Kapan lagi baca novel bisa dapat hadiah?
Mampir yuk gaes, baca novelnya dan menangkan hadiah menarik dari Author 🥰
-------------------
"Aku akan mendapatkan peringkat satu pada ujian besok, Bu. Tapi syaratnya, Bu Anja harus berkencan denganku."
Anja adalah seorang guru SMA cantik yang masih jomblo meski usianya sudah hampir 30 tahun. Hidupnya yang biasa-biasa saja berubah saat ia bertemu kembali dengan Nathan, mantan muridnya dulu. Tak disangka, Nathan malah mengungkapkan cinta pada Anja!
Bagaimana kelanjutan kisah antara mantan murid dan guru itu? Akankah perbedaan usia di antara keduanya menghalangi cinta mereka? Ikuti kisah mereka di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Kamu
Mobil Nathan pun meluncur menuju toko furnitur. Sepanjang perjalanan, Anja tetap diam, sibuk berpikir bagaimana caranya menghadapi Nathan untuk ke depannya. Terus-terusan menghindar jelas bukan solusi, apalagi rumah mereka bersebelahan.
Setelah berpikir agak lama, Anja akhirnya mengambil keputusan. Ia akan menolak Nathan. Namun, yang jadi masalah, ia harus memberikan alasan yang masuk akal.
Oke, Anja menganggukkan kepala setelah berhasil merangkai kata-kata yang tepat di benaknya. Kali ini, ia akan menolak Nathan dengan tegas.
"Nathan," Anja menoleh ke arah Nathan yang sedang fokus menyetir. Mendengar namanya dipanggil, Nathan langsung menjawab dengan wajah cerah.
"Ya?"
"Ibu sudah memutuskan untuk menolak kamu," ucap Anja dengan mantap.
"Oh ya?" Nathan tampak tak terkejut sama sekali mendengar ucapan Anja. "Alasannya?"
"Karena Ibu nggak mau pacaran," jawab Anja, mengeluarkan kalimat yang sudah ia pikirkan dengan matang. "Di usia seperti Ibu, pacaran bukan lagi prioritas. Ibu lebih memikirkan soal pernikahan."
Kali ini wajah Nathan tampak terkejut. "Menikah?"
"Benar," Anja tersenyum puas saat melihat Nathan mulai kebingungan. "Untuk anak muda seperti kamu, mungkin wajar kalau belum terpikir soal itu. Tapi bagi Ibu, yang umurnya hampir tiga puluh tahun, hal itu sangat penting. Jadi, maaf Nathan, sepertinya Ibu harus menolak ajakanmu untuk berpacaran."
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Anja mengalihkan pandangannya ke jalanan sambil tersenyum puas. Sementara itu, Nathan tampak diam, memikirkan sesuatu.
Haha, kena kau! Anja bersorak dalam hati. Mana mungkin anak muda sepertimu mau langsung menikah? Aku yang sudah tua saja malas menikah.
Anja menyandarkan kepalanya ke kursi mobil dan menghela napas lega. Akhirnya, aku akan bebas!
"Tunggu sebentar," tiba-tiba Nathan membelokkan mobil dengan cepat. Anja yang kaget langsung mencengkeram sabuk pengaman.
"Kyaaa! Nathan! Kenapa tiba-tiba begini?!"
"Ah, maaf, maaf," Nathan berkata sambil memarkirkan mobilnya di depan ruko kosong. "Aku harus melakukan sesuatu yang penting."
Anja kebingungan, tapi ia diam saja. Ia pikir Nathan kebelet buang air atau bagaimana sampai menghentikan mobil di tengah jalan. Tapi ternyata tidak. Karena setelah itu, Nathan tidak keluar dari mobil dan malah sibuk menelepon seseorang. Wajahnya terlihat serius, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Anja hanya menangkap kata venue, gaun, tamu, sewa, tapi ia tak mengerti apa maksudnya.
Mungkin itu urusan pekerjaan, batin Anja sedikit tak peduli.
"...oh, jadi begitu ya. Sebentar, saya tanyakan dulu," Nathan menurunkan ponsel dari telinganya dan menoleh ke Anja. "Bu Anja, kita mau mengundang berapa orang? Seribu cukup?"
"Hah? Undangan? Untuk apa?"
"Untuk tamu di resepsi pernikahan kita. Ini aku sedang hubungi vendornya."
"Astaga!" Anja buru-buru merebut ponsel dari tangan Nathan. "Kamu gila? Siapa yang mau menikah?!"
"Loh, bukannya tadi Bu Anja yang bilang kita nggak usah pacaran, tapi langsung menikah saja?"
"Hah? Apa? Bukan, aku tidak mengajakmu menikah, aku hanya... Ahhh! Sudahlah! Yang penting, batalkan dulu ini!" Anja menunjuk ponsel Nathan dengan panik. Sekarang gantian Nathan yang menatap Anja kebingungan.
"Bu Anja tidak mengatakan hal itu hanya untuk menolakku, kan?" tanyanya curiga.
Ups, ketahuan. Anja langsung menutup mulutnya dengan tangan.
"Hah..." Nathan tampak menghirup napas panjang melihat reaksi Anja. "Bu Anja, sudah kubilang kan kalau perasaanku pada Bu Anja itu serius. Jadi kalau Bu Anja bilang ingin segera menikah, tentu dengan senang hati aku akan menyanggupinya."
Anja memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. "Nathan, sebenarnya apa sih yang kamu lihat dari Ibu? Padahal kamu itu ganteng loh, kamu bisa dapat wanita-wanita muda yang lebih cantik di luar sana!"
Nathan malah tersenyum lebar mendengar ucapan Anja. "Jadi maksud Bu Anja aku ganteng?"
"Hei! Bukan itu intinya!" Anja berseru kesal.
"Ya mau bagaimana lagi," Nathan mengangkat bahu. "Aku sukanya sama Bu Anja kok,"
"Ya itu dia! Apa yang sebenarnya kamu sukai dariku?!"
"Banyak," Nathan menjawab mantap. "Bu Anja itu cantik, lucu, mempesona, baik hati, perhatian, pintar, sopan sama orang tua, sabar, kalau senyum cantik banget, kalau marah imut banget, kalau—"
"Udah, udah, stop!" Anja menutup mulut Nathan dengan tangannya. "Jangan diterusin lagi!" serunya dengan wajah yang sudah memerah bak kepiting rebus. Entah kenapa, mendengar orang memujinya secara langsung membuatnya merasa malu.
"Kenapa? Aku bisa melanjutkannya sampai besok kalau Bu Anja mau," kata Nathan sambil meraih tangan Anja yang menutup mulutnya, lalu menciumnya perlahan.
Anja sontak menarik tangannya kembali. Jangan ditanya bagaimana bentuk mukanya saat ini, benar-benar sudah merah luar biasa.
"Oke, sepertinya kita harus meluruskan sesuatu," Anja berkata setelah berhasil memenangkan diri. "Dengar, Nathan, sepertinya kamu salah mengira kalau kamu mencintai Ibu."
"Apa?" Nathan memiringkan kepalanya. "Apa maksudnya itu?"
"Nathan, Ibu paham mungkin kamu merasa tersentuh dengan perhatian Ibu waktu kamu masih sekolah. Saat itu, kamu sedang melalui masa-masa sulit, dan tidak ada orang dewasa yang benar-benar hadir untukmu. Jadi, mungkin perhatian Ibu sebagai gurumu kamu salah artikan sebagai cinta." Anja mencoba menjelaskan setenang mungkin, meskipun menatap mata Nathan membuatnya sedikit gugup. "Jadi, Ibu ingin kamu memastikan lagi. Apakah perasaanmu itu benar-benar cinta? Atau hanya sekedar rasa berterima kasih?"
Nathan terdiam sejenak, tatapannya tajam ke arah Anja. "Jadi maksud Bu Anja, aku salah mengartikan perasaanku sendiri begitu?"
"Iya!" Anja mengangguk cepat. "Kamu memang jenius, Nathan. Kamu bisa langsung mengerti maksud ucapan Ibu."
"Hm..." Nathan tampak berpikir, kedua tangannya dilipat di depan dada. "Tapi, bagaimana kalau aku sudah mencintai Bu Anja bahkan sebelum mengetahui kalau Bu Anja adalah guru?"
"Apa?"
Nathan tersenyum, lalu ia mendekatkan wajahnya pada Anja. "Bu Anja, aku bahkan sudah menyukai Bu Anja sejak pandangan pertama,"
Mata Anja melebar mendengar pengakuan mantan muridnya itu. "Pandangan pertama? Itu berarti saat...”
"Saat kita bertemu pertama kali di depan gerbang sekolah," Nathan makin mendekatkan wajahnya. "Aku sudah mencintai kamu sejak saat itu."
Anja terkesiap. Mendengar Nathan memanggilnya dengan sebutan 'kamu' membuatnya merasakan getaran aneh dalam hatinya. Seolah-olah, pria yang selama ini ia anggap sebagai mantan murid tiba-tiba berubah menjadi sosok yang matang dan dewasa.
Anja menelan ludah saat hidung Nathan sudah hampir menyentuh hidungnya. Anehnya, Anja tak bisa menghindar, tubuhnya terasa membeku.
"Aku bahkan sudah menunggu selama tujuh tahun," tatapan Nathan beralih pada bibir Anja. "Jadi, bagaimana menurut Bu Anja? Apa benar perasaanku sekarang ini bukan cinta?"
kamu g tahu aj sebucin apa Nathan