Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 35
"Istriku telah meninggal tiga tahun lalu. Kami memiliki seorang putra yang kini bersekolah di dekat kediaman neneknya," ujar Mr. Donal sambil tersenyum ramah. Wajahnya tenang, seakan kenangan itu sudah menjadi bagian dari dirinya, meski ada sedikit sorot mata yang sulit diartikan.
Livia mencoba menenangkan diri, meski pertanyaan tadi membuat suasana tak nyaman. "A-aku minta maaf soal itu, Mr. Donal. Aku benar-benar tidak tahu bahwa istri Anda sudah tiada. Aku turut berdukacita."
Donal hanya tertawa kecil, seperti sudah terbiasa menghadapi ucapan simpati. "Santai saja, Nona. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jika ada orang bertanya, aku akan menjawabnya apa adanya. Tidak ada gunanya menyembunyikan sesuatu," katanya sembari menggigit apel yang baru saja dipetiknya.
Dalam hati, pikiran Livia berlari tak karuan. "Wow ... duda anak satu ini. Usianya baru 39 tahun dan dia masih terlihat muda. Apakah ada peluang untukku? Hehehe," batinnya dengan rasa geli yang tak bisa dihindari.
Livia mengangguk pelan, mencoba mengalihkan perhatian dengan memandang apel-apel segar di sekitar mereka. Buah yang menggantung indah, memancarkan warna kemerahan yang memikat.
"Apelnya manis sekali, bahkan sangat segar. Rumah kaca itu..." tanya Livia, mencoba menghapus kegugupan dari dalam dirinya.
"Mau tahu lebih banyak? Ayo, ikuti aku," kata Donal sambil melangkah menuju rumah kaca.
Livia pun hanya bisa mengikuti di belakangnya, tanpa tahu apakah ini hanya sebuah perjalanan untuk melihat apel, atau mungkin lebih dari itu.
Sesat sampai di sana, mata Livia berbinar begitu melihat deretan tanaman strawberry berbuah merah menggoda. Ia bahkan tak bisa menahan rasa penasaran, langsung memetik salah satu buahnya yang terlihat sangat segar. Saat menggigitnya, rasa manis bercampur sedikit asam memenuhi mulutnya.
Livia tertegun sejenak. "Wow, ini seperti cita rasa kesegaran yang belum pernah aku rasakan sebelumnya," pikirnya. Ia merasa begitu terpesona, bahkan lupa sejenak tentang kekakuan yang sering menyelimuti dirinya.
Donal berdiri di samping Livia, tersenyum. "Nanti aku meminta seseorang memetikkan buah untukmu," katanya dengan nada ramah.
Livia mengangguk pelan, mencoba mengendalikan antusiasme yang mungkin terlihat berlebihan di hadapannya.
Donal kemudian menawarkan, "Mau ke pabrik pembuatan selai apel?"
Livia kembali mengangguk patuh, mengikuti langkahnya memasuki pabrik besar yang dipenuhi suara bising mesin dan para pekerja yang terlihat sibuk. Selama berada di sana, ia memperhatikan setiap sudut pabrik dengan rasa kagum.
Donal menjelaskan satu per satu proses pembuatan selai yang Livia rasa cukup menarik. Livia mulai merasa lebih santai bersama Donal, perlahan mulai menyukai suasana tempat ini.
Bahkan, selai keluaran terbaru milik Donal yang Livia cicipi membuatnya benar-benar tersenyum. Ada kehangatan yang menyelimuti diri saat itu. "Mr. Donal," kata akhirnya, dengan senyum tak mampu disembunyikan, "aku benar-benar suka hari ini. Aku belajar banyak hal yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Terima kasih banyak untuk semuanya, bahkan untuk hadiah-hadiah yang Anda berikan. Ini sungguh hari yang luar biasa," kekehnya lembut.
Sesaat, Livia menyadari bahwa hari ini bukan hanya tentang belajar sesuatu yang baru, tetapi juga tentang membuka dirinya untuk rasa senang yang jarang dibiarkan tumbuh.
Donal mengangguk pelan sambil tersenyum kecil. "Kapan-kapan berkunjunglah ke tempatku ini, soalnya aku tidak punya waktu untuk pergi jauh. Senang bertemu denganmu, Nona," ucapnya dengan nada santai namun tegas.
Livia membalas uluran tangannya dan merasakan genggaman tangannya yang hangat. Ada rasa hormat dalam caranya berjabat tangan, seperti ingin memastikan percakapan singkat ini berakhir dengan kesan yang baik.
Livia melangkah menuju mobilnya, namun ada sesuatu yang menggelitik di benak. Rasa penasaran menyeruak begitu saja, membuat langkah terhenti sebelum sempat membuka pintu mobil. Ia menoleh ke arah Donal, yang kini masih berdiri di dekat mobilnya.
"Boleh tahu, siapa nama asli Anda?" tanya Livia dengan hati-hati, mencoba mencari tahu lebih jauh.
Donal terdiam sesaat, seperti sedang menimbang-nimbang apakah aman memberitahukan identitasnya kepada Livia. Namun akhirnya ia bicara. "Nama asliku Daniel Rwe. Tapi di dunia bisnis, orang-orang memanggilku Mr. Donal," ujarnya sambil tersenyum tipis. "Hanya sedikit orang yang tahu siapa aku sebenarnya. Tolong jaga rahasia ini, oke?" imbuhnya dengan nada yang sedikit lebih serius.
Livia mengangguk pelan, menerima jawabannya. Saat akhirnya ia meninggalkan tempat itu, ada perasaan senang yang menghinggapi—bukan hanya karena bertemu dengan orang baru, tapi juga karena merasa diberi kepercayaan atas sebuah rahasia kecil. Namun, pikirannya teralihkan ketika perjalanan mulai jauh.
Saat Livia berhenti di lampu merah, pandangannya langsung tertuju pada sesuatu yang tak diduga: Rekha bersama seorang pria yang dikenal sebagai saudaranya. Mobil hitam mereka melintas pelan di hadapannya, memicu rasa penasaran yang tiba-tiba muncul.
"Aku harus mengikuti mereka," gumam Livia sambil memperhatikan gerakan mobil itu. Ia segera memutar setir, memastikan mobilnya tetap berada di kejauhan, cukup untuk mengawasi tapi tak mencolok. Beruntung mobilnya jarang dikenal orang, memudahkan untuk tetap tak terdeteksi. Ia tidak tahu apa yang akan ditemukan, tetapi dorongan ini terlalu kuat untuk diabaikan.
Rekha dan seorang pria memasuki hotel. Di sambut hangat oleh seorang pria berbadan kurus.
"Perkenalkan namanya Agus, kakak ipar. Dia bisa kita andalkan nanti," kata pria itu.
"Kamu yakin dia, Willy? Apa bisa menjaga rahasia kita ini?" tanya Rekha, menatap wajah adik iparnya itu.
"Iya, besok pergi menyamar mencari lowongan pekerjaan di lahan anggur langsung. Dia diam-diam menaruh obat ini, di mana semua tanaman anggur Dara habis dan gagal panen. Aku sudah membayar mahal obat ini," kata Willy tersenyum tipis.
"Bagus, aku mau melihat di mana Livia di marahi ibunya habis-habisan karena tidak becus menjaga usaha ini. Oke, kamu harus berhasil melakukannya. Kalau tidak .... awas kamu! Ingat jangan ketahuan oleh siapapun, mengerti?" Rekha menatap tajam ke arah Agus.
"Paham, Bu. Saya pasti melaksankan tugas ini, asalkan bayaran sesuai yang kita sepakati. Dijamin berjalan dengan lancar," jawab Agus.
"Kurang ajar! Diam-diam Tante Rekha berulah seperti ini, aku harus melakukan sesuatu. Beruntung sekali, aku merekam pembicaraan ini dan sebagai bukti kuat. Sampai kapanpun tidak akan bisa menyakitiku," kata Livia segera meninggalkan tempat persembunyiannya itu.
Livia memijit pelipisnya sepanjang perjalanan pulang, untuk sekarang belum ada rencana membuat Zyan dan Zira merasakan penderitaannya.
Menempuh perjalanan beberapa menit, akhirnya sampai di tempat tinggalnya. Tapi ada Zyan yang tengah menunggu, membuat moodnya hancur berantakan.
Zyan segera mendekati Livia, berniat mau membantu membawa buah-buahan yang diberikan tadi. "Wow .... buahnya sangat banyak sekali, habis dari mana kamu?"
Livia tersenyum kecil. "Aku habis dari kunjungan di kediaman rekan bisnisku, kebetulan ada tanaman pohon apel. Rekan bisnisku memberikan oleh-oleh ini, apa kamu mau?"