Ayu Lestari, seorang wanita yang harus rela pergi dari rumahnya saat warga mengetahui kehamilannya. Menghabiskan satu Malam dengan pria yang tidak di kenalnya, membawa petaka dan kemalangan pada Ayu, seorang wanita yang harus rela masa depannya terenggut.
Akankah Ayu menemukan siapa ayah bayi yang di kandungnya? bagaimana reaksinya saat mengetahui bahwa pria yang menghamilinya adalah seorang pria yang di kenal culun?
Penasaran kan? yuk ikuti terus kisahnya sampai akhir ya, jangan lupa tambahkan subscribe, like, coment dan vote nya. 🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resepsi
Keesokan harinya Widya sudah menyiapkan resepsi pernikahan Gibran sama Ayu yang sangat mewah juga indah di sebuah gedung ternama.
Gedung yang terkenal itu dengan luasnya berhasil menampung 10.000 orang tanpa berdesakan. Tamu-tamu penting mulai berdatangan untuk menyaksikan acara yang besar ini.
Tak lupa Gibran juga sengaja mengundang hampir satu kampung warga tempatnya keluarga Ayu tinggal. Dia ingin membuktikan bahwa istri dan anaknya akan bahagia di tangannya, tidak lagi menderita seperti dulu.
Widya dan Wiratma menyambut baik tamu-tamu kolega penting keluarga dengan sangat ramah, begitu juga keluarga Ayu mulai disanjung-sanjung oleh warga yang sempat mengolok-olok sang anak sampai mengusirnya dari kampung.
Sementara Ayu, Gibran, dan Raja sedang bersiap-siap untuk menjadi raja dan ratu di hari ini yang akan menjadi pusat perhatian semua orang juga para wartawan.
Benar saja saat acara dimulai, kedua MC terkenal dengan bayaran fantastis langsung membuka acara sesuai berdasarkan isi list yang harus dibacakan secara urut, rapi, tanpa adanya kesalahan.
Rangkaian acara pun telah dilakukan, sampai akhirnya sang MC memanggil mempelai pria dan wanita beserta sang anak untuk memasuki istananya.
Semua pandangan mata beralih pada lampu yang menyorot ke arah pintu yang terbuka sendiri bersamaan dengan munculnya Gibran, Ayu, dan Raja yang berada di tengah-tengah sambil menggandeng tangan orang tuanya.
Mereka bertiga berjalan anggun di atas karpet merah yang cukup panjang diiringi suara melodi yang sangat manis.
Senyuman Raja begitu lebar ketika impiannya memiliki keluarga lengkap telah terwujud, meskipun banyak rintangan menyakitkan yang dia lewati bersama sang ibu.
Ayu dan Gibran hanya tersenyum kecil melihat betapa antusiasnya para tamu yang terus bersorak bahagia melihat mereka.
“Wah, mereka terlihat seperti raja dan ratu yang ditemani pangeran kecil, ya. Aaa … gemes banget sih, anaknya. Pengen nyubit rasanya, boleh nggak ya, heheh ….”
Salah satu istri dari kolega Wiratman begitu memuji penampilan mereka bertiga yang telah menjadi pusat kekaguman para tamu undangan.
Akan tetapi, ada juga yang sedikit julid ketika tidak senang dengan penampilan Ayu bagaikan bidadari yang turun dari kayangan.
“Cihh, sok cantik! Beruntung banget tuh, cewek. Andai saja aku tahu Gibran bisa berubah setampan ini pasti udah lama aku deketin. Secara dia orang kaya, perusahaan di mana-mana, terkenal, juga memiliki harta yang tidak akan habis 10 keturunan. Tapi … akhh, ngeselin! Kenapa sekarang dia keren banget sih, aarrghh!” batin seorang wanita yang sempat memandang rendah Gibran.
Ya, sebagian orang sudah mengetahui status Gibran sebagai anak dari pebisnis tersohor, siapa yang tidak mengenal Wiratma dengan segala yang di milikinya.
“Lihat penampilan Tuan Gibran berbeda sekali, ya. Dia terlihat lebih berwibawa, tampan, juga cool. Beda sama dulunya yang culun, jelek, juga lugu. Andaikan aku tahu dia bisa sekeren ini, udah langsung aku ajak nikah, hehe ….” Wanita muda terkekeh bersama sahabatnya ketika matanya tak henti menatap wajah Gibran.
“Ehh, tapi di sini sebenarnya yang beruntung itu istrinya tahu, secara dia ‘kan, aku dengar-dengar orang miskin yang hidup melarat. Namun sekarang? Dia bisa menjadi istri sultan hanya karena mengandung anaknya. Sumpah, takdir sebercanda inikah mempermainkan kehidupan. Kakak gue dulu hamil sama om-om berduit malah berakhir tragis. Lah, dia? Enak banget bisa menikmati semuanya. Amal baik apa yang dia lakukan sampai Tuhan sebaik ini padanya,” ucap temannya yang merasa iri melihat kebahagiaan mereka.
Gaun cantik berwarna putih memperlihatkan bagian dada juga bahu yang mulus membuat Ayu terlihat lebih cantik. Apa lagi riasan wajah tipis semakin mempertegas kecantikan asli yang mulai terpancar jelas, sampai-sampai semua wanita merasa iri.
Sama halnya Gibran dan Raja yang mengenakan Jas berwarna putih dengan dasi kupu-kupu hitam di lehernya semakin menambah ketampanan yang tiada tandingannya.
Kemiripan wajah ayah dan anak bagaikan pinang dibelah dua. Benar-benar cetakan Gibran yang dibungkus oleh sifatnya Ayu hingga melebur menjadi satu di dalam jiwa raga Raja.
Taburan kelopak mawar merah yang jatuh dari atas gedung mengiringi langkah mereka mampu menarik perhatian para wartawan. Semua bergegas mencari posisi untuk bisa mengambil momen langka itu sebagai dokumentasi juga berita terkini yang telah disiarkan ulang.
“Jeng Sari, lihat deh, anak kita. Serasi banget ya, apalagi Raja. Anak itu benar-benar manis sekali. Sayangnya kalau udah ngomong hem … ngalahin kereta api kecepatannya hihi ….”
Widya terkekeh bersama Sari membuat Wiratma juga Satyo ikut tertawa. Kebahagiaan di wajah mereka terlihat jelas karena bisa menyaksikan hubungan Gibran sama Ayu sudah mulai terlihat perubahannya.
“Ya, begitulah, Jeng. Raja itu seperti Ayu kecil, ya, ‘kan, Pak?” Sari menoleh ke arah Satyo yang langsung menganggukan kepala, “Dulu Ayu kecil juga sangat cerewet, sekalinya dia ngomong tidak disahutin huhh … marahnya sampai mogok makan hihi … cuma beruntungnya Ayu punya Kakak kaya Dika. Dia selalu tahu cara menyenangkan hati adiknya yang ngambek.”
“Yahh … namanya juga seorang kakak, pasti tidak mau melihat adiknya bersedih, Bu. Meski Dika suka sekali jahili, Ayu. Tapi Dika juga tidak tega kalau dia tuh, cemberut aja. Cuma kadang kesel juga sih, kecerewetannya itu bikin pusing kepala hehe ….”
Kedua keluarga saling tertawa ketika mendengar kisah masa kecil Ayu yang sangat menggemaskan. Pantas saja Raja begitu pandai berbicara layaknya orang dewasa, ternyata dulu sang ibu pun melakukan hal yang sama.
Mereka menyudahi tawanya saat MC memanggil kedua keluarga untuk menemani Ayu dan Gibran memotong kue pernikahan yang begitu besar dan tinggi menjulang.
Pokoknya acara kali ini Widya benar-benar menyiapkan semuanya dengan mewah. Dikarenakan dia yakin ini akan menjadi pernikahan pertama dan terakhir bagi putra kesayangannya.
Pisau panjang bagaikan samurai dipegang oleh Gibran dan Ayu secara bersamaan, tak lupa Raja pun ikut memegangnya di atas tangan orang tuanya.
Dalam hitungan ketiga mereka memotong kue tersebut dengan susah payah sampai membuat semua orang ikut heboh.
Potongan kue pertama diberikan pada Ayu dan Gibran yang saling menyuapi satu sama lain sesuai arahan sang MC. Selepas itu mereka berdua menyuapi Raja sambil mencium pipi secara bersamaan untuk mengambil momen romantis itu dan momen tersebut tak lepas dari jepretan sorotan kamera.
Suara tepuk tangan terdengar jelas, membuat suasana acara semakin meriah. Ayu dan Gibran tak menyangka pestanya bisa sebesar ini sampai mengundang warga kampung yang ikut menyaksikan kebahagian orang yang pernah disakiti.
Setelah selesai acara potong kue, waktunya para tamu undangan untuk dipersilahkan memberikan selamat atas kehidupan baru yang akan Ayu dan Gibran jalani.
Satu persatu tamu mulai menaiki panggung untuk memberikan ucapan selamat serta doa untuk bekal pernikahan Ayu dan Gibran.
Hanya saja tak berselang lama ada tiga wanita yang sangat Ayu kenal dan hafal sekali wajah mereka, yaitu, wanita yang pernah menghinanya dan mengusirnya.
Akibat mulut sampah ketiga wanita itu Ayu harus menjalani kehidupan yang menyedihkan bersama Raja. Jika dibilang dendam dia tidak dendam. Namun rasa sakit itu telah membekas membuatnya sulit berdamai sama orang-orang bermuka dua.
“Ya, ampun, Ayu. Kamu cantik banget sekarang, pasti bahagia banget ya, sama suaminya. Mana anak kalian ganteng lagi, menggemaskan. Selamat ya, semoga pernikahan kalian langgeng. Aamin … kapan-kapan main ke rumah nanti saya buatkan makanan yang enak banget,” ucap wanita satu.
“Nahh, betul tuh, Ayu. Nanti kalau kamu main ke rumah Bu Sari kabarin kita ya, biar kita bisa bantu-bantu Bu Sari menyambut kalian. Atau kalau perlu parkir mobil kalian di rumahku saja, lebih luas ‘kan, daripada pinggir jalan nanti di maling orang berabe. Ohh, ya, sampai lupa, selamat ya, buat kalian sampai lupa hihi,” timpal wanita tiga.
“Ayu selamat, semoga segera diberikan momongan ya, biar nambah lagi. ‘Kan, orang bilang banyak anak banyak rezeki hihih, jadi harus banyak anaknya biar rezeki lancar terus. Ohh, ya, bulan depan anak saya ulang tahun loh, nanti datang ya, biar Raja bisa main sama putri saya. Pasti mereka cocok, siapa tahu aja ya, ‘kan.” Wanita kedua tersipu malu dengan ucapannya yang ingin sekali menjodohkan Raja pada putri kesayangannya.
Mendengar ketiga wanita itu berubah menjadi baik pada Ayu. Gibran hanya tersenyum remeh. Dia sudah menduga semua ini akan terjadi, maka dari itu sang suami sengaja mengundangnya.
Orang tua mereka yang menyaksikan ketiga wanita ini sedang menjilat Ayu, cuma bisa terdiam. Namun keberanian istri Gibran kembali beraksi membungkam mereka hingga tak berkutik.
“Hem, terima kasih ibu-ibu atas doa dan pujiannya yang sungguh luar biasa. Saya tidak menyangka ya, orang yang paling menginginkan saya diusir dari kampung kelahiran saya sendiri tiba-tiba berubah sebaik ini. Ck, ck, ckk … apa ibu-ibu tidak malu? Jangankan untuk mampir ke rumah kalian, menatap wajah kalian saja sudah membuatku mual. Jika harus merepotkan Bu Tita untuk membantu ibu saya masak demi menyambut kedatangan kedatangan saya, lebih baik saya sewa pembantu dari yayasan terpercaya. Toh, saya masih mampu membayar gaji pembantu 10 juta sebulan, daripada dibantu sama Anda!”
Tatapan Ayu pada Ibu Tita benar-benar tajam. Sindiran keras terhadapnya berhasil mengenai mental wanita pertama yang bersikap manis memujinya.
“Ohh, ya, buat Bu Desi terima kasih atas doanya, tapi maaf ya … saya tidak bisa membiarkan mobil mewah keluaran terbaru yang tidak bisa Anda beli itu parkir di rumah sempit yang tidak mempunyai pagar bahkan jalannya masih tanah liat. Lebih baik saya beli tanah sendiri berhektar-hektar untuk membangun rumah ibu saya agar bisa menampung 10 mobil Alphard, 5 mobil BMW, dan 1 helikopter!”
Ibu Desi membuka matanya lebar-lebar atas penghinaan yang Ayu berikan padanya. Dia tidak menyangka lidah wanita itu lebih tajam, daripada lidahnya ketika menyindir seseorang.
Senyuman di wajah Gibran, Raja, Wiratma, dan Dika benar-benar menggambarkan kebahagiaan saat menyaksikan Ayu membalas rasa sakitnya pada orang yang pernah merendahkan harga dirinya. Tak lupa kedua kakak dari Gibran beserta istrinya bersorak seraya mengacungkan jempolnya.
Sementara Widya, menatap kagum terhadap keberanian sang menantu yang patut diacungi jempol.
Berbeda sama Sari dan Satyo yang mengkhawatirkan sikap sombong Ayu karena takut keterusan yang nanti bisa membuat sang anak lupa diri.
“Dan satu lagi buat Bu Rani. Terima kasih sudah repot-repot datang ke sini sampai mengundang anak saya untuk menghadiri ke acara ulang tahun putri Anda bulan depan. Cuma maaf ya, anak saya tidak punya waktu bermain-main. Dia akan sibuk belajar karena bercita-cita ingin menjadi pria sukses dan kaya raya seperti ayahnya, tetapi hasil dari kerja kerasnya sendiri bukan bantuan orang tua. Dengan begitu dia tidak akan pernah direndahkan oleh mertuanya, apalagi jaman sekarang banyak mertua yang gila harta menjual anaknya supaya bisa hidup enak. Nyatanya? Anaknya menjadi korban keegoisan ibunya sendiri. Semoga Bu Rani tidak seperti itu, ya!”
Ketiga wanita tersebut langsung kena mental. Wajah yang awalnya manis menatap Ayu, sekarang menjadi datar penuh emosi. Sorot mata mereka tidak bisa dibohongi jika hatinya begitu terluka atas perkataan Ayu.
Tanpa berkata apa pun ketiga wanita itu pergi dalam kondisi kesal tak bisa melawan. Ayu tersenyum penuh kemenangan karena bisa membalaskan rasa sakit yang selama ini dia pendam.
“Good jobs! Aku suka caramu melawan mereka. Ini baru istriku,” bisik Gibran membuat tubuh Ayu menegang dengan pipi merona.
Semua itu tak bertahan lama saat para tamu lainnya kembali hadir untuk memberikan selamat sampai jam istirahat.
***
Malam hari waktunya para pasangan berdansa menemani Ayu dan Gibran yang mengikuti serangkaian acara sampai selesai.
Tatapan mata mereka kali ini terlihat lebih santai dan mendalam, tidak seperti biasanya yang cenderung menghindar atau menunjukkan sikap penolakan.
Irama melodi yang terdengar romantis semakin membuat mereka berdua mulai terhanyut di dalam perasaan satu sama lain.
Raja yang menyaksikan ayah dan ibunya melakukan adegan romantis menjadi cemburu. Namun Widya dengan sigap menenangkan juga menasehati cucunya sampai mengerti dan memahami kondisi Gibran sama Ayu.
Jam terus berputar hingga tak terasa acara sudah ada di penghujung waktu. Sebagian tamu yang hadir sudah pulang lebih dulu, hanya tinggal beberapa orang saja.
Saat gedung sudah kosong Dika dan orang tuanya berpamitan pada keluarga Gibran. Mereka pulang lebih dulu, barulah semuanya pulang ke rumah dengan tubuh yang cukup lelah.
Terlihat sekali wajah Ayu sudah tidak kuat menahan rasa pegal akibat gaun yang digunakan cukup berat serta heels tinggi.
Dengan sigapnya Gibran menggandeng tangan Ayu sampai masuk ke dalam mobil. Mereka hanya berdua bersama supir, sedangkan Raja bersama kakek dan neneknya di mobil depan.
Selama di perjalanan Ayu tertidur di pundak Gibran. Pria itu terus menjaga sang istri supaya tidak terbentur saking lelapnya.
Kurang lebih 1 jam akhirnya sampai juga di rumah kediaman keluarga Wiratman. Gibran berusaha membangunkan Ayu, tetapi tidak bangun juga saking lelahnya.
Terpaksa tidak ada cara lain. Gibran menggendong Ayu dengan sisa tenaga yang dia punya sampai ke kamar. Sementara Raja tidur digendong oleh Wiratma ke kamarnya bersama Widya.
Di dalam kamar Gibran meletakkan Ayu secara perlahan di ranjang, lepas itu dia menjatuhkan tubuh tepat di samping istrinya. Semua tenaga sang suami terkuras habis sampai tak terasa tertidur memeluk istrinya.
Ayu pun yang tidak sadar malah semakin nyaman dan mendekatkan diri membalas pelukan Gibran layaknya guling yang sering digunakan sebagai penghangat tubuh.
Bersambung.