matanya terbuka perlahan, pandangannya buram. Ia menggigil.
Tanpa membiarkannya benar-benar sadar, seorang pria menyumpalkan potongan besar roti tawar ke mulutnya.
“Diam! Telan ini!” bentaknya.
Zelena tersedak. Air matanya mengalir. Mata kembali ditutup kain hitam.
“Dimana aku? Siapa kalian?!” teriaknya, berusaha bicara dengan mulut penuh makanan.
Arkan maju, menatapnya tajam. “Jangan berisik, Nona. Atau kau mau kami bikin pingsan lagi?”
Zelena menahan tangis. “Aku tidak akan lapor polisi. Tolong… pulangkan aku. Aku akan kasih apa pun yang kalian mau…”
Arkan tertawa sinis. “Kami bukan bodoh. Kami tahu apa rencana gadis seperti kamu kalau sampai bebas.”
“Aku janji… aku tidak akan bilang apa pun pada siapa pun…” suara Zelena gemetar.
“BERISIK!!” teriak Arkan, lalu—
PLAKK!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Zelena. Sudut bibirnya berdarah.
Zelena terdiam. Tubuhnya gemetar, wajahnya memerah karena sakit. Tapi tatapan matanya kini bukan hanya ketakutan… tapi juga tekad.
Hai teman-teman, selamat membaca karya aku ya, semoga kalian suka dan enjoy, jangan lupa like kalau kalian suka sama cerita nya, share juga ke teman-teman kalian yang suka membaca novel, dan nantikan setiap bab yang bakal terus update,
salam hangat author, Untuk lebih lanjut lagi, kalian bisa ke Ig viola.13.22.26