Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.
Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.
Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Terjerat Kembali
Papa Achazia, Lionel Velmorin, kembali bertemu dengan Darius Legrand, kolega lamanya di dunia bisnis. Darius datang dengan membawa proposal kerjasama besar, sesuatu yang menggoda bagi Lionel yang ingin memperluas jaringan bisnisnya.
Di sisi lain, Darius memperkenalkan anaknya, Leonard Legrand.
“Pak Lionel, Leonard ini yang akan mengurus proyek kita nanti. Dia cerdas, ambisius, dan saya yakin bisa membawa Velmorin Group ke level berikutnya.”
Lionel mengangguk, menyambut Leonard dengan tangan terbuka. Ia tak menyadari, Leonard menyimpan niat tersembunyi.
Sementara itu, di Velmorin Beauty shop, Achazia dan Ciara sibuk dengan persiapan peluncuran produk kosmetik terbaru.
"Zia, menurut kamu produk kita bakal terkenal gak ya?"
"Kita usahakan aja yang terbaik. Kalau kita melakukannya dengan senang hati, pelanggan mana yang tidak datang"
Ciara lalu tersenyum. Dipikirannya, Achazia seperti tak pernah berpikir negatif. Dia terus berpikir kalau temannya ini pasti bisa. Achazia menyuruh beberapa karyawannya untuk menyusun produk baru mereka.
Beberapa karyawannya ada yang hanya lulus SMK tata rias, ada juga yang lulus S1 sama seperti dia. Achazia tak pernah memandang dari segi gelar. Baginya siapa yang bekerja dengan tekun dan hati tenang, itulah yang diprioritaskannya. Tapi nasibnya yang berkaryawan itu baik. Kalau diperhatikan, tak ada karyawan mereka yang membuat onar. Mencuri bahan produk atau pun menyusupkan uang hasil jualan ke dompet mereka. Achazia percaya bahwa karyawannya pasti jujur dalam bekerja.
Namun, kesibukan mereka terhenti saat seorang pria berjas abu-abu masuk ke ruangan dengan senyum penuh percaya diri.
“Selamat siang, Nona Velmorin,” sapa Leonard, berdiri dengan tangan di saku.
Achazia menegakkan punggung, memasang senyum profesional.
“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu, Tuan Leonard?”
Leonard tertawa pelan. “Panggil saja Leonard. Saya hanya ingin mengenal lebih dekat bisnis kecantikan keluarga Velmorin. Siapa tahu, ada peluang kolaborasi pribadi.”
Dengan percaya dirinya pria itu berbicara seperti itu. Dia melihat-lihat salon kecantikan dan toko kosmetik milik Achazia. Menurutnya ini benar-benar bagus.
Ciara yang berada di belakang meja kasir hanya bisa menatap tajam. Ia mengenali aura manipulatif Leonard dari sikapnya. Sebenarnya Ciara sudah sangat muak dengan Leonard. Dia tahu pasti ada rencana Leonard yang negatif. Dia bisa melihat daru gerak-geriknya.
Di Croixwijaya Medical Center, Elvareon sedang memeriksa berkas pasien saat Arvin mendekat dengan raut serius.
“El, kamu baca ini?” Arvin menunjukkan berita di tablet tentang merger Velmorin-Legrand Group.
“Papa Zia lagi ekspansi bisnis, ya?” Elvareon bergumam santai.
Arvin duduk di depan Elvareon, wajahnya mengeras.
“Elvareon, kamu tahu siapa Darius Legrand?”
Elvareon mengerutkan kening. “Nama itu gak asing, Zia pernah sebut keluarganya waktu SMA. Tapi aku gak tahu lebih.”
“Leonard Legrand, anaknya, bukan orang sembarangan. Dulu keluarga ku hampir kehilangan bisnis karena ulah mereka.”
Elvareon menatap Arvin, mulai merasakan keganjilan.
“Jadi, maksud kamu… Leonard bakal main kotor lagi?”
Arvin mengangguk. “Dia gak pernah berubah, El. Hati-hati, kalau dia udah dekat sama Zia.”
Elvareon hanya mengangguk. Dia tidak bisa langsung percaya. Dia butuh bukti. Itulah Elvareon, dia harus benar-benar melihat orang itu baru dia tahu bagaimana sifat sebenarnya.
Malam harinya, Achazia menemukan amplop undangan makan malam pribadi dari Leonard di mejanya.
Ciara langsung membaca ekspresi sahabatnya itu.
“Kamu gak mau datang, kan?” tanya Ciara.
“Tapi kalau aku gak datang, Papa bakal marah. Dia anggap aku gak profesional.”
Ciara menghela napas. “Kalau gitu aku ikut. Aku gak mau kamu sendirian.”
Achazia mengangguk pelan, merasa beban di pundaknya semakin berat.
Di rumah, Papa Achazia berbicara dengan Mama Achazia tentang proyek baru mereka.
“Leonard anak yang pandai. Aku rasa dia cocok untuk mengembangkan bisnis kita,” ujar papa dengan yakin.
Mama Achazia tampak ragu. “Tapi… kamu yakin dia orang yang bisa dipercaya?”
Papa terdiam sejenak, lalu berkata, “Bisnis tak pernah tentang percaya atau tidak, tapi tentang peluang. Achazia harus belajar soal itu.”
Hari makan malam tiba. Leonard menjemput Achazia dan Ciara dengan sopan. Awalnya Achazia dan Ciara ingin pergi menaiki mobil pribadi mereka tapi papa Achazia menyuruh mereka untuk bergabung di mobil Leonard saja.
Beberapa menit, mereka lalu sampai ditempat restaurant para CEO. Achazia dan Ciara turun dari mobil. Mereka duduk berdekatan menunggu pesanan datang. Saat pesanan datang, Achazia makan seperti biasa walaupun dia tak selera. Makan malam itu dipadukan dengan acara kecil-kecilan tentang pembahasan bisnis mereka.
Namun, sepanjang acara, Leonard lebih banyak melemparkan pujian-pujian yang menyiratkan kepentingan pribadi.
Ciara mencatat setiap kata-kata manis yang keluar dari mulut Leonard di ponselnya, sedangkan Achazia merasa semakin tidak nyaman.
Leonard berkata sambil tersenyum, “Achazia, aku rasa kamu pantas mendapatkan lebih dari sekadar mengurus toko. Dunia bisnis besar menunggumu.”
Achazia hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia tahu, Leonard bukan sekadar berbicara tentang bisnis. Sebenarnya Achazia tidak mau mengikuti acara ini. Dia dengan terpaksa dan berat hati ikut karena kemauan papanya.
Ciara memperhatikan gerak-gerik Leonard dan papanya itu. Rasanya dia ingin mencekiknya disitu juga. Cara mereka mencari perhatian kepada papa ya Achazia membuatnya muak.
Di klinik, Arvin menatap Elvareon dengan serius.
“El, kalau Leonard udah mulai main di wilayah Zia, kamu harus tahu, dia gak akan berhenti sampai dia dapat apa yang dia mau.”
Elvareon mengepalkan tangan. “Aku gak akan biarin dia ganggu Zia.”
Arvin menepuk bahu Elvareon. “Kalau Papa Zia terlalu keras kepala, kita cari jalan kita sendiri. Tapi ingat, Leonard licik.”
Elvareon mengangguk, mulai menyusun langkah berikutnya. Dia ingin tahu seperti apa wajah Leonard ini.
"Emang dia lebih ganteng dari aku?" ujarnya dalam hati.
"Kalau masalah status, jelas aku dibawahnya tapi aku tak kalah," ujarnya lagi.
Sekarang adalah jadwal Elvareon sift malam di kliniknya tapi Arvin tetap menemaninya.
"Vin, kamu gak sift malam disana?"
"Harusnya iya. Tapi ada yang menggantikan. Dia masih lulusan baru, katanya dia ingin belajar lebih dalam lagi. Tenang aja, aku tetap kerja dirumah sakit itu kok." ujarnya.
Elvareon mengangguk. Malam ini, klinik lumayan sepi. Tak ada pasien yang datang. Elvareon merasa lega dia bisa istirahat. Dia melihat buket bunga dan buku yang diberikan Achazia sewaktu ia wisuda.
"Hhh mengenang masa-masa wisuda ya?" Arvin tertawa kecil.
"Aku tiba-tiba saja ingat. Aku merindukan Achazia"
"Sabar dulu. Ada waktu kita bertemu dengan Zia. Sekarang kita fokus tujuan kita dulu dan fokus pada Leonard." ucap Arvin
Elvareon mengangguk. Entah kenapa selalu saja ada masalah yang menimpa. Masalah yang tidak ada habis-habisnya.
"Bagaimana kabar Brianna dan Kaivan?" tanya Arvin
"Aku rasa mereka baik-baik saja. Aku melihat di instagramnya mereka tambah bahagia"
"Mereka pacaran atau gimana sih? Aku bingung" tanya Arvin
"Kami itu teman dari SMA. Kami sewaktu SMA selalu bertiga. Mereka berdua memang yang paling akrab tapi mereka tidak memiliki perasaan satu sama lain"
"Loh, aku baru tahu kalau masih ada orang berteman lawan jenis tanpa melibatkan perasaan." Arvin bingung
"Ya, ada. Mereka buktinya"
Tak selamanya harus tentang perasaan. Terkadang yang membuat nyaman itu adalah dia yang selalu dekat tanpa melibatkan perasaan.