"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
“Mas Dewa. Apa yang sebenarnya Arlan katakan tadi?” tanya Syifa pada akhirnya. Dia tidak ingin masalah mereka menggantung begitu saja.
Sadewa tidak langsung menjawab. Dia menghela napas pelan, matanya menatap jendela yang gelap. Tangannya mengepal di atas lututnya.
“Tidak penting. Lupakan saja dia,” katanya datar.
Syifa menggigit bibirnya mendengar jawaban itu. “Tapi… ekspresi Mas Dewa berubah setelah dia berbisik sesuatu. Tolong jujur padaku.”
Sadewa menoleh, matanya menatap tajam ke arah Syifa. Untuk sesaat, dia ragu bicara. Namun akhirnya, suara itu akhirnya keluar juga. “Arlan bilang, kalian dulu saling mencintai dan dua hari ini adalah hari yang indah, katanya."
"Lalu Mas Dewa percaya? Arlan memang temanku sewaktu kuliah, tapi aku tidak pernah mencintainya. Selama dua hari ini, dia sama sekali tidak menyentuhku. Aku tahu, dia sebenarnya baik tapi dia masih belum bisa memaafkan Mas Dewa."
Sadewa menghela napas. “Dia ingin menyakitiku. Dan dia tahu, satu-satunya cara melakukannya adalah melalui kamu. Aku sangat takut, dia benar-benar melakukannya. Semua ini karena kesalahanku sendiri."
Syifa meraih tangan Sadewa dan menggenggamnya. "Mas Dewa masih bisa memperbaikinya. Mas Dewa percaya padaku kan? Aku tidak melakukan apapun dengan Arlan."
Sadewa memandangi mata Syifa. “Iya, aku percaya. Maafkan aku. Seharusnya, aku tidak punya pikiran buruk padamu." Kemudian Sadewa meraih tubuh Syifa dan mendekapnya. Dia menatap kaki Syifa yang terlihat semakin bengkak. "Kaki kamu pasti sakit. Bagaimana bisa seperti itu?"
"Aku melarikan diri dari lantai dua, ternyata kain sprei yang aku ikat terlepas."
"Astaga, Syifa. Kamu sabar saja menungguku. Aku pasti akan menemukanmu bagaimanapun caranya."
Syifa semakin menyandarkan kepalanya di dada Sadewa. Suara detak jantung dan hangatnya pelukan itu membuatnya nyaman. "Aku harus berusaha untuk keluar. Mas Dewa bagaimana bisa menemukanku? Tempat ini sangat jauh."
"Terpaksa, aku umumkan kalau kamu istriku. Ada yang melihat kamu, saat Arlan isi bensin di dekat sini."
Syifa mendongak menatap Sadewa. Dia tidak menyangka, Sadewa mengumumkan dirinya. "Maksudnya, Mas Dewa mengadakan konferensi pers?"
"Iya, aku tidak mungkin tinggal diam. Apapun caranya, aku harus menemukanmu. Setelah aku pikir, mungkin lebih aman jika semua orang tahu tentang kamu, karena yang memihakku lebih banyak daripada musuhku." Sadewa masih saja menatap Syifa yang terlihat bingung.
"Jadi, semua orang di perusahaan sudah tahu kalau aku istri Mas Dewa. Bagaimana aku bekerja, pasti mereka akan sungkan denganku. Aku jadi tidak enak diperlakukan istimewa seperti itu."
Sadewa tersenyum. Dia semakin mendekap Syifa dan mengusap kepalanya. "Tidak apa-apa, dengan begitu tidak akan yang mengganggu kamu lagi. Kamu masih bisa bekerja selama kamu mau. Kamu bisa jadi apapun di perusahaan, termasuk menjadi CEO."
Syifa hanya tertawa kecil. Perlahan, kedua matanya mulai lelah dan tertidur.
"Berhenti di rumah sakit terdekat," kata Sadewa. Satu tangannya masih setia mengusap punggung Syifa sedangkan satu tangannya sibuk membalas pesan dari anak buahnya.
"Urus Arlan, pastikan dia mendapat hukuman yang setimpal!"
Sesampainya di rumah sakit, sopir pribadi Sadewa segera membuka pintu di dekat Sadewa. Dengan hati-hati, dia membantu Syifa turun dari mobil, lalu menggendongnya dan membawanya ke IGD.
Syifa membuka kedua matanya saat merasakan tubuhnya. Dia menatap Sadewa dengan kedua mata merahnya, lalu kini dia diturunkan di atas brankar.
"Dokter, istri saya jatuh dari ketinggian. Sepertinya kakinya terkilir," kata Sadewa. Dia kini menggenggam tangan Syifa untuk menenangkannya saat dokter mulai memeriksa kakinya.
“Syukurlah hanya terkilir ringan. Tidak perlu rawat inap, tapi perlu istirahat dan kompres secara rutin. Kami akan membalut kakinya untuk sementara.”
Sadewa mengangguk dan merasa lega karena tidak ada luka serius.
Setelah proses pembalutan selesai, mereka menunggu beberapa saat untuk administrasi.
"Selama kaki kamu sakit, aku akan merawatmu. Jangan menolak."
***
Di ruang interogasi di kantor polisi itu, Arlan duduk santai, kakinya disilangkan, tangan bebas tanpa borgol. Di hadapannya, dua penyidik menatapnya tajam, namun pria itu tetap tersenyum tipis, seolah ruangan itu hanyalah tempat pertemuan biasa.
“Arlan,” salah satu penyidik memulai dengan suara datar. “Kamu dilaporkan oleh Sadewa karena telah menculik istrinya. Kamu akan lebih baik kalau kooperatif.”
Arlan mengangkat alisnya, lalu mengeluarkan sebuah dompet kulit dari saku jaketnya. Dia mengambil selembar foto lusuh dan meletakkannya di atas meja. “Aku tidak menculik Syifa. Dia teman lamaku,” ucapnya tenang.
Penyidik lain mengambil foto itu dan mengamatinya. Dalam foto tersebut, tampak Arlan dan Syifa yang memakai jas almamater di salah satu universitas.
“Kami kuliah di universitas yang sama. Kami satu angkatan, sering kerja kelompok, bahkan sempat ikut organisasi sosial bersama. Kita sangat dekat dan aku tidak mungkin menyakitinya."
“Kalau begitu, kenapa kamu menculik Syifa."
Arlan tertawa kecil. “Aku ingin menyelamatkannya dari pria seperti Sadewa."
Tatapan kedua penyidik menajam.
Arlan mencondongkan tubuh, menatap mereka satu per satu. “Kalian tahu siapa Sadewa, kan? Tindak kriminalnya sangat banyak. Bahkan dia sudah membunuh beberapa orang, dan dia lolos begitu saja. Kalian lupa? Atau... sengaja menutup mata?”
Salah satu penyidik menekan pena ke atas kertas. “Kamu menuduh Sadewa melakukan tindak kriminal?”
“Aku tidak menuduh. Aku menyampaikan fakta. Bukti-bukti lama mungkin sudah dikaburkan, tapi orang seperti dia tak akan berubah. Hanya karena dia punya kekuasaan dan uang, dia lolos begitu saja dari hukum."
Arlan bersandar di kursinya dan kembali menyilangkan kaki. “Kalau kalian ingin bicara soal keadilan, bicaralah dengan jujur. Jangan hanya karena Sadewa datang dengan laporan, kalian langsung mengecapku sebagai penjahat. Bukankah hukum seharusnya adil? Tidak memihak sebelah.”
Salah satu penyidik diam-diam menatap rekannya. Kalimat Arlan memang provokatif, tapi tidak sepenuhnya bohong. Sadewa memang pernah terlibat insiden yang meragukan beberapa tahun lalu, tapi tidak ada yang bisa menjeratnya secara hukum.
Penyidik mengetuk pena di atas kertasnya. “Baik. Kami akan periksa semua klaimmu. Termasuk masa lalu Sadewa.”
“Silakan.” Arlan mencondongkan tubuh sekali lagi. “Tapi jangan tutup telinga kalau yang kalian temukan tidak sesuai keinginan atasan kalian.”
Saat itu, seorang petugas masuk dan membisikkan sesuatu pada penyidik. Dia mengangguk, lalu berkata pada Arlan, “Sementara ini, kamu akan ditahan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Kami belum menyimpulkan apapun.”
Arlan berdiri, mengangkat tangan tanpa keberatan. “Tentu. Aku tidak akan kabur." Saat Arlan digiring keluar, seberkas senyum tipis masih menghiasi wajahnya.
kan pengen doubel bab gitu😊😊😊
semoga saling percaya dan saling menjaga... pondasi yang utama...