Sudah lama menikah, tapi belum pernah merasakan malam pertama?
Mustahil!
Mungkin itu yang akan orang katakan.
Tapi, ini benar-benar terjadi pada Vania.
Saat memutuskan untuk menikah muda,Vani justru dihadapkan dengan kenyataan pahit. Suaminya tidak mau menyentuhnya sama sekali. Bahkan di malam pertama pernikahannya, Faisal meninggalkannya begitu saja.
Entah apa alasannya, Vani sendiri tak mengerti.
Tinggalkan jejaknya sayonk😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Lana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Cemburu
"kamu jangan deket-deket sama bocah itu lagi ya, Van. Aku cemburu," ucap Renan saat keduanya sudah melangkah masuk. Renan langsung saja memeluk Vani dari belakang hingga wanita itu terkejut di buatnya.
"Aku nggak deket, Pak. Kita cuma tetanggaan," balas Vani dengan sangat canggung.
Bagaimana tidak, Renan dengan tiba-tiba memeluknya, padahal kini posisi mereka tengah ada di ruang tamu. Nanti kalau ada yang melihat bagaimana?
"Pak ..."
"Bik Minah lagi ke pasar, kamu nggak usah khawatir." Seolah tahu dengan apa yang di pikirkan Vani. Renan kini malah menelusupkan wajahnya di tengkuk wanita itu meski ada kain tipis yang menutupinya.
"Ada Pak Satpam dan suami Bik Minah, bagiamana kalau mereka lihat kita? Aku takut, Pak!" tegas Vani sekali lagi. Ia hanya tidak ingin di anggap jadi wanita gampangan yang sedang merayu majikannya sendiri.
"Mereka nggak mungkin ke sini. Kenapa harus takut?" Renan begitu menikmati moment itu. Tak peduli di luar matahari sudah mulia meninggi, dan seharusnya ia segera memacu kendaraannya menuju rumah sakit.
"Lima menit, abis ini aku berangkat." Lagi-lagi Renan berbisik pelan. Vani hanya mampu membisu dan membiarkan laki-laki itu terus memeluknya.
Renan benar-benar melepaskannya setelah lima menit berlalu. Laki-laki itu pamit dan melangkah lagi ke luar rumah. Sedangkan Vani, ia harus berkali-kali menyadarkan dirinya sendiri bahwa yang ia lakukan salah. Tapi, kenapa ia tidak sanggup menolaknya.
Renan begitu menunjukkan perasaannya pada Vani. Apalagi tadi saat melihat Bagas yang mengantarnya sampai depan gerbang, bahkan Renan terang-terangan menunjukkan wajah tidak suka.
"Kamu boleh pergi. Vani udah aman kok!" usir Renan secara halus pada bocah berseragam putih abu-abu tadi. Tapi apa tanggapan Bagas, nampaknya bocah itu sama sekali tidak tahu bahwa saat ini lelaki di depannya tengah terbakar cemburu.
"Om, aku nitip Mba Vani ya?" Bocah itu terlihat sok akrab sekali. Vani hanya mengulum senyum mendengar panggilan Bagas untuk Renan.
"Om ...? Astaga, kenapa terdengar lucu begini sih?! Dan lihat, Pak Renan kelihatan kesal." Vani hanya menggeleng menyaksikan dua lelaki berbeda usia itu.
"Saya bukan Om kamu yah!" tegas Renan menunjukkan protes pada laki-laki muda itu. Wajah Renan berubah masam, bahkan sejak pertama kali melihat Vani datang bersama Bagas.
"Iya, iya, maaf, Pak."
"Makin ngawur aja tuh bocah," bisik Vani dalam hati.
Renan menggeleng pelan mendengar panggilan dari bocah di depan sana. "Udah, nanti kamu telat. Ngapain masih di sini?"
"Dih, Bapak galak banget sih?!"
"Mba, kamu nggak pernah di omelin 'kan sama dia?" Beralih pada wanita di sebelahnya. Rasanya tidak terima saja kalau sampai bidadari pujaannya sampai di sakiti.
"Kalau dia galak, pindah kerja sama aku aja, Mba. Aku sanggup kok bayar Mba Vani tiap bulan." Ucapan Bagas makin ngawur saja.
Renan langsung melotot mendengar tawaran yang di berikan untuk Vani.
"Pak Ren baik, Gas. Dia nggak galak kok." Suasana yang tadinya hangat perlahan sedikit memanas oleh ucapan Bagas tadi. "Udah ya, kamu berangkat gih, Mba takut kamu telat."
Vani cepat-cepat mengusir Bagas sebelum perang dingin itu semakin tak terkendali.
"Ciyeee ... perhatian banget sih, Mba. Tapi, makasih lho, sering-sering aja kaya gitu."
Vani memutar kedua bola matanya malas. Dasar bocah, di usir malah di kiranya perhatian.
"Udah, Van. Kamu masuk aja, langsung kerja!" Sepertinya Renan sudah terbakar cemburu sampai-sampai menyuruh Vani agar segera masuk.
"I–iya, Pak."
Satpam sudah membuka pintu gerbang. Vani melangkah masuk perlahan melewati Renan yang masih berdiri menatap bocah laki-laki di luar sana.
"I Love You, Mba Vani!" teriak Bagas dari luar pagar hingga Renan sendiri melotot tak percaya di buatnya.
"Dasar, bocah edan!"
Vani kira Renan berbalik dan melangkah menuju mobil. Tapi ternyata laki-laki itu mengikutinya sampai masuk ke dalam rumah.
Dan ...
Greppp!
Tiba-tiba saja Renan memeluknya dari belakang.
.
.
.
"Neng Vani, ngapain?"
Vani tersentak kaget saat mendengar suara Bik Minah memanggilnya. Entah sejak kapan perempuan paruh baya itu pulang, tahu-tahu sudah berdiri di sebelahnya.
"Eh, Bik." Vani sedikit gelagapan menjawab pertanyaan Bik Minah. Hingga beberapa saat Vani hanya bisa bungkam dengan wajah bingung.
"Tadi Bapak nyuruh saya buat masak makan siang. Katanya Neng Vani suruh anterin ke rumah sakit," ucap Bik Minah lagi.
Vani yang baru saja ingin menjawab pertanyaan Bik Minah tadi mendadak membelalakkan kedua matanya.
"Apa, Bik, jadi Vani yang suruh anterin?" tanyanya lagi.
Vani masih ingat sekali saat pertemuan pertamanya dengan wanita itu. Wanita bernama Mika yang katanya asisten pribadi Renan di rumah sakit. Apa tidak masalah jika ia ke sana? Lantas, kalau sampai bertemu sama wanita itu lagi bagaimana?
"Neng Vani mau, kan? Duh, sebenarnya Bibik juga heran, kenapa Bapak tiba-tiba minta di anterin makan. Nggak biasanya kaya gitu," ungkap Bik Minah yang tak kalah bingung.
"Ya udah, Bik, nggak apa-apa, nanti Vani anterin."
"Beneran, Neng Vani mau anterin?" Binar matanya nampak berkaca-kaca. Sudah lama sekali majikannya itu tidak memintanya masak untuk makan siang. Bahkan Renan jarang sekali makan di rumah semenjak kepergian mendiang sang istri.
"Iya, Bibik siapin aja. Tapi, Vani beres-beres dulu nggak apa-apa, kan, Bik? Nanti kalau udah siap panggil aja."
Bik Minah tersenyum sumringah mendengar jawaban Vani. Perempuan itu bergegas cepat menuju dapur, menyiapkan bahan-bahan yang akan ia masak nanti.
Vani sendiri melanjutkan langkah menuju kamar miliknya di belakang sana. Wanita itu mengganti pakaiannya dan bergegas keluar lagi untuk memulai aktivitas.
Tring!
Baru saja sampai di depan pintu, sebuah pesan baru masuk ke dalam ponsel milik Vani. Wanita itu berbalik lagi, dan meraihnya dengan cepat.
Nama Renan tertera sebagai pengirimnya.
[Nanti kamu yang anterin makan siang ya, Van?]
Vani jadi gugup sendiri padahal hanya pesan yang di kirimkan laki-laki itu. Bagaimana nanti jika ia benar-benar datang ke sana?
[Iya, Pak. Tapi, saya kerja dulu.] balas Vani singkat.
[Iya. Aku tungguin kamu, love You.] Di belakangnya berderet gambar hati.