NovelToon NovelToon
Debaran Hati

Debaran Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Semarak Heboh

Naura dan keluarganya kini berada di titik terendah. Setelah rumah kontrakan mereka hangus terbakar, kini Pak Harjo, pemilik kontrakan, menuntut ganti rugi. Hati Naura hancur, ia sudah menjelaskan berulang kali bahwa semua ini ulah Fathia, namun Pak Harjo tetap bersikeras.

"Naura, saya tidak punya pilihan lain," ujar Pak Harjo dengan nada berat, menatap puing-puing rumahnya. "Jika kalian tidak bisa membayar ganti rugi, saya terpaksa harus melaporkan kalian ke polisi."

Ancaman itu bagai petir di siang bolong bagi Naura. Ia sudah tidak punya apa-apa, dan kini terancam penjara atas perbuatan yang tidak ia lakukan. Marcella, yang masih histeris dalam gendongan Naura, semakin menangis kencang seolah merasakan ketakutan ibunya.

Di sisi lain, Fathia yang tak puas melihat Naura masih 'bebas', semakin mendekat dengan senyum licik. Ia berdiri di samping Pak Harjo, berbisik-bisik, menghasut dengan lebih kejam lagi.

"Benar itu, Pak Harjo! Penjarakan saja dia! Dia itu biang masalah! Dia tidak pantas hidup tenang!" bisik Fathia, matanya memancarkan kegembiraan melihat penderitaan Naura.

Haryati, yang mendengar hasutan Fathia, sudah tidak bisa menahan diri. Amarahnya meluap-luap. Ia sudah muak dengan tingkah keponakan iblis ini.

"Fathia! Dasar setan! Apa maumu sebenarnya?! Sudah cukup kamu menghancurkan hidup anakku!" teriak Haryati, wajahnya memerah padam. Tanpa pikir panjang, Haryati menerjang ke arah Fathia dan langsung menjambak rambutnya dengan brutal.

"Aduh! Lepaskan! Sakit!" teriak Fathia, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Haryati.

Pertengkaran sengit kembali pecah. Haryati dan Fathia saling dorong, menjambak, dan menendang. Suasana di sekitar puing-puing rumah yang terbakar menjadi sangat ricuh dan heboh.

Mendengar keributan itu, para ibu-ibu tetangga yang tadi sudah berangsur bubar, kini kembali datang dengan raut girang dan antusias. Mereka bersorak-sorai, beberapa bahkan tertawa geli, menikmati tontonan gratis yang tak terduga.

"Wah, mulai lagi nih! Makin seru!" teriak salah seorang ibu, ponselnya sudah siap merekam.

"Hajar terus, Nek! Jangan kasih kendor!" timpal yang lain, seolah sedang menonton pertunjukan gulat.

Pak Harjo, yang tadinya fokus pada ancaman untuk Naura, kini kembali pusing melihat perkelahian itu. Ia mencoba melerai, namun Haryati dan Fathia sudah terlalu kalap. Naura hanya bisa terisak, memeluk erat Marcella, menyaksikan semua kekacauan ini. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, ia terancam dipenjara, di sisi lain, ibunya terus-menerus terlibat keributan karena ulah Fathia. Hidup mereka terasa seperti neraka yang tak berujung.

****

Setelah pertemuan yang cukup tegang di rumah mewah orang tua Agus, Maira dan Subakri, Debby pulang dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, pertemuannya dengan calon mertua tidak berjalan mulus karena perbedaan usia yang mencolok. Namun, beberapa hari kemudian, Agus datang dengan kabar yang melegakan sekaligus membebani.

"Mbak Debby, orang tuaku... mereka mau menerimamu," kata Agus, senyum tipis di bibirnya.

Debby merasakan jantungnya berdebar, napasnya tertahan. "Benarkah, Agus? Syukurlah!" Rasa lega membanjiri dirinya.

Namun, senyum Agus memudar. "Tapi ada syaratnya."

Debby mengerutkan kening. "Syarat apa?"

"Aku harus kembali tinggal di rumah," jawab Agus, nada suaranya terdengar berat. "Mereka bilang, kalau aku serius denganmu, aku harus kembali ke rumah dan lebih fokus pada bisnis keluarga."

Wajah Debby berubah. Ia menatap Agus, menangkap raut keberatan yang jelas di wajah pemuda itu. Agus yang ia kenal adalah pribadi mandiri, yang memilih jalannya sendiri sebagai barista meski lahir dari keluarga kaya. Kembali ke rumah berarti melepaskan kebebasannya, meninggalkan pekerjaannya yang ia cintai.

"Agus... kamu keberatan, kan?" tanya Debby pelan, hatinya tidak enak. Ia merasa tidak adil jika Agus harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi dirinya.

Agus menghela napas. "Sejujurnya... iya. Aku sudah lama tidak tinggal di sana. Aku ingin mandiri." Ia terlihat gusar, mengusap rambutnya. "Hubunganku dengan Ayah memang tidak selalu baik soal ini. Dia selalu ingin aku mengikuti jejaknya, tapi aku ingin membangun jalanku sendiri."

Debby memperhatikan gelagat Agus. Ia bisa merasakan ada ketegangan yang mendalam antara Agus dan kedua orang tuanya, jauh sebelum dirinya hadir. Perasaan tidak nyaman itu semakin kuat. Bukan hanya soal perbedaan usia dan status, tapi juga dinamika keluarga Agus yang rumit. Hubungan Agus dengan Subakri dan Maira sepertinya tidak seharmonis yang ia kira.

"Tapi... kenapa mereka menjadikan itu syarat?" tanya Debby, mencoba memahami.

"Mereka ingin aku kembali ke jalur yang menurut mereka benar," jawab Agus, nadanya getir. "Dan mereka ingin aku lebih bertanggung jawab, terutama karena aku akan memiliki keluarga sendiri."

Debby ingin bertanya lebih lanjut, ingin menggali lebih dalam tentang konflik Agus dengan orang tuanya. Ia melihat beban yang ditanggung Agus, dan ia tidak ingin menjadi penyebabnya. Namun, ia menahan diri. Ia tidak ingin terkesan terlalu ikut campur atau membuat Agus merasa tertekan lebih jauh. Ia hanya bisa menghela napas, berusaha menenangkan diri.

"Aku mengerti," ucap Debby akhirnya, mencoba tersenyum meskipun hatinya terasa berat. "Jadi, apa yang akan kamu lakukan?"

Agus menatap Debby dengan serius. "Aku akan kembali ke rumah. Aku ingin bersama kamu, Mbak Debby. Dan jika ini syaratnya, aku akan melakukannya. Aku akan membuktikan pada mereka bahwa aku bisa mandiri, tapi juga bisa bertanggung jawab pada keluarga."

Debby merasa terharu sekaligus khawatir. Agus memilih mengorbankan kebebasannya demi mereka. Ia hanya berharap keputusan ini tidak akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

****

Suasana di depan rumah kontrakan Naura berubah menjadi medan perang. Haryati dan Fathia, bak singa betina yang mengamuk, terus terlibat baku hantam brutal. Rambut mereka acak-acakan, pakaian kotor oleh debu, dan teriakan saling umpat tak henti-hentinya keluar dari mulut keduanya. Mereka seolah tuli akan segala panggilan, fokus melampiaskan amarah satu sama lain.

Naura, dengan wajah pucat pasi dan air mata berlinang, berusaha keras menarik ibunya. "Ibu! Cukup! Hentikan ini, Bu!" teriaknya memohon, suaranya tercekat oleh kepanikan.

Di sampingnya, Pak Harjo, pemilik kontrakan, juga kewalahan. Ia mencoba memisahkan Haryati dan Fathia, namun keduanya terlalu kuat dalam cengkeraman amarah. "Hentikan! Ini memalukan! Jangan buat keributan di sini!" seru Pak Harjo, wajahnya memerah padam menahan frustrasi.

Sementara kekacauan itu terus berlangsung, Subeni sibuk menenangkan Marcella yang sudah histeris. Balita itu menangis tanpa henti, memeluk erat leher kakeknya, matanya terpejam ketakutan. Suara tangis Marcella yang melengking semakin menambah semarak suasana yang sudah hiruk pikuk.

Di sekeliling mereka, kerumunan warga semakin banyak. Para ibu-ibu yang tadinya hanya berbisik, kini terang-terangan bersorak. Mereka semua sibuk dengan ponsel di tangan, merekam setiap adegan baku hantam itu. Tawa mereka menggelegar, berpadu dengan teriakan heboh yang seolah menyemangati pertarungan.

"Wuhuu! Ayo, Bu Haryati! Balas terus!" teriak seorang ibu dengan gembira.

"Jangan mau kalah, Fathia! Jambak terus!" sahut yang lain, disusul sorakan riuh.

Melihat tingkah laku warga yang tidak membantu, bahkan malah menikmati keributan itu, amarah Pak Harjo memuncak. Ia menatap tajam ke arah kerumunan. "Kalian semua! Kenapa kalian bukannya melerai malah asyik menonton?! Pergi dari sini! Ini bukan sirkus!" bentaknya, suaranya menggelegar.

Para ibu-ibu itu terkejut dengan bentakan Pak Harjo. Mereka saling pandang, lalu mulai berseru kesal. "Yah, Pak Harjo! Pelit amat sih! Kan lagi seru!" protes salah seorang ibu dengan nada merajuk.

"Iya nih, Pak! Sudah nunggu lama, eh malah disuruh pergi!" timpal yang lain, ekspresinya cemberut.

Meskipun menggerutu, mereka perlahan mulai bubar, membawa serta rekaman video yang akan menjadi bahan gosip terbaru di lingkungan itu. Namun, keributan antara Haryati dan Fathia belum sepenuhnya berhenti. Naura dan Subeni masih berjuang keras menahan kedua wanita itu agar tidak kembali saling serang. Marcella masih terisak, dan Pak Harjo hanya bisa memijat pelipisnya, merasa tak berdaya menghadapi kekacauan yang tak kunjung usai ini.

1
kalea rizuky
klo ortu agus gk bs nrima ywda
kalea rizuky
lanjut
Serena Muna: terima kasih kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!