Ketika cinta datang dari arah yang salah, tiga hati harus memilih siapa yang harus bahagia dan siapa yang harus terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santika Rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15
Hari-hari berikutnya, anak Spanca terlihat semakin sibuk berlatih. Hingga tak terasa, hari ini adalah hari dimana teater mereka akan ditampilkan.
Pagi-pagi sekali, Alleta terlihat sudah sibuk bersiap-siap. Ia duduk di salah satu bangku ruang kelas yang disulap menjadi ruang rias dadakan. Beberapa penata rias yang disewa tampak mondar-mandir, sibuk dengan kuas, palet warna, dan hair spray yang aromanya bercampur memenuhi ruangan.
Sementara semuanya sibuk dirias, Nula dan Gazi terlihat sudah standby dengan kostum monyet mereka, “Nih seriusan, muka spek Ronaldo gini ketutupan topeng monyet??” protes Gazi mencoba topeng monyetnya kemudian melepasnya kembali dengan ekspresi tidak terima.
“Gue ngerasa pengorbanan visual kita gede banget disini.” ujar Nula dramatis.
Vero langsung ngakak, “Yaelah, sadar diri. Dari awal peran Lo berdua emang bukan pangeran.”
“Kurang ajar.” balas Gazi kemudian menoleh ke arah cermin, mencoba memakai topeng itu sekali lagi.
Alleta yang sudah selesai dirias kemudian bangkit dari kursinya, bergantian dengan yang lain yang belum selesai dirias.
“Yaampun.., ini beneran Alleta..” ujar Aru terpana. “Lo cantik banget sumpah, gue sampe pangling.”
“Hehe, makasih.” balas Alleta tersipu.
Sagara yang mendengar percakapan itu hanya bisa melirik sekilas dari cermin karena dirinya yang sedang dirias.
Alleta melihat sekeliling, semuanya masih sibuk dengan kostum masing-masing. Namun di pojok ruangan, seorang dengan pakaian setengah monyet terlihat tengah sibuk merapikan kostumnya di depan cermin.
Gadis itu melangkah menghampirinya, “Hahaha, jadi lutung..” tawa kecil itu terdengar bercanda.
Tristan menoleh sekilas, “Nanti juga pas jadi pangeran, tuan putri bakal klepek-klepek..” balasnya santai.
Alleta tertawa kecil, menyandarkan bahunya ke meja di samping Tristan. “Percaya diri banget.”
“Bukan percaya diri,” Tristan merapikan ikat kepala lutungnya, “emang begitu ceritanya.” Ia kemudian berbalik, kini Alleta yang sudah siap dengan perannya sebagai Purbasari berdiri di hadapannya.
Kain batik yang dipadukan dengan kemben berwarna biru dan beberapa selendang senada di bagian pinggang, melekat sempurna pada tubuh gadis itu. Rambutnya disanggul rendah, dengan beberapa hiasan seperti bunga emas dan sirkam membuat Alleta benar-benar terlihat seperti putri kerajaan.
Untuk sesaat, Tristan terpesona. “Gitu banget liatnya. Tau kok, gue emang cantik.” suara centil gadis itu kembali menyadarkan Tristan.
Tristan terkekeh, “Lo beda banget sumpah, cantik.” katanya jujur.
Alleta tersenyum manja, dia mengibaskan selendang. Dengan senyum bodoh, seperti orang salting namun dibuat-buat.
“Najis,” balas Tristan refleks sambil tertawa kecil, berusaha menutupi detik singkat tadi ketika dadanya sempat terasa hangat melihat Alleta berdiri di depannya.
“Terpesona ya sama kecantikan gue?” Alleta mengangkat dagu sedikit, masih dengan senyum centilnya.
“Apa sih.” Tristan mentoel jidat gadis itu, geli ketika melihat sahabatnya seperti bocah puber yang kecentilan.
“Ihhh, rusak makeup nya..” Alleta menepis tangan Tristan, nadanya terdengar setengah kesal, setengah manja. Ia langsung menoleh ke arah cermin di depannya, memastikan riasannya masih aman.
Tristan nyengir, “Aman, masih cantik kok tuan putri.”
“Dih najis.” dengus Alleta tapi senyumnya tak bisa sepenuhnya disembunyikan.
Di sisi lain ruangan, Sagara yang baru saja selesai dirias berdiri dari kursinya. Kostum pangeran yang dikenakannya membuat posturnya tampak lebih tegap. Tatapannya tanpa sadar kembali tertuju ke arah Alleta—tepat saat gadis itu tertawa kecil karena sesuatu yang dibisiki Tristan.
Namun hanya beberapa saat, pemuda itu langsung melangkah keluar kelas. Dia duduk di teras, tempat biasanya dia menyendiri. Sagara kemudian mengeluarkan cermin kecil, melihat wajahnya dari dekat, kumis tipis yang dilukis di bawah hidungnya membuatnya tampak sedikit lebih tua.
Seperti sebelumnya, pemuda itu tidak pernah dibiarkan menyendiri, seorang gadis yang friendly selalu datang menghampirinya. “Hai pangeran.”
Suara itu membuat Sagara mendongak, gadis pendek dengan pakaian kerajaan yang didominasi warna biru. “Oh.., hai.” suara Sagara terdengar lebih rendah, seolah tidak fokus pada ucapannya.
Tadi dia hanya melihat sekilas Alleta dari cermin, setelah dilihat dari dekat, ternyata memang secantik itu.
Alleta melambaikan tangannya pelan di depan wajah Sagara, Sagara tersadar. “Lo ngelamun?” tanya gadis itu pelan.
“Ehh, enggak.” Sagara menurunkan pandangannya.
Alleta kemudian duduk di samping pemuda itu, “Lo kayaknya suka banget duduk disini?”
“Iya, di dalam kelas sumpek.” balas Sagara, “Oh ya, Lo bawa pulpen?” tanyanya sembari mengeluarkan secarik kertas yang terlipat dari saku jubahnya.
Alleta tidak langsung menjawab, dia memeriksa isi tas kecil yang tersampir di bahunya. “Ada nih.” gadis itu menyerahkan pulpennya pada Sagara.
“Thanks.” Sagara menanggapi pulpen itu, dia kemudian mencoretkan sesuatu pada kertas yang dipegangnya.
Alleta, dengan jiwa kepo level dewanya, menarik tubuhnya mendekat, namun tangan Sagara segera menghalangi pandangan Alleta. “Jangan ngintip.” ujarnya.
Alleta mendengus pelan, kemudian kembali menjauh. Tak lama berselang, Sagara menyerahkan pulpen itu kembali pada pemiliknya. Perlahan dia kembali melipat kertas tersebut.
“Nih..” pemuda bermata elang itu menyodorkan kertas yang sudah terlipat itu pada Alleta.
“Hah?, buat gue?” tanya Alleta bingung.
“Iya.” balas Alleta singkat.
Alleta menerimanya dengan ragu, “Apa sih, sok misterius banget.” tangannya hendak bergerak membuka lipatan kertas tersebut, namun Sagara langsung menahannya.
“Buka nanti aja.” ucap Sagara cepat, nyaris seperti takut jika gadis itu membukanya saat itu juga. “Pas di rumah, pas sendirian.”
Alleta menatapnya curiga, “Makin penasaran deh, jangan-jangan isinya surat utang lagi..”
Sagara terkekeh kecil, “Kalo surat utang mah, gue gak bakal repot-repot lipet rapi.”
Alleta mendengus, namun dia tetap menyelipkan kertas itu ke dalam tas kecilnya. “Oke, gue simpen, awas aja kalo isinya aneh-aneh.”
“Gak akan..” balas Sagara cepat.
Alleta hendak berkata sesuatu, ketika seorang pemuda yang sangat dia hindari tiba-tiba menghampirinya dari belakang.
“Haa.., my honey Alleta, cantik sekali...” serunya sumringah.
Melihat kehadirannya, Alleta langsung memutar bola mata malas, “hh, biawak ini lagi..”
Dipta kemudian menegakkan tubuhnya yang tidak berotot, “Lihat.., aku jadi Jaka Tarub, andai kita satu kelas, pasti kamu yang jadi Nawang Wulan nya..” ujarnya dengan ekspresi sok sedih yang menjijikan.
Alleta menahan napas, jelas-jelas menjaga raut wajahnya agar tetap terlihat waras. “Kalau begitu, gue amat sangat bersyukur gak satu kelas sama lo.” kata Alleta dengan senyum muak yang dipaksakan.
“Kok my bubub gitu sih..?” Dipta hendak meraih bahu Alleta yang hanya tertutup selendang, namun beruntung Sagara langsung menepis tangan pemuda itu.
“Jangan asal pegang, Lo bisa kena pidana, pelecehan!” ujar Sagara dengan nada rendah namun tajam.
Dipta tertegun. Tangannya yang ditepis Sagara refleks ditarik kembali, ekspresinya berubah kaget bercampur kesal. “Heh, santai kali. Gue cuma bercanda.”
“Bercanda ada batasnya,” balas Sagara dingin. Tubuhnya sedikit maju, berdiri di antara Dipta dan Alleta tanpa sadar. “Dia jelas nggak nyaman.”
Beberapa siswa mulai teralihkan ke arah mereka, Tristan yang sedari tadi sibuk membantu teman-temannya memakai kostum langsung keluar kelas saat mendengar suara Dipta. “Ada apa nih?” tanyanya tegas, tubuhnya kini berdiri di sebelah Sagara, tanpa sadar mereka kini terlihat seperti benteng yang melindungi Alleta.
“Ih, rame amat sih,” dengus Dipta, berusaha menyelamatkan harga dirinya. “Gue pergi juga. Heran, niat baik malah disangka macem-macem.” Ia menunjuk Tristan dan Sagara singkat. “Sok jago lo pada, beraninya keroyokan.”
Mereka tak membalas. Tatapannya datar, seolah keberadaan Dipta sudah tak layak direspons. Dipta mendecak, lalu pergi sambil menggerutu. Suasana yang sempat menegang perlahan mencair.
...****************...
Suasana aula Spanca terlihat sudah dipenuhi oleh para siswa dan tamu yang hadir. Setelah serangkaian acara penyambutan, lomba teater pun resmi dimulai, para peserta lomba yang belum tampil diizinkan untuk duduk di sebelah panggung, menyaksikan penampilan dari kelas yang lain.
Di atas panggung, terlihat penampilan dari kelas XI IPA 3, yang membawakan cerita Timun Mas. Alleta dan teman-temannya yang mendapat undian nomor dua terlihat duduk di sebelah kiri panggung, mereka sudah mulai mempersiapkan diri untuk tampil.
Alleta duduk di bangku paling depan, menatap panggung dengan mata berbinar. Wajahnya tampak tenang, tak sedikitpun gugup terlihat disana.
Tristan duduk di samping Alleta, posturnya tegap. Matanya sesekali menatap panggung, tapi secara refleks melirik ke arah Alleta. Ia memperhatikan bagaimana gadis itu menyesuaikan selendang birunya, rambut tersanggul rapi, wajahnya bersinar di bawah cahaya lampu aula.
“Lo tenang banget ya…” bisik Tristan pelan, hanya untuk Alleta dengar.
“Hehe… santai aja,” jawab Alleta sambil menyesuaikan posisi kembennya, “Kan udah latihan terus.”
“Iya sih.“ Tristan membalas singkat, matanya masih mengikuti gerakan Alleta.
Di atas panggung, musik penutup mulai terdengar, para pemeran mulai menari bersama, narator membacakan amanat dari drama yang mereka tampilkan.
Ketika tirai akhirnya tertutup, MC kembali mengambil alih, “Baik beri tepuk tangan meriah untuk XI IPA 3, dengan drama Timun Mas mereka yang sangat fantastis.” serunya di microphone, suara riuh penonton seketika terdengar. “Baik untuk peserta selanjutnya, adalah XI IPA 1, yang akan membawakan drama Lutung Kasarung, kepada peserta silahkan bersiap-siap di belakang panggung.”
Alleta menarik napas panjang lalu menegakkan tubuhnya, dia berbalik menatap teman-temannya. “Oke, giliran kita.” gumamnya pelan.
Mereka melangkah ke belakang panggung, lampu di sisi panggung terasa lebih redup, hanya menyisakan cahaya temaram yang membuat bayangan para pemain memanjang di lantai.
Di balik tirai, suasana langsung berubah. Tak ada lagi tawa berisik, tak ada celetukan konyol, yang tersisa hanya napas ditahan dan detak jantung yang saling berlomba.
Nula berdiri sambil menggoyang-goyangkan tangan berbulu kostum monyetnya. “Oke… gue tiba-tiba deg-degan,” bisiknya setengah panik.
“Baru sekarang?” Gazi menoleh dengan wajah tertutup topeng, “Gue udah dari tadi.”
Tristan menepuk pundak mereka bergantian. “Santai. Lu berdua tinggal uu aa uu aa, terus joget-joget dikit, udah.”
“Anj*ng lo.” balas Nula hampir saja menjitak kepala pemuda itu, namun tidak jadi karena Tristan langsung menghindar.
“Baik para hadirin sekalian, mari kita saksikan, penampilan dari kelas XI IPA 1, selamat menyaksikan.” ujar Mc dengan suara lantang.
Tirai seketika terbuka, para pemeran maju bersama-sama, adegan dimulai dengan memperkenalkan diri dan peran masing-masing.
Setelah selesai memperkenalkan diri, para pemeran kembali masuk ke balik tirai, sementara adegan dimulai dengan tarian pembuka yang ditampilkan oleh Aru, Raya, dan Nami.
Alunan musik tradisional mulai terdengar, lembut namun ritmis. Aru, Raya, dan Nami melangkah ke tengah panggung dengan gerakan yang selaras. Selendang mereka berayun mengikuti putaran tubuh, kaki melangkah ringan, menciptakan pembuka yang anggun dan penuh makna. Aula Spanca mendadak hening, semua mata tertuju pada panggung.
Cahaya lampu berganti lebih hangat, mengikuti setiap gerakan tari. Tepuk tangan kecil mulai terdengar di akhir tarian pembuka, disusul musik yang perlahan meredup.
Narator melangkah ke depan panggung, suaranya mantap dan jelas, mengalirkan kisah tentang Kerajaan Pasir Batang, tentang putri yang baik hati namun diuji oleh nasib. Saat itulah Alleta melangkah masuk.
Langkahnya pelan, namun pasti. Detik berikutnya musik kembali mengalun lembut, Alleta mulai menggerak tubuhnya mengikuti alunan musik, suaranya merdu ketika memperkenalkan diri sebagai Purbasari dalam bentuk nyanyian.
Namun dalam sepersekian detik, musik berubah tajam. Nayla masuk, membawa perannya sebagai Purbararang, dia menyanyi sembari menari mengitari Purbasari. Suasana yang tadinya lembut seketika berubah tegang.
Tetapi semuanya kembali tenang, saat Vero mulai masuk dalam adegan sebagai Ayahanda, diikuti oleh Bara di belakangnya yang berperan sebagai penasehat kerajaan yang setia.
Adegan demi adegan berjalan sempurna, sorot lampu perlahan meredup, berganti cahaya kehijauan. Musik berubah lebih misterius.
Dari balik panggung, Nula dan Gazi masuk sebagai monyet. Gerakan mereka dibuat lincah dan sedikit berlebihan, memancing tawa ringan dari penonton tanpa merusak suasana cerita. Setelah tawa mereda, Tristan keluar sebagai seekor lutung setengah manusia.
Adegan menjadi lebih dalam, menampilkan hari-hari Purbasari di dalam hutan bersama sahabat barunya–Lutung Kasarung. Hingga setelah Purbasari mendapat kembali kecantikannya dia kembali ke kerajaan, musik kembali berubah, cahaya kehijauan berubah menjadi cahaya putih khas suasana kerajaan.
Saat itulah Sagara masuk sebagai Indrajaya, bergandengan dengan Purbararang. Setelah beberapa dialog menegangkan, Purbararang meninggalkan panggung, membiarkan tunangannya–pangeran Indrajaya hanya berdua dengan Purbasari.
Panggung mendadak sunyi, semuanya larut dalam ketegangan ketika pangeran Indrajaya berusaha menggoda sang tuan putri agar menikah dengannya.
Suasana kembali tenang, saat Lutung Kasarung datang menolong Purbasari. Tetapi, dibalik setiap dialog yang diucapkan dengan lancang, rasa sesak perlahan mendera dirasakan Tristan di bagian dadanya, tentu saja ini bukanlah bagian dari drama.
Sekuat mungkin Tristan berusaha bertahan agar tidak merusak alur cerita, namun rasa sesak itu malah disusul oleh rasa pusing yang menyiksa. Pada adegan puncak, saat Purbararang berusaha membun*h Purbasari dengan sebilah belati, Lutung Kasarung langsung melindunginya hingga dirinya sendiri yang tertusuk.
Timing yang sangat tepat, ketika Tristan benar-benar tak tahan dan akhirnya jatuh tak sadarkan diri. Purbasari langsung tertunduk, menangis keras, sebagai bagian dari cerita.
“Uu..Aa..Uu..,Aaa..”
Gazi dan Nula kembali masuk ke dalam panggung, mengangkat tubuh Lutung Kasarung, dan membawanya ke belakang panggung. Tentu tidak ada yang menyadari apa yang sebenarnya terjadi, karena semua orang mengira itu hanyalah bagian dari akting.
Tangisan Purbasari terdengar pilu, memenuhi aula. Alleta menunduk ketika tubuh Lutung Kasarung dibawa pergi, bahunya bergetar, suaranya pecah—terlalu pecah, bahkan untuk sebuah drama. Namun justru itulah yang membuat penonton semakin larut.
...Bersambung......
...–Laut terlihat tenang, tapi tidak dengan ombaknya....
...Begitu pula manusia, tampak baik-baik saja, padahal tubuhnya telah lelah dan retak diam-diam.–...