Jika sebelumnya kisah tentang orang miskin tiba-tiba berubah menjadi kaya raya hanyalah dongeng semata buat Anna, kali ini tidak. Anna hidup bersama nenek nya di sebuah desa di pinggir kota kecil. Hidupnya yang tenang berubah drastis saat sebuah mobil mewah tiba-tiba muncul di halaman rumahnya. Rahasia masa lalu terbuka, membawa Anna pada dunia kekuasaan, warisan, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasil Pemeriksaan Dokter
Tony yang telah tertidur pulas selama kurang lebih satu jam terbangun dan mendapati Anna sedang berusaha naik ke atas tempat tidur.
Dengan tergesa, Tony menghampiri Anna membantu gadis itu untuk naik dan tidur dengan posisi setengah duduk.
“Kok Lo nekat jalan sendiri ke kamar mandi?” Tony mengambil tisu di atas nakas, lalu mengelap kening Anna yang bercucuran keringat. Wajah gadis itu nampak meringis menahan sakit. Ia merasa bersalah.
"Habis Lo tidur kayak kerbau, Sih!” ucap Anna ketus. “Malah pake ngorok lagi!” Anna manyun.
“Sorry. Sorry. Maaf gue ketiduran!” Tony menunduk.
Anna menepuk bahu Tony. “Ck! Ga pa-pa kok, Ton! Gue bisa ke kamar mandi sendiri. Buktinya gue udah balik dari kamar mandi, kan?”
Tony duduk di kursi penunggu. “Iya sih. Sekali lagi sorry ya!”
“Jangan lebay deh lo!”
Tok.Tok.
Percakapan Anna dan Tony terhenti. Pintu kamar rawat Anna terbuka. Tampak seorang dokter dengan memakai jas putih lengan panjang masuk bersama pria tua yang tentu saja Anna kenal. Di belakangnya perawat mengikuti.
"Selamat pagi menjelang siang Mbak Anna!" sapa sang dokter.
“Pagi, Dok!” jawab Anna”
Tony bangkit dari kursi memberi hormat dengan membungkuk kepada Adi Wijaya sang pemilik Wijaya Group dan dokter itu.
“Ini Pak Adi Wijaya, sungguh sangat peduli kepada karyawan nya. Katanya merasa bertanggung jawab karena Mbak Anna mengalami kecelakaan saat acara kantor,” dokter itu memperkenalkan Adi Wijaya. “Oh ya, Saya dokter Ryan yang menjadi dokter penanggung jawab Mbak Anna!” dokter Ryan mendekat dan menyalami Anna.
“Terimakasih dokter Ryan. Terimakasih Pak Adi!” ucap Anna sambil mengangguk. Anna tidak dapat menggambarkan bagaimana perasaan nya saat ini. Wajah Adi Wijaya tampak kusut dan kantung mata nya tampak makin besar. Mungkinkah pria tua itu kurang tidur? pikir Anna.
“Silakan duduk, Pak” Tony mendekatkan kursi ke arah Adi Wijaya. Ia pun merasa merinding saat Adi Wijaya menatap dirinya tajam.
“Terimakasih!” ucap Adi Wijaya, lalu duduk di kursi tersebut.
Untung saja Tony gak ketemu saat kakek datang ke rumah waktu itu, pikir Anna. Sehingga Tony belum mengetahui status Anna saat ini.
Dokter Ryan menerima tablet yang diserahkan oleh perawat, lalu membuka rekam medis Anna. Ia menjelaskan bahwa ada retak rambut di tulang kering Anna. Agar retak tidak membesar dan lekas pulih, makanya kemarin ia telah memasang Gips di kaki Anna. Kurang lebih untuk satu bulan ke depan.
Anna mendengarkan penjelasan dokter dan diperlihatkan foto rotgen kakinya seperti yang diperlihatkan William tadi malam.
“Jadi kapan saya boleh pulang, dok?” tanya Anna kepada dokter Ryan.
Dokter Ryan melihat ke arah Adi Wijaya, lalu lelaki tua itu tampak mengangguk.
“Pak Adi Wijaya telah menyampaikan kepada kami bahwa Mbak Anna akan di bawa pulang hari ini,” jawab dokter Ryan kemudian. “Namun ada alat yang tetap masih terpasang di bekas infus ini untuk menyuntikkan obat penghilang sakit hingga hari ketiga.”
“Mbak Anna boleh pilih, apakah perlu perawat untuk di rumah atau nanti perawat akan datang untuk menyuntikkan obat saja?” lanjut dokter Ryan.
Anna membayangkan apartemen nya yang kecil harus menampung seorang perawat jaga, lalu menggeleng. “Ga bisa minum obat saja dok?” tanya Anna kemudian. Pasti ada kan obat penghilang sakit.
Dokter Ryan terdiam sebentar, sepertinya sedang mempertimbangkan sesuatu. “Saya lihat, mbak Anna ambang nyerinya lumayan rendah,” ucapnya kemudian. “Kemarin saat baru datang dan menjalani pemeriksaan, Mbak Anna hilang kesadaran karena sangat kesakitan sehingga kami perlu memberikan obat penenang.”
Anna mengangguk. Sampai sekarang pun, meski obat penghilang sakit ada dalam cairan infusnya, rasa nyeri itu tetap Anna rasakan saat ia bergerak sedikit saja.
“Jadi menurut saya, hingga tiga hari ini memang perlu obat injeksi. Baru kemudian dilanjutkan dengan obat tablet.”
“Kamu jangan khawatir. Jika memang perlu perawat, kita bisa menempatkan perawat di kamar hotel mu nanti!” Adi Wijaya yang sedari tadi menyimak, akhirnya turut bicara.
“Kamar hotel?” Anna dan Tony berseru serempak.
Adi Wijaya melayangkan pandangan menusuk ke arah Tony. Meskipun Adi Wijaya merasa berhutang budi kepada keluarga Tony. Ia merasa tidak suka melihat kedekatan lelaki itu dengan cucunya. Dan pemuda itu tidak seharusnya menyela ucapan seorang Komisaris seperti Adi Wijaya.
Tony menunduk. Ada rasa sakit seperti dicubit di hatinya. Ia hanya refleks bersuara saat mendengar kamar hotel untuk Anna.
“Ya.” Adi Wijaya mengangguk. “Penthouse di WG Diamond Hotel yang sudah disiapkan untuk pemenang undian kemarin!” jelas Adi Wijaya.
Mulut Anna dan Tony sama-sama membentuk huruf ‘O’.
“Jadwal pemakaian kamar itu sudah ditetapkan hingga satu bulan ke depan. Itu adalah kamar khusus yang jarang sekali kosong. Jadi harus digunakan sesuai jadwal” jelas Adi Wijaya memperjelas maksudnya agar dua dewasa tanggung itu mengerti.
“Waduh! Selamat ya Mbak Anna. Meskipun kena musibah, tapi masih ada untungnya juga!” sambut dokter Ryan mencoba mencairkan suasana.
Anna menahan ekspresi nya. Yah… Dok. Musibah ini juga gara-gara menang undian itu lho Dok! Gara-gara ada yang iri! ucap Anna dalam hati. “Ah. Iya. Terimakasih, Dok!” Anna hanya bisa berterima kasih.
“Jadi gimana, nih? soal perawat tadi.”
Anna menatap Adi Wijaya sebentar lalu menjawab. “Ya.. ga papa juga ngedatangin perawatnya, Dok! Gak perlu ada yang stay. Soalnya saya juga bakalan ada ibu Tony nanti yang jagain.”
“Wah. Mbak Anna beruntung ya! Ditemani kekasih bahkan mau ditemani oleh calon mertua!” ucap dokter Ryan yang kemarin sempat menanyakan keluarga Anna dan mendapat penjelasan dari William bahwa Anna yatim piatu, sehingga William sebagai atasan yang jadi penanggung jawabnya kemarin.
“Enggak, Dok. Enggak! Tony bukan kekasih saya!” bantah Anna karena melihat ekspresi Adi Wijaya makin muram. “Tony ini dan keluarganya sudah seperti keluarga sendiri karena kami tetanggaan di kampung!” jelas Anna lagi.
“Oh. Maaf kalau begitu. Baiklah. Saya bikin catatan di sini, boleh pulang dengan kontrol dua kali sehari dari perawat, ya!” dokter Ryan tampak mengetik sesuatu di tablet yang ia pegang. “Kalau begitu Mbak Anna, semoga lekas sembuh. Saya permisi dulu mau melihat pasien lainnya!”
“Terimakasih, Dok!” jawab Anna menerima uluran tangan-salam- dokter Ryan dan perawat yang mendampingi.
“Saya permisi dulu Pak Adi!” Dokter Ryan pamit ke arah Adi Wijaya. Menyalami laki-laki pemilik Wijaya Group itu.
Adi Wijaya mengangguk. “Saya di sini dulu, Dok!” terang Adi Wijaya.
Dokter Ryan mengangguk paham. Ruang rawat itu menjadi makin suram saat pintu ruangan ditutup oleh perawat di belakang dokter Ryan.
Hening.
Anna dan Tony saling lirik menunggu Adi Wijaya mengatakan sesuatu.
“Jadi kamu ingin ibu anak ini yang menjagamu di hotel?” tanya Adi Wijaya dengan ekspresi datar. Suara laki-laki tua itu terdengar sedikit bergetar.
Anna dan Tony saling pandang.
“Siapa yang mau dibawa ke hotel?” William muncul dari balik pintu.
***