NovelToon NovelToon
Dinikahi Nenek 60 Tahun

Dinikahi Nenek 60 Tahun

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Sablah

Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***

Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

terpaksa pindah

Pagi menjelang dengan tenang di rumah keluarga Danu. Matahari menyelinap perlahan di balik tirai jendela, mengirimkan cahaya hangat ke dalam ruang makan. Aroma nasi goreng dan teh manis memenuhi udara. Meja makan sudah tertata rapi, dengan empat piring dan empat cangkir teh. Tapi hanya dua orang yang duduk di sana, Danu dan Galang.

Mama Danu tampak mondar-mandir di dapur, sesekali melongok ke arah tangga. Ia mengenakan daster biru muda, rambutnya diikat sederhana. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap lembut. Papa Danu yang baru saja turun dari kamarnya, segera bergabung dan duduk diantara mereka.

Danu memandang ke arah tangga. "Nadia nggak turun, Paa?"

Papa Danu menggeleng pelan, sedangkan sang Mama langsung menyahut. "Enggak, Nak. Semalam adikmu sempat demam tinggi. Mungkin kecapekan juga... campur stress. Nanti setelah kamu dan Galang berangkat, Mama sama Papa mau bawa dia ke dokter."

Galang yang duduk di sebelah Danu ikut menoleh, tampak khawatir. "Demam tinggi, tante?"

"Iya. sekitar jam dua malam, Tante cek ke kamar nya. Tubuh Nadia sudah menggigil dan panas sekali. Untung ada kompres dan paracetamol di kotak obat. Tapi tetap saja... wajahnya pucat. Lemas banget."

Danu menggenggam sendoknya lebih erat. Perasaan bersalah menyelip masuk. "Maaf ya, Ma. Harusnya aku nggak melibatkan Nadia di urusan Danu"

"Bukan salahmu juga, Nu," jawab Mamanya cepat. "Tapi Mama dan Papa jadi makin yakin... kita harus hati-hati."

Suasana sempat hening sejenak. Hanya terdengar denting sendok dan hembusan angin dari jendela.

Lalu, Papa Danu meletakkan sendoknya dan memandang langsung ke arah putranya.

"Nu, Papa dan Mama udah pikirkan ini semalam. Dan Papa juga sudah sempat bicara dengan Galang tadi malam."

Danu menoleh heran ke arah Galang, yang hanya mengangguk perlahan.

"Apa, Pa?" tanya Danu.

"Papa ingin kamu dan Galang tinggal satu kos. Entah kamu pindah ke tempat dia, atau dia yang tinggal di tempatmu."

Danu terdiam. Wajahnya tampak ragu. "Kenapa harus begitu, Pa?"

Papa Danu mencondongkan tubuhnya ke depan, berbicara lebih pelan namun penuh tekanan. "Papa tahu kamu nggak suka terlalu dikekang, apalagi merasa diawasi. Tapi ini bukan soal kepercayaan. Ini soal keamanan, Nu. Kamu sudah masuk terlalu dalam ke sesuatu yang Papa bahkan nggak sepenuhnya bisa jelaskan. Soal Nyai Laras... soal semua kejadian di hutan itu."

Galang menimpali, pelan, mencoba memperkuat argumen sang ayah. "Nu, lo tahu gue juga nggak suka ikut campur terlalu jauh. Tapi jujur, sejak semua ini terjadi, gue juga ngerasa nggak tenang. Apalagi kalau kita nanti udah balik ke kota B. Siapa yang tahu kalau lo tiba-tiba diganggu lagi? Atau malah... hilang."

Danu menggeleng pelan. "Tapi gue nggak mau lo kayak... penjaga pribadi, Lang. Gue cuma nggak mau lo ikut terseret."

"Gue nggak merasa diseret, Nu. Gue sahabat lo. Dan gue yang pertama bilang akan ikut sampai tuntas."

Papa Danu kembali bicara, nada suaranya sedikit lebih tegas. "Kamu boleh bilang kamu kuat, Nu. Tapi orang kuat pun butuh teman. Papa minta kamu pikirkan ini baik-baik. Bukan karena kamu lemah, tapi karena kami sayang."

Danu menunduk. Kalung melati yang semalam sempat ia pegang kini terasa seperti beban di dalam saku jaketnya. Segala suara dan wajah Isabella atau Nyai Laras masih terus menari di pikirannya.

"Baiklah," akhirnya ia berucap lirih. "Nanti setelah sampai disana, aku akan bicara dengan ibu kosku. Kalau bisa, aku akan pindah ke kos Galang."

Galang tersenyum kecil. Papa Danu mengangguk puas, sementara Mama Danu mengelus pelan punggung Danu dari samping.

"Terima kasih ya, Nak. Kami hanya ingin kamu selamat. Nanti kalau sudah benar-benar tenang, kamu bebas mau tinggal di mana saja. Tapi sekarang... Mama dan Papa nggak bisa tidur nyenyak kalau kamu sendirian di sana."

"Danu ngerti, Ma... Pa."

Sarapan pun berlanjut dalam diam yang lebih tenang. Setelah beberapa menit, Galang menoleh ke arah jam dinding.

"Nu, kita siap-siap ya. Setelah ini kita berangkat, biar nggak terlalu sore sampai di kota."

Danu mengangguk, berdiri dari kursinya dan membawa piring ke dapur. Mama Danu mengikuti dari belakang, mengambil kotak makan yang sudah ia siapkan sejak tadi pagi.

"Buat di jalan. Jaga-jaga kalau kalian lapar," ucapnya lembut.

"Terima kasih, Ma. Jaga Nadia ya. Kasih tahu aku hasil cek dokternya nanti."

"Pasti, Nak. Kamu juga hati-hati di jalan."

Mereka bertukar pelukan sebentar sebelum Danu dan Galang berjalan menuju mobil. Papa Danu menyusul sampai ke depan pagar, memantau hingga mobil mereka keluar dari halaman rumah.

Dan ketika Mobil benar-benar keluar dari kompleks rumah Danu. Udara pagi masih sejuk, jalanan belum terlalu ramai. Di dalam mobil, suasana sempat hening. Danu duduk di kursi penumpang depan, memandangi kaca jendela dengan pikiran yang entah melayang ke mana. Galang di balik kemudi hanya sesekali melirik sahabatnya, membiarkan waktu bicara lebih dulu.

Beberapa menit kemudian, Galang memecah keheningan.

"Lo beneran oke, Nu?"

Danu mendengus kecil, tanpa menoleh. "Gue harus oke, kan?"

"Kita nggak harus pura-pura kuat kalau emang lagi kalut, Nu," ujar Galang, suaranya pelan tapi mantap.

Danu akhirnya menoleh, tersenyum samar. "Lo tahu rasanya kayak apa? Lo jalan, tapi ngerasa ada sesuatu yang ngikutin. Lo tidur, tapi bayangan seseorang terus ada di kepala lo. Gue capek, Lang. Tapi gue juga nggak bisa berhenti. Selalu ada yang narik gue balik ke semuanya."

Galang mengangguk pelan. "Gue ngerti. Dan justru karena itu gue nggak bakal ninggalin lo. Selama masih ada cara untuk bantu, gue akan tetap di sini."

Danu menatap Galang lama, lalu kembali memalingkan wajahnya. "Thanks, Lang."

"Udah janji, kan. Kita tuntasin ini bareng."

Mobil terus melaju menuju kota B. Meski jauh dari kata selesai, setidaknya hari itu mereka punya satu keputusan yang akan sedikit mengurangi kekhawatiran: mereka tidak lagi sendiri.

Sementara itu, di rumah Danu, Mama dan Papa-nya sibuk membantu Nadia yang masih lemas untuk pergi ke dokter. Meski demamnya mulai menurun, wajah Nadia masih terlihat pucat. Pandangannya kosong, bibirnya kering, dan tubuhnya enggan bergerak terlalu banyak.

"Nadia, ayo sayang... Kita ke dokter ya. Biar Mama tenang," bujuk sang ibu lembut, mengusap rambut putrinya yang tergerai.

Nadia hanya mengangguk kecil. Suaranya nyaris tak terdengar saat berkata, "Ma, nanti cerita Kak Danu jangan dihapus ya… Aku nggak mau dilupain."

Perkataan itu membuat sang ibu tercekat. Ia menatap wajah anak gadisnya yang masih sangat muda, tapi sudah harus memikul ketakutan yang tak bisa dimengerti banyak orang.

"Mama janji nggak akan melupakannya, sayang. Tapi Mama juga janji, kamu nggak sendirian. Ada Mama, Papa, dan Kak Danu."

Papa Danu muncul dari balik pintu, membawa jaket untuk Nadia. "Ayo kita berangkat. Nanti makin siang, makin ramai."

Dengan pelan, mereka bertiga pun berangkat ke klinik langganan. Sepanjang perjalanan, Mama dan Papa Danu tak banyak bicara. Pikiran mereka sibuk memikirkan apa yang sebenarnya dialami kedua anaknya.

*****

Di kota B, hampir empat jam kemudian, mobil Danu akhirnya tiba di halaman kos. Galang segera turun, meregangkan badan sejenak sebelum mengambil tas mereka dari bagasi.

Danu masih duduk di dalam mobil, menatap bangunan kosnya dengan pandangan tak terbaca. Galang mendekat dari sisi pintu dan mengetuk pelan.

"Lo yakin mau langsung ngomong sama ibu kos lo sekarang?"

Danu menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. "Semakin cepat, semakin baik. Gue pengen malam ini bisa istirahat dengan tenang."

Galang mengangguk. "Oke. Gue ikut lo."

Mereka pun masuk ke dalam kos, tapi bukan kearah kamar Danu, melainkan menuju lantai dua dimana tempat pemilik kos tinggal.

Tangga kayu menuju lantai dua berderit pelan saat Danu dan Galang menaikinya bersama. Danu melangkah lebih dulu, sementara Galang mengikutinya di belakang.

Saat mereka tiba di depan pintu rumah kos, suara sapu lidi terdengar dari dalam. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan muncullah seorang wanita paruh baya berambut pendek rapi—Bu Retno, ibu kos yang selama ini menjaga tempat itu.

"Oh, Danu. Sudah balik?" sapanya ramah, lalu menoleh ke Galang yang ada di belakang.

"Iya, Bu. Saya balik lebih cepat," jawab Danu sopan.

Pandangan Bu Retno langsung beralih ke Galang yang berdiri setengah kikuk di samping Danu. "Temanmu, ya?"

"Iya, Bu. Ini teman saya, Galang. Sudah beberapa kali ke sini juga," ujar Danu.

Bu Kos mengangguk sopan ke arah Galang, lalu menatap Danu lagi. "Ada perlu apa ya, Nak?"

Danu lalu mengambil napas sejenak sebelum menyampaikan maksudnya.

"Maaf kalau agak mendadak. Begini, Bu... saya mau izin pamit... Saya berniat pindah kos. Mau ikut Galang"

Kening Bu Kos berkerut. "Lho? Pindah? Kok mendadak, Nak?"

"Iya, Bu. Soalnya kosan teman saya ini lebih dekat dari kampus. Jadi biar lebih praktis, saya putuskan pindah ke sana."

"Tapi kan kamu sudah bayar untuk bulan depan, Danu," ujar Bu Kos, agak canggung.

Danu tersenyum kecil, mengangguk tenang. "Tidak apa-apa, Bu. Saya sadar ini kepindahan mendadak, jadi anggap saja itu ucapan terima kasih dan maaf saya karena tidak bisa menyelesaikan masa tinggal di sini sesuai waktu.”

Bu Retno terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk pelan. "Kalau begitu, Ibu nggak bisa melarang. Semoga kamu betah di tempat baru, ya. Tapi kalau suatu saat kamu mau balik ke sini, pintu disini selalu terbuka."

"Terima kasih, Bu. Saya juga minta maaf kalau selama ini ada salah kata atau sikap."

Bu Retno tersenyum. "Kamu anak baik, Danu. Ibu senang punya penyewa seperti kamu."

Setelah pamitan selesai, tak lama kemudian mereka kembali ke lantai dasar dan masuk ke kamar Danu. Galang sudah cukup akrab dengan tempat itu, tapi tetap saja, ini pertama kalinya ia membantu mengemasi semuanya.

"Lumayan juga ya barang lo," celetuk Galang sambil mulai membuka lemari.

"Ya, sebagian nanti gue susulin. Yang penting-penting dulu aja," jawab Danu sambil melipat baju.

Mereka mulai memasukkan pakaian, buku, dan barang pribadi ke dalam koper dan dua kardus. Kadang-kadang mereka sempat bercanda, meski suasana tetap sedikit sendu. Danu beberapa kali memandangi kamarnya, seolah sedang menyimpan kenangan dalam kepalanya.

Setelah semua selesai dikemas, Danu berdiri di tengah kamar. "Akhirnya."

Galang menepuk bahunya. "Ayo. Lo tinggal bilang selamat tinggal sama kamar ini."

Danu menoleh sebentar, lalu mengangguk. "Ya. Saatnya jalan lagi."

Mereka membawa semua barang keluar. Bu Retno sempat mengantar mereka sampai ke pintu depan.

"Hati-hati ya, Danu. Jaga kesehatan. Jangan lupa kabar-kabar."

"Pasti, Bu. Terima kasih atas semuanya."

Galang juga ikut berpamitan, dan tak lama kemudian, mereka memasukkan koper dan kardus ke dalam bagasi mobil. Matahari masih berdiri diatas kepala, menurunkan sentuhan hangat bahkan panas untuk mereka yang sedang berada diluar rumah.

Mobil melaju perlahan melewati gang kecil yang mengarah ke kompleks kontrakan tempat Galang tinggal. Jalanan sempit beraspal kasar, diapit pagar-pagar tembok rendah, dan deretan pepohonan tua yang rindang menaungi sebagian halaman rumah warga. Di ujung gang, terlihat sebuah bangunan bercat krem pucat dengan teras memanjang, berjejer tiga pintu dengan pembatas tembok setengah dada, kontrakan itu tampak sederhana tapi bersih dan terawat.

"Ini kontrakan gue yang baru," kata Galang sambil memarkirkan mobil di pinggir jalan tak jauh dari pintu kontrakan.

Danu turun lebih dulu, memandangi bangunan itu. Meski tidak mewah, kontrakan ini terasa lebih lapang dibanding kos-kosan tempat ia tinggal sebelumnya. Ada halaman kecil di depan, cukup untuk duduk santai sore hari, dan deretan pot tanaman yang tumbuh subur di pinggir tembok.

"Luas juga, Lang. Beda kayak kontrakan lo dulu. Bahkan ini juga jauh lebih besar dari kos gue tadi"

"Iya. Gue sengaja cari yang kayak gini. Biar bisa napas,. Yang dulu udah uang sewa nya mahal, pemiliknya arogan juga" jawab Galang sambil membuka pintu kontrakan.

Bagian dalam ruangan tampak lega. Satu ruang tengah dengan lantai keramik putih mengilap, rak sepatu kecil di samping pintu, dan sofa dua dudukan menghadap rak TV sederhana. Dapur terbuka berada di bagian belakang, bersebelahan dengan kamar mandi, sementara dua kamar tidur berdiri berdampingan di sisi kiri rumah.

Galang menunjuk kamar di dekat jendela. "Lo ambil kamar itu aja. Lebih terang, kena cahaya matahari pagi."

Danu mengangguk pelan. "Oke, makasih, Lang."

Mereka lalu mulai mengangkut barang dari mobil ke dalam. Koper, kardus, dan tas ransel dibawa secara bertahap masuk ke kamar baru Danu. Galang sempat membantu sebentar, tapi setelah semuanya masuk, ia berdiri di depan pintu dan menepuk kantong celananya.

"Lo beresin dulu barang-barang lo di sini," katanya. "Biar gue ke rumah Ibu Kos dulu. Gue bakal bicara sama dia."

"Siap. Thanks banget, Lang."

Galang hanya mengangguk dan langsung keluar, berjalan menyusuri gang kecil ke rumah pemilik kontrakan yang terletak tak jauh dari tempat mereka tinggal. Rumah itu berdiri di sudut, lebih besar dari unit-unit kontrakan lainnya, dengan pagar besi dan pekarangan penuh tanaman bunga.

Sementara itu, Danu mulai membuka koper dan kardus. Ia memindahkan baju ke dalam lemari kayu di sudut kamar, menyusun buku-buku kuliah di atas meja kecil yang sudah ada di sana, dan menaruh beberapa barang pribadi di rak gantung. Udara siang terasa hangat, tapi ruangannya sejuk karena ventilasi dan jendela besar yang menghadap ke halaman samping.

Sesekali ia berhenti sejenak, memandangi sekeliling. Meski baru beberapa menit, kamar itu mulai terasa nyaman. Tidak ada bayangan kamar lamanya, tidak ada bayang-bayang yang mengikuti di sudut. Dan yang terpenting, ia tidak sendiri lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!