Di kota Plaguehart, Profesor Arya Pratama melakukan eksperimen berbahaya untuk menghidupkan kembali istrinya, Lara, menggunakan sampel darah putrinya, Widya. Namun, eksperimen itu gagal, mengubah Lara menjadi zombie haus darah. Wabah tersebut menyebar cepat, mengubah penduduk menjadi makhluk mengerikan.
Widya, bersama adiknya dan beberapa teman, berjuang melawan zombie dan mencari kebenaran di balik wabah. Dengan bantuan Efri, seorang dosen bioteknologi, mereka menyelidiki lebih dalam, menemukan kebenaran mengerikan tentang ayah dan ibunya. Widya harus menghadapi kenyataan pahit dan mengambil keputusan yang menentukan nasib kota dan hidupnya.
Mampukah Widya menyelamatkan kota dengan bantuan Dosen Efri? Atau justru dia pada akhirnya ikut terinfeksi oleh wabah virus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widya Pramesti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjuangan Di Dalam Plafon
Di atas plafon yang sempit, di ruang auditorium kampus yang sudah jauh dari kata aman, deru napas keras terdengar di tengah keheningan yang menekan. Semua bergerak dengan cemas, merangkak pelan dengan hati-hati menuju pintu besi kecil yang telah di temukan oleh Aldo, tersembunyi di ujung lorong plafon. Ruangan itu terasa pengap, sesak, seolah menyiksa tubuh mereka yang sudah kelelahan. Jalur menuju pintu sangat sempit, namun itu adalah jalur keluar menuju tangga darurat.
Aldo memimpin rombongan, di belakang Aldo, Eric dengan napas terengah-engah mengikuti, tubuhnya terasa semakin berat, hampir tidak mampu lagi bertahan. Dia tahu mereka harus cepat, karena di bawah plafon, ruang auditorium yang mereka tinggalkan sudah dipenuhi oleh gerombolan zombie yang berkelap-kelip di kegelapan. Pintu besi itu adalah satu-satunya jalan keluar yang tersisa, dan mereka harus memaksa pintu itu terbuka, agar bisa menuju rooftop untuk membuat sinyal SOS.
Tapi di belakang mereka, Dosen Efri dan Roger, sedikit tertinggal jauh di belakang rombongan para mahasiswanya. Mereka merangkak pelan, namun Efri yang berada di belakang Roger terlihat ragu, matanya terfokus pada sesuatu yang janggal di leher Roger. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, membuat dirinya terdiam di tempat. Sementara Roger, yang sudah merangkak lebih jauh dari Efri, menoleh, menyadari rekannya itu tidak ada di belakangnya. Dengan langkah cepat, dia berbalik, melihat Efri yang terdiam dalam kebingungannya.
"Efri!" seru Roger dengan suara keras, mencoba membangunkan Efri dari lamunannya yang gelap.
Efri terkejut, matanya tampak kosong. "Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau diam saja?" Roger bertanya dengan khawatir, merangkak dekat ke arahnya, bertanya lagi. "Apa kau tidak mau lewat jalan tikus ini?"
Efri terkejut, seolah baru menyadari keberadaan Roger di hadapannya. Dalam sekejap, dia mundur dengan cepat, menatap Roger dengan mata yang penuh kecemasan. "Jaga jarak!" serunya, dengan suara yang penuh ketegangan. Ekspresinya menunjukkan rasa takut yang mendalam, seperti ada sesuatu yang salah.
Roger merasa bingung. "Jaga jarak? Apa maksudmu?" tanyanya, tidak mengerti.
Efri hanya menggelengkan kepala, dan dengan cepat merangkak melewati Roger, berusaha menjauh darinya. "Biar aku duluan. Kau di belakang saja," bisiknya, nada suaranya kaku dan penuh ketakutan.
Roger mengerutkan kening, bingung dengan sikap Efri yang terasa aneh. Ada sesuatu yang tidak beres, namun dia memilih untuk diam. Dengan tubuh besarnya, dia tahu dirinya harus berada di belakang, karena plafon tersebut rawan runtuh.
Di depan, Aldo akhirnya berhasil mendekati pintu besi. Gagang pintu berbentuk lingkaran seperti stir kemudi itu terasa sangat berat. Dia memutarnya dengan sekuat tenaga, namun pintu itu sama sekali tidak bergerak. "Eric! Tolong bantu aku!" seru Aldo dengan terengah, wajahnya berkeringat.
Eric yang berada di belakang segera merangkak lebih dekat, membantu Aldo untuk memutar gagang pintu. Sementara Efri dan Roger, sudah terlihat mendekati rombongan mahasiswanya yang sudah berada di depan pintu besi pada lorong plafon.
Tiba-tiba, langit-langit plafon yang rawan rapuh itu bergetar hebat, seperti ada sesuatu yang berat bergerak di dalam sana. Sebuah suara geraman juga terdengar mengerikan dari arah belakang mereka. "Kenapa plafon ini bergetar?" tanya Eric dengan suara parau, saling bertukar pandang dengan Aldo.
Sebelum ada yang bisa menjawab, Roger menoleh, matanya menyipit. Ada sesuatu yang tidak beres. Suara geraman semakin keras, dan dengan itu, plafon yang sempit semakin bergetar.
"Efri, cepat! Senter!" teriak Roger, melangkah mundur, menatap ke belakang dengan cemas. Efri segera menyalakan senter ponselnya, menyinari lorong gelap yang semakin penuh dengan bayangan. Di ujung sana, muncul tangan-tangan berkulit busuk yang merayap perlahan, menggapai langit-langit dengan kuku-kuku tajam mereka. Tak lama kemudian, kepala-kepala zombie mulai muncul, Mely dan Reza, wajah mereka hancur, terdistorsi, dan penuh dengan darah memantulkan cahaya ponsel yang dipegang Efri.
Efri dan Roger terkejut, teriakan mereka serentak bergema. "Cepat buka pintunya!" teriak Efri, suara penuh panik. Aldo dan Eric menggigit bibirnya, berusaha keras membuka pintu itu, memutarkan gagang pintu dengan seluruh tenaga mereka.
"Eric, cepat! Kita harus membuka pintu ini!" teriak Aldo, wajahnya penuh keringat dan ketegangan.
Zombie Mely dan Reza semakin mendekat, hanya beberapa meter lagi. Dan satu per satu, zombie lainnya, naik ke atas plafon yang tidak tahu seperti apa cara mereka bisa naik ke atas. Mely dan Reza merayap mendekat, wajah pucat mereka terpelintir dalam kelaparan yang tidak terpuaskan.
Efri dan Roger, terpaksa menendang zombie-zombie yang mendekat dengan gerakan terbatas di dalam plafon yang sempit. Zombie itu terhuyung, tetapi bangkit kembali dengan gerakan yang lebih lincah dari yang mereka kira.
Akhirnya, dengan suara keras, pintu besi itu berhasil terbuka. Aldo dan Eric langsung melompat keluar terlebih dahulu. Sesaat kemudian, Chaca yang sudah ketakutan dan hilang akal mendorong tubuh Rossa ke dinding penyangga plafon dengan kasar, ingin keluar duluan.
"Awas! Biar aku duluan!" teriaknya, wajahnya penuh ketakutan. Chaca melompat keluar dengan terhuyung-huyung, mendarat sempurna di ambang pintu tangga darurat.
Rossa yang terpelanting karena dorongan kasar itu mengerang kesakitan. "Aawww," gumamnya, terkejut dan sedikit bingung. Lina dan Erin segera membantu Rossa untuk bangkit.
"Rossa, sabar ya. Chaca memang egois seperti itu," kata Lina, menenangkan Rossa.
Tiba-tiba, Alvin, yang sudah hendak melompat setelah Chaca, berteriak dengan keras. "Hei, cepat turun! Zombie di belakang semakin banyak!"
Tiga wanita itu menoleh ke belakang, matanya membelalak kaget ketika melihat Roger dan Efri tengah bertarung melawan zombie yang semakin banyak, tubuh mereka sudah terpojok di plafon yang sempit. Tanpa berpikir panjang, mereka melompat satu persatu, dibantu oleh Alvin, Aldo, dan Eric yang sudah berada di bawah, di depan ambang pintu tangga darurat.
Sementara itu, Roger yang hampir kehilangan tenaga berusaha melawan, menendang kepala Reza. Namun, tendangannya meleset, dan Reza dengan gesit menangkap kakinya. Tanpa aba-aba, Reza menggigit kaki Roger hingga tembus ke dagingnya. "Aarrgh!" Roger menjerit, tubuhnya semakin lemas. Efri melihat itu, segera menghentakkan kakinya ke dada Reza, membuat zombie itu terhuyung mundur dan menabrak zombie Mely serta zombie lainnya.
"Roger, bertahanlah!" seru Efri, menarik tubuh Roger yang begitu berat untuk dibawa menuju pintu besi yang hampir tertutup.
Roger yang terluka parah hanya bisa merintih, menahan rasa sakitnya. Efri, dengan sekuat tenaga, melompat dan menuruni anak tangga darurat. "Roger! Ayo turun!" teriaknya dengan suara penuh harapan. Roger, yang masih merasakan sakit akibat gigitan itu, menoleh dan tanpa ragu melompat mengikuti Efri. Suara lompatannya menggema keras, membuat zombie yang ada di lantai bawah semakin cepat mendekat.
"Lari! Lari! Ke atas, ke arah pintu itu!" teriak Aldo, menunjuk ke arah pintu rooftop yang semakin terlihat jelas di depan mata.
Semua berlari dengan panik, menyusuri tangga darurat dengan cepat, mencoba menghindari zombie-zombie yang semakin mendekat. Sementara itu, Roger yang kesulitan untuk berdiri mulai pasrah, merasa tubuhnya semakin lemah. Namun Aldo yang sudah berada di depan pintu berbalik, hendak membantu Roger.
Rossa yang melihat kekasihnya ingin berbalik, segera menarik lengan Aldo dan menahannya. "Jangan!" serunya, dengan nada cemas. "Jangan berputar balik! Sebaiknya kamu buka pintu ini!"
"Rossa, pintu ini siapa saja bisa buka. Tapi aku harus bantu Roger!" balas Aldo dengan suara rendah, melepaskan tangan Rossa dengan lembut. Tanpa menunggu, Aldo berlari kembali ke arah Roger, yang akhirnya dibantu oleh Efri untuk berdiri dan melangkah dengan susah payah.
Rossa berdecak kesal, namun dia tahu sudah tidak ada waktu lagi. Eric yang sudah berada di pintu rooftop, berteriak sambil membuka pintu tersebut. "Ayo! Masuk sekarang!"
Alvin, Chaca, Erin, Lina dan Rossa telah berhasil masuk lebih dulu. Sementara Eric, menunggu di ambang pintu, berharap Aldo serta kedua dosennya berhasil naik menuju pintu rooftop.
Sementara itu, di anak tangga darurat, Efri menarik tubuh Roger yang lemas. Namun, zombie yang muncul dari atas plafon dengan pintu besi yang hampir tertutup rapat, melompat ke arah mereka. Namun Aldo yang baru tiba, segera membantu menarik, menyeret tubuh Roger dan Efri.
"Awas!" teriak Aldo dengan cemas, dan mereka berhasil menghindari beberapa zombie tersebut. Tanpa menunggu lebih lama lagi, mereka melangkah ke atas anak tangga, menuju ke ambang pintu rooftop.
Zombie-zombie yang ada di lantai bawah pada jalur anak tangga darurat terus berdatangan. Mereka merayap mendekat, berusaha menerjang tubuh Aldo, Efri dan Roger.
Tanpa ragu, Aldo menendang beberapa zombie itu yang melompat dengan cepat, melemparkan tubuhnya ke bawah. Efri dan Aldo terus bergerak bersama, menyeret tubuh Roger hingga akhirnya mereka mencapai ambang pintu rooftop.
Sementara Eric yang menunggu di ambang pintu, berteriak kencang, matanya terfokus pada mereka yang mulai sampai di ambang pintu rooftop. "Cepat!"
Dengan langkah tergesa-gesa, dan segala tenaga yang tersisa, Roger, Efri dan Aldo melompat ke dalam, merasakan tubuh masing-masing mendarat dengan keras pada lantai rooftop. Eric segera menutup pintu itu dengan suara keras, menghalangi para zombie yang hampir tiba di depan pintu.
Sekarang, mereka semua berada di rooftop, dan bisa bernapas lega sejenak. Namun, Roger yang masih meringis menahan rasa sakit, perlahan bangkit, tapi wajahnya mulai memucat. Darah yang mengalir dari lukanya menunjukkan bahwa harapannya untuk bertahan semakin menipis. Dalam pikirannya, dia tahu jika luka gigitan itu, akan membuat dirinya bisa berubah menjadi zombie yang pernah dia lawan.
Cemas, Roger melangkah dengan gerakan terseok-seok ke sudut rooftop, menghindari tatapan siapapun. Sesampainya di sudut, dia terdiam, menatap langit, sejenak menurunkan pandangannya ke bawah pada halaman kampus yang kini di penuhi zombie.
"Apa... apa aku akan menjadi seperti mereka?" gumamnya, bertanya pada diri sendiri. Namun, di dalam hati kecilnya, dia berharap cairan hijau yang semalam dia minum, yang dicuri dari saku Alvin melalui bantuan Rossa, dapat menyelamatkannya.
Dengan napas terengah-engah dan tubuh yang gemetaran, tiba-tiba Roger merasakan dadanya sakit, serta hidungnya mengeluarkan darah segar dan pandangannya juga menjadi bayangan merah, seperti yang sudah dia rasakan saat dirinya menelan cairan hijau tersebut.