Mr. Arogan Suamiku

Vivian segera mengambil karter itu dan ia kemudian dengan cepat melangkahkan kakinya ingin masuk kekamar mandi namun Gemal segera menarik kaki Vivian membuat Vivian hampir terjatuh. Vivian dengan cepat menggoreskan karter itu dipergelangan tangannya membuat Gemal segera berdiri dan ia mememukul tangan Vivian hingga karter itu terlepas dari tangan Vivian. Gemal melihat darah menetes dan dari tangan Vivian dan ia menggenggam pergelangan tangan Vivian agar darahnya tidak banyak keluar.

Gemal tidak mengatakan apapun ia menarik Vivian agar mengikutinya dan Gemal membuka ranselnya dengan sebelah tangannya dengam cepat. Ia mengambil kotak obat yang selalu ia bawa dan mendudukkan Vivian di sofa. Vivian terlihat ketakutan melihat Gemal yang diam saja namun cengkraman tangan Gemal membuat Vivian meringis.

"Sakit?" tanya Gemal membuat Vivian menganggukkan kepalanya.

"Berhenti menjadi orang bodoh Vian!" teriak Gemal membuat Vivian meneteskan air matanya karena ketakutan.

"Gemal membersihkan luka Vivian dengan menyiram cairan dipergelangan tangan Vivian. Ia menghembuskan napasnya lega karena untung saja luka yang ada dipergelangan tangan Vivian, tidak dalam dan tidak mengenai urat nadi. Gemal mengoleskan obat dengan hati-hati dan ia kemudian menjahitnya.

Vivian mengigit bibirnya dan ia menundukkan kepalanya. Setelah selesai menjahit, Gemal menutup luka Vivian dengan kasa. "Apa kau pikir ini jalan yang terbaik untuk hidupmu?" tanya Gemal.

"Maaf..." lirih Vivian.

"Aku tidak butuh maaf darimu Vian. Kau benar-benar membuatku kecewa. Jadi dengan melakukan hal ini kau lari dari masalah? kau ingin aku memasukanmu ke Rumah sakit jiwa?" tanya Gemal.

Vivian menggelengkan kepalanya. "Jangan Kak, maaf."

Gemal mengangkat wajah Vivian agar menatap matanya dengan tajam membuat Vivian menatap Gemal dengan nanar. "Kau pikir hidupmu itu hanya milikmu hmm?" tanya Gemal, ia memegang rahang Vivian membuat Vivian bisa melihat jika Gemal sangat marah saat ini. "Kau punya keluarga, kalau orang tuaku dan Kakek tahu apa yang kau lakukan saat ini kau akan membuat hati mereka terluka. Bahkan Kakekku bisa saja sakit karena memikirkan tindakan bodoh yang kau lakukan!" ucap Gemal.

"Kalian tidak memperdulikan aku dan aku tidak memiliki siapapun. Lebih baik aku...hiks...hiks..." ucap Vivian terisak membuat Gemal murka.

"Jika Kakek tidak memikirkanmu dia tidak akan menjodohkanmu dengan Kak Guna. Dia akhirnya menerima pernikahan Ayunda dan Guna karena aku yang bersedia menikahi kamu. Apa kamu lupa? betapa keluargaku memperhatikanmu," ucap Gemal.

Tapi tetap saja Kakek akan membenciku jika tahu aku bukan anak orang tuaku Kak. Aku hanya anak pungut.

"Besok kau perlu ke psikiater!" ucap Gemal.

"Aku tidak mau!" tolak Vivian.

"Kau harus mau Vian, saya sendiri yang akan menemani kamu kesana!" ucap Gemal. Gemal tidak ingin depresi yang dialami Vivian akan bertambah parah.

"Aku janji ini teakhir kalinya aku membahayakan diriku!" janji Vivian.

"Apa kau pikir aku akan percaya?" tanya Gemal dingin.

Vivian berlutut dikaki Gemal. "Vian mohon percaya sama Vian Kak! Vian janji..." ucap Vivian.

Gemal membantu Vivian untuk berdiri dan ia kemudian memeluk Vivian dengan erat "Kali ini saya percaya padamu. Apapun masalah yang kita hadapi kamu harus berjanji tidak akan menyakiti dirimu sendiri!" ucap Gemal.

Vivian menganggukan kepalanya "Iya, aku janji Kak!" ucap Vivian.

Gemal yang sangat emosi mencoba meredam rasa marah dan kecewanya kepada sosok rapuh yang saat ini ia peluk. Gemal mengangkat tubuh Vivian keatas ranjang dan membaringkannya dengan pelan. Vivian menatap wajah tampan yang dingin itu dengan takut namun entah mengapa saat sentuhan tangan Gemal menyentuh pipinya membuatnya merasa nyaman.

"Tidak ada yang perlu kau takutkan!" ucap Gemal.

"Terimakasih Kak," lirih Vivian.

"Tidurlah!" pinta Gemal menyelimuti Vivian dan ia memilih untuk duduk ditepi ranjang dan menunggu Vivian benar-benat terlelap.