Hutang budi karena pernah ditolong, seorang pria kaya berjanji akan menikahkan putrinya kepada pemuda bernama Kosim anak orang miskin yang menolongnya.
Di lain pihak istri seorang kaya itu tak setuju. Dia tak rela bermenantukan anak orang miskin dengan rupa kerap dicemooh orang desa.
Namun sang suami tak mau ingkar janji, ia menyebut tanpa ditolong orang miskin itu entah bagaimana nasibnya mungkin hanya tinggal nama.
Akhirnya sang istri merestui namun dalam hatinya selalu tumbuh rasa antipati kepada sang menantu, tak rela atas kehadiran si menantu orang miskin yang buruk rupa.
Bagaimana jadinya? Ya, "Mertua Kaya Menantu Teraniaya."
Lebih rincinya ikuti saja jalan ceritanya di buku kedua penulis di PF NToon ini.
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fendy citrawarga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Bisikan Jahat
Pastilah Amih Iah sangat senang dan saat ini juga bakal minta diantar naik ojek menemui rumah Bah Omod.
"Eh ada Bu Haji, tumben," sapa Juhri sambil menyalami Bu Haji hanya dengan isyarat menangkupkan dua telapak tangannya.
"Iya Juh. Udah pulang ngojeknya?"
"Ya Bu, baru pulang keburu capai," timpal Juhri.
Mengingat pastinya Bu Haji bertamu ke orangtuanya, Juhri tak ingin berkepanjangan berbicara dengan Bu Haji.
Juhri langsug saja permisi mau masuk ke kamarnya. Akan tetapi, tiba-tiba ditahan oleh Bu Haji.
"Sebentar Juh, sebentar," kata Bu Haji.
Juhri pun menghentikan langkah dan duduk di tempat semula. Kemudian Amih bilang akan mempekerjakan Mak Omih.
"Jadi Bu Haji ke sini mau mengajak ibumu bantu-bantu di rumah. Bagaimana menurut kamu, boleh enggak?"
Juhri memandang ibunya sebagai isyarat bahwa keputusan sepenuhnya ada di ibunya.
"Terserah Emak saja," kata Juhri pendek.
"Nah, itu jawaban Juhri Mak. Tinggal sekarang bagaimana keputusan Emak, mau enggak bantu-bantu jadi asisten?" lagi-lagi Bu Haji menyebut asisten.
"Gimana ya Bu Haji," Mak Omih tampaknya masih ragu-ragu.
Namun akhirnya Mak Omih menyatakan siap bekerja di rumah Bu Haji dengan pertimbangan utama tentu saja karena butuh uang.
Di zaman mana pun uang tidak mudah datang sendiri, melainkan harus dicari. Usaha anak bujangnya,si Juhri, tak bisa diandalkan.
Makanya Mak Omih mau menerima tawaran kerja dari Bu Haji Sajiah walau tak senang dengan sikapnya yang suka merendahkan orang lain.
"Siap Bu Haji. Tapi maaf-maaf saja ya kalau banyak kekurangan, tak selincah anak muda," ujar Mak Omih.
"Iya, iya, yang penting pekerjaan dapur kelar. Jangan datang telat. Jam lima atau telatnya pukul enam pagi sudah ada di rumah Bu Haji, pulang jam tiga sore," tukas Bu Haji memberi gambaran jam berapa jam berapanya Mak Omih bekerja.
"Ya, siap," timpal Mak Omih.
Bu Haji pun permisi kepada Mak Omih dan langsung pulang ke rumahnya menjelang azan magrib.
Keesokan harinya Mak Omih sudah mulai bekerja dengan ketentuan datang pukul 05:00 pulang pukul 15:00 sore hari dan itu diterima oleh
Mak Omih.
***
Satu persoalan sudah bisa diselesaikan oleh Amih Iah yaitu ada ART yang khusus mengurusi dapur dan masak-memasak, namun hatinya masih tetap gundah gulana karena tujuan pokoknya boleh dikatakan masih berantakan.
Ya, hingga kini Amih Iah masih ngunek-ngunek karena belum berhasil membujuk Yani kembali dan mau ditikahkan dengan anak konglomerat desa yaitu Johar,
Mimpi Amih masih tetap berambisi untuk menikahkan Yani dengan Johar dengan tujuan utama mendapat kekayaan dari Johar. Jika nanti terwujud apa yang dicita-citakannya, Amih berharap bisa menguasai atau paling tidak ikut mencicipi kekayaan Juragan Darmin.
Sayang hingga kini masih banyak ganjalan dan belum bisa diatasi. Si Oyot yang sangat diharapkan bisa menemukan keberadaan Yani dan Kosim di sekitaran tempat tinggal Mang Koyod, belum juga ada laporan.
"Ke mana tuh anak sudah beberapa hari tak ada laporan?" gumam Amih Iah tentang si Oyot, si tukang ojek "cunihin" itu.
Namun Amih berpikiran positif saja barangkali memang si Oyot belum menemukan di mana keberadaan Yani dan Kosim. Kalau sudah ketemu, masa iya tidak segera lapor. Bukankah sudah disediakan uang hadiah satu juta rupiah jika berhasil? Begitu pikir Amih.
Mengingat akan hal itu, Amih lantas jadi ingat kepada anak sulungnya di kota yang telah hidup sukses menjadi karyawan di sebuah perusahaan swasta di kota dan menetap karena punya rumah di kota, dibantu dibelikan oleh besannya dan juga Pak Haji.
Amih Iah sangat bangga dengan Toni karena hidupnya telah sukses yang diyakini betul oleh Amih bahwa kesuksesan anak sulungnya itu karena berjodoh dengan anak orang kaya yang tinggal di Desa Padasuka, desa tetangga, bukan dengan anak orang miskin seperti yang dialami oleh anak bungsunya Yani.
Amih Iah lantas mengambil HP miliknya lalu mengontak anak sulungnya itu.
"Halo, Mih? Apa kabar, sehat-sehat saja kan semuanya?" tanya Toni di seberang telepon.
"Justru Amih sedang ada masalah Ton, makanya Amih menghubungi kamu. Bagaimana keadaan kamu, Rini, dan anakmu?"
"Ada masalah apa sih Mih? Alhamdulillah kami baik-baik saja." Jawab Toni.
"Seperti yang sudah dibilang sebelum-sebelumnya, adikmu si Yani masih belum juga menuruti kemauan Ibu. Si Deni pun kini terbaring sakit," jelas Amih Iah.
"Sakit apa Deni?" tanya Toni dengan nada serius.
"Yah gara-gara makanan atau entah minuman, dia muntah-muntah," timpal Amih Iah menyembunyikan penyebab sebenarnya Deni sakit yaitu akibat mabuk overdosis.
"Kalau begitu enggak kuliah?"
"Ya tidak masih sakit, kan," ujar Amih Iah.
Kampus tempat kuliah Deni memang ada di kota yang sama dengan kakaknya Toni. Namun ketika oleh Pak Haji disuruh ikut tinggal bersama Toni, Deni memilih kos dengan teman-temannya, itu pun lebih sering pulangnya daripada di kota tekun belajar.
"Kalau bisa kamu pulang dulu, Ibu kangen, dan Deni sakit, adikmu Yani juga tidak ada di rumah."
"Lho emang kenapa Yani sampai tak ada di rumah Mih?"
"Dibawa kabur si anak orang miskin itu, Ton."
"Hus, jaga mulutnya Bu, jangan bicara sembarangan. Bagaimanapun Kosim adalah adik iparku, menantu Amih dan Bapak." ujar Toni seperti biasa menasihati ibunya.
Toni memang sejalan dengan pemikiran bapak dan adiknya Yani, sementara Deni sejalan dengan pemikiran ibunya yang belok-belok.
"Mohon kali ini kamu jangan terus belain adikmu Ton. Adikmu jelas salah jalan, mau-maunya dinikahi si anak orang miskin. Padahal ibu bersikeras mencarikan jodoh dia dengan anak orang kaya, seperti kamu kan hidup enak," kata Amih Iah lagi.
"Sudah-sudah Bu, jangan bahas itu lagi. Toni tidak bermaksud membela Yani lantas membenci Ibu atau sebaliknya. Yang Toni setujui tentu yang benar," kata Toni menjelaskan lagi atau tepatnya meluruskan pemikiran ibunya yang suka belok-belok itu.
"Emang apa yang Amih lakukan tidak benar? Apakah salah seorang Ibu menyayangi anaknya dengan harapan anaknya mendapat jodoh anak orang kaya? Kan itu buat anaknya sendiri!"
Seperti biasa kalau dilayani Amih selalu medebat siapa pun hingga yang didebat itu tak berkutik atau tepatnya bertekuk lutut atau sebaliknya Amih sendiri yang harus 'KO' seperti saat menghadapi bocil anak SMP anaknya Mang Koyod, si Fitri.
"Ya, udah mohon maaf Toni. Udah dulu ya Mih sehat selalu jaga diri baik-baik. Toni belum bisa jenguk Deni sekarang-sekarang lagi sibuk-sibuknya bekerja."
Toni akhirnya harus menutup saluran telepon tak mau belarut-larut berdebat dengan ibunya.
Tentu saja Amih sangat kecewa karena tadinya dia menyuruh Toni agar pulang dulu ke kampung. Selain Amih rindu pada cucunya, juga ingin minta bantu 'menyadarkan' Yani. Ditambah lagi Deni yang sakit.
Namun apa boleh buat ternyata Toni menutup telepon. Amih menyadari ini akibat salah sendiri yang tak bisa jaga mulut. Jika mampu bersabar, mungkin Toni takkan bersikap seperti itu.
"Yah.....harus bagaimana lagi. Sabar teruuuuus.....!" gumam hati Amih.
Amih masih terus berpikir mencari cara bagaimana mengalahkan orang-orang yang selama ini merintangi jalan meraih ambisinya menjodohkan Yani dengan Johar.
Yang paling dirasakan ganjalan utamanya adalah suaminya sendiri sebagai pangkalnya.
"Jelas, pangkal utamanya adalah suamiku sendiri," ujar Amih Iah.
"Namun bagaimana menundukkan dia? Ini yang paling sulit. Apa harus menggunakan cara lain?"
Tiba-tiba dalam benak Amih ada bisikan jahat terhadap suaminya yang dinilai sebagai pangkal utama harapannya sulit terwujud.
"Namun teralu berlebihan rasanya jika aku harus menggunakan cara jahat terhadap suamiku yang telah memberikan harta yang banyak ini," ada sisa kebajikan dalam hati Amih Iah sehingga dia buang jauh-jauh niat jahat itu.
Ketika fokus melamun, ada yang mengetuk pintu depan. Amih bergegas pergi ke depan, ketika dibuka.....
Deg!
(Bersambung)