NovelToon NovelToon
AKU PUN BERHAK BAHAGIA

AKU PUN BERHAK BAHAGIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: sicuit

Jaka, adalah seorang yang biasa saja, tapi menjalani hidup yang tak biasa.
Banyak hal yang harus dia lalui.
Masalah yang datang silih berganti, terkadang membuatnya putus asa.
Apalagi ketika Jaka memergoki istrinya selingkuh, pertengkaran tak terelakkan, dan semua itu mengantarnya pada sebuah kecelakaan yang semakin mengacaukan hidupnya,
mampukah Jaka bertahan?
mampukah Jaka menjemput " bahagia " dan memilikinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sicuit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Semua Sudah Selesai ...

Ibu menatap Yunis dengan penuh tanda tanya,

"Masih kerja, sebentar lagi pulang. Emangnya ada apa?"

"Iya nanti saja sekalian tunggu Jaka," kata Yunis tenang.

"Kemana saja, selama dua hari ini kamu tidak pulang?"tanya Ibu.

"Iya kemana saja, suka - suka aku to, Bu. Ndak ada hubungannya dengan Ibu," jawabnya sambil memalingkan muka dari pandangan Ibu.

"Yunis! Bagaimana tidak ada hubungannya dengan Ibu, statusmu masih istri Jaka, dan Jaka anak Ibu, emang kamu anggap apa aku selama ini!" tegur Ibu.

" Mau aku anggap apa, itu terserah aku, meski statusku masih istri Jaka, tapi kalau Jaka ndak pernah menafkahi aku, apa aku salah kalau aku berusaha untuk memenuhi kebutuhanku sendiri!" emosi Yunis meledak.

Ibu diam, tangannya terkepal kuat, giginya bergemeretak. Tak tahu harus bagaimana.

Yunis menghentakkan kaki dan kembali ke kamarnya.

Ibu  dengan emosi yang tertahan, tetap duduk di teras menunggu kedatangan Jaka.

Hari hampir gelap, ketika Jaka dengan kruknya, tertatih pulang dari bekerja.

Belum juga membersihkan diri atau meneguk secangkir teh hangat, Yunis sudah keluar dari kamar sambil membawa selembar kertas.

Jaka terpukau melihat penampilan Yunis, yang dirindukannya. Dipandangi wajah cantik itu beberapa saat.

Yunis tak acuh, dia berjalan ke meja, meletakkan lembaran itu beserta dengan bolpoinnya juga.

"Tanda tangan di sini Mas," katanya singkat.

Jaka mendekat ke meja, dibacanya sekilas lembaran itu.

"Kemana saja kamu ndak pulang dua hari ini?"tanya Jaka, mengacuhkan kertas itu.

"Kemana saja, yang Mas ndak bisa bawa aku kesana," jawabnya enteng tanpa beban.

Jaka diam, mengatur nafas.

Meletakkan kruknya dekat kursi, Jaka duduk di sana.

"Terus untuk pinjaman - pinjaman di koperasi dan di Bu Mimin itu untuk apa, kenapa kamu ndak bilang sama aku," tanya Jaka berusaha menyabarkan diri.

" Emang perlu bilang ya? Lha kamu dewe sek edan, ga sadar, ndak tau butuhe orang, apa ya bisa diajak bicara waktu itu," desisnya sinis.

"Terus untuk biaya rumah sakit kemaren, apa ndak kamu hitung juga ta, abis berapa aku biayai kamu selama ini? Jadi wajar to kalo kamu yang harus bayar!"

"Omong kosong, jangan bawa - bawa biaya rumah sakit, bapak yang membuat Jaka celaka sudah bayarkan semua, juga uang yang kau rampas, itu juga dari dia!" kata Ibu dengan nada tinggi.

"Emang Ibu percaya begitu saja!"

"Iya, karena semua sudah dibayarkan!"

"CUKUP ... CUKUP!" teriak Jaka.

Ibu dan Yunis diam.

" Sekarang apa maumu!" bentaknya pada Yunis.

"Tanda tangan di situ, dan kita selesai, aku capek dengan hidup seperti ini, aku mau lebih!" teriak Yunis sambil menunjuk pada selembar kertas itu.

Jaka diam. Berpikir, apa yang harus dilakukan. Mencegah, atau melepas.

"Tak tahukah kamu kalo aku begitu mencintaimu, sehingga begini keputusan yang kau ambil?" tanya Jaka dengan nada putus asa

"Aku tau, tapi aku juga lebih tau kebutuhanku, yang ndak bisa Mas penuhi," jawab Yunis.

"Sudah kau pikir matang semua keputusan ini? Aku sudah kerja, sudah bisa memberimu uang lagi," kata Jaka, berusaha untuk berunding.

"Sudah, Mas. Keputusanku sudah bulat, berapa pun yang Mas beri, kerja berapa jam pun, Mas tak akan bisa mencukupi kebutuhanku, tanda tangan saja, Mas hidup dengan cara Mas, dan aku dengan caraku," jawabnya.

Nafas Jaka memburu tak beraturan, kepalanya berdenyut.

Sedetik kemudian, Jaka menandatangani kertas itu.

Yunis terlihat lega. Dia mengulurkan tangan mengajak Jaka berjabatan.

Jaka menyambut tangan itu dengan tangan gemetar.

"Terima kasih Mas, sudah pernah mencintai Unis," katanya.

Jaka berdiri seketika.

Dia mendekat memeluk Jaka erat mencium pipinya. Jaka hanya bisa diam, menahan tubuhnya yang bergetar, agar tidak jatuh.

Yunis melepaskan pelukannya, berjalan kembali ke kamar, sambil membawa lembaran tadi.

Mengambil beberapa barang yang dibawanya tadi.

Memberikan sebuah untuk Ibu, sebuah untuk Jaka.

"Ini tanda terima kasih Yunis pada Ibu dan Mas, semua sudah selesai, Yunis pamit," kata Yunis kemudian.

Dia berjalan keluar rumah hanya membawa tas tangan, meninggalkan semua tanpa beban, tanpa menoleh kebelakang.

Bbrrrmmm ... bbrrrmmm ...

Terdengar suara mobil menjauh, meninggalkan rumah.

Yunis benar - benar sudah pergi.

Jaka terpaku di tempatnya. Merasakan kepalanya pening, dia mencari kursi dan duduk sebelum jatuh.

Ibu yang merasa tak tahu harus berbuat apa, melangkah masuk dalam kamar.

"Ya Allah, seandainya aku punya rumah besar, punya perusahaan, punya banyak uang, ndak mungkin anakku dibuang begitu saja," isaknya dalam doa.

Ibu meraih bantal yang ada di tempat tidur. Dibekap mulutnya, dan melepaskan semuanya di sana.

"Uuuhuuu ... uuuu ...."

Jaka merasa ada bongkahan yang hendak keluar dari dalam tubuhnya, tapi dia tak bisa mengeluarkan, akibatnya bongkahan itu menghantam keras dada dan kepalanya. 

Nafasnya semakin tak beraturan. Kepala di rasa sakit sekali. Tapi Jaka mencoba bertahan, membuat  perutnya mual sekali.

Hhoooeek ... hooeeekk ...

Muntah beberapa kali membuatnya merasa lebih ringan.

Dengan terhuyung, Jaka melangkah menuju kamar dengan kruknya yang kotor.

Jaka merebahkan diri di atas ranjang. Berbalik menghadap tempat Yunis, mengambil selimut yang biasa dipakai olehnya, dan menghirupnya dalam - dalam. Bau wangi Yunis merasuk dalam relung jiwa yang paling dalam.

"Huuaaaa... aaaaagghhh....!"

"Aaagghhh ... aaaahh ... huaa ....!"

Jaka sadar, bahwa dia telah benar - benar kehilangan Yunis.

Ibu yang mendengar suara Jaka, semakin membekap mulutnya, menjaga agar Jaka tak bisa mendengar suaranya.

Malam itu seakan semuanya berhenti.

Matahari, malu - malu menampakkan diri. Sinarnya perlahan memghangatkan bumi. Membangunkan semua insan, menyadarkan untuk melakukan aktifitasnya kembali.

Ibu, sudah dari subuh bangun dan melakukan rutinitasnya tanpa terganggu. Hingga hampir selesai semua kerjaan, Jaka belum bangun juga.

Berjalan ke kamar Jaka, disingkapnya sedikit kelambu itu. Jaka sudah duduk di tepi tempat tidur. Wajahnya sangat kusam. Rambutnya acak - acakan.

"Jaka, hari sudah siang, cepat sebelum terlambat,"kata Ibu.

"Iya, Bu," jawabnya pendek.

Jaka berjalan keluar, terus sampai ke pintu. Kruknya masih kotor. Ada bau busuk sisa muntah semalam. Tapi Jaka tak peduli.

Jaka memegang handle pintu, akan membukanya. Tapi tak jadi, dipegangnya lagi, dan tak jadi lagi. Begitu terus hingga beberapa saat.

Ibu yang sudah sampai di belakang, mendengar suara handle yang berkali - kali, jadi kembali ke depan. Dilihatnya Jaka berdiri di sana.

Ibu menghampiri,

" Mau kemana, Le?"

Jaka menengok ke arah Ibu. Seakan tersadar, dia berjalan ke belakang. Dan masuk kamar mandi.

Ibu sudah kembali ke dapur, menyiapkan sarapan.

Jaka pun sudah selesai mandi. Dia duduk depan meja dan mengambil cangkir tehnya.

Cangkir diangkat dekat mulutnya siap diseruput. Tapi tak jadi, diletakkan lagi, diangkat, diletakkan lagi, hingga beberapa kali. Tanpa sadar bahwa Ibu melihatnya.

Ibu mendekat dan menyentuh Jaka. Jaka melihat pada Ibu, dan meminum tehnya.

Air sudah memenuhi kelopak mata Ibu, dia membelai punggung Jaka dengan lembut.

"Owalah Le, sing sabar yo, sing kuat ya, Nak. Di depan, jalanmu masih panjang, jangan berhenti pada putus asa di sini," kata Ibu di sela isaknya.

Jaka berdiri, dia kembali ke kamar. Hari ini dia lupa untuk bekerja. Pikirannya masih terpaku pada kepergian Yunis.

Ibu membereskan meja, dan meletakkan di tempat cuci piring. Diambilnya sabun, dan duduk, mulai mencuci semua yang kotor.

Jaka di kamar, duduk di tepi tempat tidur. Diambilnya lagi selimut Yunis, dihirupnya lagi, lagi, dan lagi.

Air mata sudah membasahi selimuy itu sejak tadi. Jaka memukul dadanya berkali - kali. Mencoba membuang rasa sakit.

Sesekali tergagap, seakan kehabisan oksigen, sesekali menggeleng, sesekali diam dengan pandangan kosong.

BRAAAKK!!

Ibu tengah merapikan peralatan yang baru selesai dicuci , terkejut mendengar suara benda jatuh. Dia segera ke depan, mencari arah suara itu.

Disingkapnya kelambu Jaka, dan mata Ibu terbelalak ...

1
nightdream19
Bagus Thor. kisahnya buat aku juga jadi kebayang sama kejadian tadi. lanjut Thor.. /Smile/
nightdream19: ok. siap lanjutkan baca
sicuit: terima kasih kakak .. ikuti kelanjutan kisahnya ya.. 😊
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!