Sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya, malam itu adalah pertama kalinya Abi membentak Zahra supaya putrinya itu menikah dengan anak Kyai Amir, Gus Afkar. Padahal Gus Afkar adalah suami incaran sahabatnya, dan dia sebenarnya berencana untuk lanjut S-2 dulu.
Setelah pengorbanannya, ia harus menghadapi sikap sang suami yang tiba-tiba berubah dingin karena setelah akad nikah, dia mendengar rencana Zahra yang ingin menceraikannya. Belum lagi, reputasi pondok yang harus ia jaga.
Mampukah Zahra bertahan diantara orang-orang yang punya keinginan tersendiri padanya? Dan akankah ia dapat mempertahankan rumah tangganya?
Zahra sang anak kesayangan keluarga, benar-benar ditempa dalam lingkungan baru yang tak pernah ia sangka-sangka sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nur Halimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Menungguku!
Zahra hanya bisa bengong, Semua ucapan orang di podium, baik itu MC maupun pemateri hanya mengambang di telinganya bahkan suara suaminya sendiri pun yang tengah duduk di sampingnya, hanya melintas lalu, tanpa ia pahami.
Ucapan Kak Adrian tapi benar-benar membuatnya hilang konsentrasi, ucapan itu terus terngiang-ngiang di telinganya.
‘Sekecil apapun harapan itu Zahra, Aku akan terus menunggumu’
Padahal dia sudah berusaha menolak dan mengingkarinya, tapi sepertinya lelaki itu benar-benar yakin bahwa ia akan menceraikan suaminya.
Terdengar sesekali tepuk tangan riuh dari para peserta temu alumni tersebut.
Terlihat Kak Adrian naik ke podium untuk memberi sambutan sebagai perwakilan alumni.
Zahra memandangnya dalam-dalam.
‘Kau berhak bahagia, Kak. Lupakan aku!’ gumam Zahra dalam hati.
“Apa kau akan terus memandangnya seperti itu, Azzahra Khairunnisa.”
Zahra sontak menoleh ke arah suaminya yang terlihat menatapnya begitu tajam itu. Ia langsung menelan air liurnya karena gugup.
Lelaki itu terlihat tidak begitu senang.
******
Gus Afkar terlihat berjalan di depannya, dari tadi lelaki itu hanya diam dengan sikapnya yang dingin.
Sepertinya lelaki itu cemburu melihat sikapnya tadi yang terus memperhatikan Kak Adrian di atas podium tanpa sadar.
“Ning Zahra!”
‘Kak Adrian.’
Zahra bingung harus menoleh atau tidak.
Belum lagi Ia memutuskan, suaminya itu telah menoleh ke arah lelaki tersebut dan meliriknya.
“Ada apa Adrian?” tanya Gus Afkar sambil menghampiri Zahra dan membalikkan badannya menghadap lelaki itu.
Dia kemudian tampak menggelayutkan tangannya di bahu Zahra, seraya melanjutkan ucapannya, “ Sepertinya istriku ini sangat lelah, itu kenapa dia tidak menoleh kepadamu tadi. Lagipula ini sudah malam, tidak baik lelaki dan wanita yang bukan muhrim berbicara.”
Suaminya itu terdengar sangat terus terang.
Jakun Kak Adrian terlihat naik turun melirik ke tangan Gus Afkar yang memegang bahu Zahra dengan begitu erat tersebut.
Tiba-tiba lelaki itu tersenyum menatap suaminya tersebut, “ Insya Allah saya tahu batasannya, Gus. Ketika batasan itu sudah tidak ada, maka saya akan kembali untuk mengambil janji saya.”
‘Astaghfirullahaladzim, Apa maksudmu Kak?’
Zahra menelan ludah memandang kedua lelaki itu yang saling menatap dengan tajam.
“Sayangnya batasan itu akan selalu ada dan aku akan pastikan itu, in sya Allah,” jawab Gus Afkar dengan nada yang begitu mantap.
Zahra meringis kecut.
“Gus ayo pulang! Aku lelah,” bisik Zahra pada suaminya itu, berusaha segera mengajak suaminya pergi dari tempat itu.
“Kelihatannya istriku sudah tidak sabar untuk pulang, kami pamit dulu Adrian!” ucap Gus Afkar kemudian mengajaknya berbalik dan beranjak dari sana.
“Tetaplah yakin pada janjimu, Zahra!” ucap ke Adrian dengan nada yang agak keras, membuat Zahra maupun suaminya terhenti sebentar.
Terdengar kemudian langkah kaki ke Adrian menjauh dari tempatnya semula.
‘Allah Karim’ gumam Zahra dalam hati sambil melirik ke arah suaminya yang terlihat melirik balik kepadanya dengan sangat tajam.
Zahra sekali lagi hanya bisa meringis kecut, dan mengajak suaminya itu terus berjalan pulang.
‘Maaf Kak Adrian! aku tidak bisa menepati janjiku waktu itu’
Tak terasa Zahra dan suaminya telah sampai di depan pintu kediaman mereka.
Lelaki itu terdengar membuka pintu dan bergumam lirih, “kok gelap sekali! perasaan tadi sudah aku nyalakan.”
Zahra langsung teringat apa yang ia persiapkan bersama Ning Alfiyah.
‘Astagfirullah! saking sibuknya aku sampai melupakan milad suamiku sendiri. Maafkan Aku, Gus!’ gumam Zahra sambil menatap dalam-dalam lelaki yang ada di hadapannya tersebut.
“Zahra….. Zahra….!” Panggil suaminya itu heran, sambil melambaikan tangan di hadapan matanya.
Zahra langsung terperanjat kaget.
Lelaki itu kemudian tersenyum memandangnya, dan menariknya masuk ke dalam rumah.
Dia lalu segera menutup dan mengunci pintu. Dipandangnya Zahra begitu dalam. Perlahan kemudian, dipegangnya kedua lengan Zahra dan didorongnya wanita itu di belakang pintu dengan lembut.
‘Apa yang hendak kau lakukan, Gus?’ pikir Zahra, namun tak mampu menguasai hasrat dalam dirinya sendiri.
Jantungnya berdegup kencang kembali, nafasnya tertahan dalam gelapnya ruangan tersebut, apalagi lelaki itu semakin mendekatkan wajahnya ke arah Zahra sembari berbisik, “ Aku sangat cemburu sekarang dan tak bisa menahan diriku.”
Cethek
Terdengar suara saklar ditekan, cahaya langsung menyeruak ke seluruh ruangan.
Terlihat mata lelaki itu membulat sempurna seperti dirinya, kemudian menoleh ke belakang.
‘Ya Allah, bagaimana mungkin kamu lupa Zahra, memalukan sekali!’ pikir Zahra langsung menutup matanya dengan sangat malu, mendapati di hadapannya berdiri adik iparnya dan ibu mertuanya yang melongo kaget.
Lelaki itu tampak menoleh ke belakang, ke arah dirinya, dengan tatapan bertanya-tanya.
Zahra kembali meringis kecut, menatap lelaki itu.
“Sepertinya kita salah waktu Ummi, dan juga salah tempat,” ujar Ning Alfiyah perlahan sambil menoleh ke arah Umminya tersebut.
Zahra mengernyitkan dahinya sambil menggeleng-geleng.
“Ya, kita pulang saja Alfiyah, kita berkunjung Besok pagi saja,” jawab Ummi Aminah sambil menarik tangan Ning Alfiyah, hendak keluar dari sana.
Keduanya masih tampak begitu terkesiap.
“Kami pamit pulang dulu—Gus, Ning,” ucap Ummi Aminah sambil menepuk bahu Gus Afkar.
“Barakallah Fii umrik, Gus!” ucapnya lirih pada anak lelakinya itu.
Dia kemudian terlihat menatap Zahra yang menunduk sambil menggigit bibirnya.
“Pintunya, Ning.”
“Hah?” tanya Zahra gelagapan dengan tatapannya yang bingung karena saking malunya, mendengar ucapan Ibu mertuanya tersebut.
“Pintunya,” ucap Ummi Aminah sekali lagi.
Zahra yang sedari tadi masih berada di belakang pintu, segera tersadar dan minggir.
Ning Alfiyah tampak membuka pintu itu dan keluar bersama umminya.
Namun belum juga pintu tersebut ditutup, Ning Alfiyah tampak kembali dengan ekspresi cengar-cengir.
Dia terlihat mendekatkan wajahnya ke telinga Gus Afkar.
Sayup terdengar suaranya yang berbisik kepada kakaknya tersebut, “Semangat, Gus!”
Lelaki itu kemudian melirik sambil melotot ke arah adiknya seraya menghardiknya lirih, “Dasar anak kecil, pulang sana!”
Neng Alfiyah segera menghindar dan terkekeh mendengarnya.
Brak
Gadis itu menutup pintu dengan sangat keras.
“Jangan Menggoda kakakmu terus!”
Samar-samar terdengar suara Umi Aminah menasehati putri satu-satunya itu, sambil melangkah semakin menjauh dari rumahnya.
Zahra menghela nafas panjang begitu lega. Tapi baru saja ia mengangkat kelopak mata atasnya, terlihat sang suami menatapnya begitu dalam sambil mengangkat alisnya ke atas beberapa kali.
“Apa?” tanyanya berpura-pura tak mengerti.
Lelaki itu segera menghembus nafas panjang dan berusaha merangkulnya.
Namun Zahra yang menyadari gelagat suaminya tersebut, segera menghindar dan berlari.
Lelaki itu terlihat berusaha mengejarnya sambil tersenyum lebar.
Gerak segera membuka pintu kamarnya dan masuk, baru saja ia Ingin menutup pintu itu, sang suami menerobos masuk dan berhasil menangkapnya dari belakang.
Zahra tertawa terbahak-bahak dalam pelukan sang suami, begitu juga lelaki itu.
Sampai kemudian keduanya menyadari apa yang ada di atas ranjang mereka.
Kelopak-kelopak mawar merah bertebaran di permukaan bed covernya.
‘NING ALFIYAH!!!’ teriak Zahra dalam hati.
“Jadi kau sudah mempersiapkan hadiah terbaik untukku.”
Deg
Jantung Zahra sontak berdetak tak karuan.