Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.
"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.
Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 19
Pesawat take off lima belas menit lebih lambat daripada jadwal yang seharusnya karena adanya kendala teknis. Kendati demikian, semua penumpang tetap menunggu dengan tertib dan sabar. Mereka mengikuti jalannya prosedur tanpa banyak omong dan ribut-ribut tidak penting, karena toh penerbangan tetap tidak akan bisa dilakukan sesuai jadwal jika kondisi tidak memungkinkan.
Di udara, menembus awan-awan tebal melewati jalur yang telah ditentukan, pesawat membawa 125 orang, termasuk cabin crew. Banyak hal terjadi selama burung besi itu berkelana—sebagian besar di kelas ekonomi.
Seorang anak laki-laki berusia sekitar delapan tahun tidak bisa diam hingga membuat air minum milik bapak-bapak usia akhir 40-an di sampingnya tumpah. Seorang pramugari bermata abu-abu mondar-mandir ke salah satu kursi milik ibu-ibu paruh baya untuk mendengarkan komplainnya. Seorang penumpang sempat terkunci beberapa menit di toilet karena kuncinya macet. Dan masih banyak kejadian lainnya.
Sore itu, kelas ekonomi sibuk sekali.
Sementara itu, di kelas bisnis, Tenggara dan Ganesha bisa menikmati waktu terbang mereka dengan lebih tenang dan nyaman. Mereka tidak pernah secara khusus meminta tiket kelas bisnis, tetapi beberapa promotor acara tidak keberatan untuk menyediakan budget lebih besar demi mendatangkan mereka.
Pada bagian itu, Tenggara cukup bersyukur. Setidaknya, dengan duduk di kelas bisnis seperti ini, dia memiliki ruang gerak yang lebih bebas untuk berinteraksi dengan Ganesha.
Biasanya, ia dan Ganesha akan terlibat obrolan seru yang seolah tak pernah memiliki ujung. Kepribadian Ganesha yang cerah selalu berhasil membuat suasana jadi meriah.
Kalau sudah kehabisan topik pembahasan, gadis itu akan cepat-cepat mencari ide lain agar penerbangan mereka tidak terasa membosankan—mulai dari bermain game offline di ponselnya, menonton serial drama lewat layar LCD yang tersedia di depan mereka, hingga mendengarkan lagu dari satu ponsel dengan berbagi earphone berdua.
Tak pernah ada kata jenuh ketika bepergian bersama Ganesha.
Hari ini, keadaannya jelas berbeda.
Sejak kedatangannya di bandara—yang sepuluh menit lebih lambat dari Tenggara—gadis itu lebih banyak diam. Ia hanya berbicara sedikit, menyahuti pertanyaan-pertanyaan dari Tenggara secara to the point, tanpa sekalipun melontarkan pertanyaan balasan.
Biasanya, ia akan terlihat cemas pada detik-detik sebelum pesawat take off dan selama menit-menit awal saat pesawat mengudara. Tapi kali ini, Ganesha terlihat bersikeras untuk tidak menunjukkan kecemasannya.
Begitu pesawat mencapai ketinggian stabil di jalur lintasan, gadis itu langsung mengeluarkan earphone dan menyumpalkannya ke kedua telinga.
Dimulai dari situlah, tembok pembatas antar dimensi itu mulai dibangun.
Tenggara sendiri tidak tahu harus melakukan apa untuk membuat keadaannya membaik. Memulai pembicaraan basa-basi setelah renggangnya hubungan mereka terasa lebih sulit ketimbang saat dulu ia pertama kali mengajak gadis itu berbicara sebagai dua orang yang benar-benar asing.
"Lo nggak akan kayak gini kalau nggak punya perasaan lebih ke dia."
Sialannya, perkataan Mathias semalam kembali berdengung di telinga—seperti mantra ajaib yang tak bisa dibantah.
Kalimat itu menghantui Tenggara, memaksa pikirannya berbelok, lalu jatuh pada sosok gadis di sampingnya yang tengah memandang jauh ke luar jendela. Tanpa sadar, ia menatapnya lekat-lekat.
Sebelumnya, ia hampir tak pernah menyadari bahwa side profile Ganesha menyimpan begitu banyak daya tarik. Mungkin karena selama ini, gadis itu tak pernah memalingkan wajah darinya.
Ganesha selalu menatap ke arahnya—menyuguhkan senyum cerah yang utuh, bersama dua bola mata cantik yang teduh.
Sementara itu, dirinya malah sibuk menatap ke arah lain. Mencari-cari sesuatu yang tak pasti, sambil memunggungi gadis itu dengan begitu angkuh.
"Oh, ya."
Ketika netranya masih menatap lekat, gadis di sebelahnya menolehkan kepala. Untuk pertama kalinya setelah bermenit-menit berlalu, tatapan mereka kembali bertemu.
Namun, sayangnya, Tenggara jelas menyadari bahwa tatapan gadis itu sudah berubah. Tak ada lagi binar-binar cerah seperti yang biasa disuguhkan ke hadapannya. Hanya terasa hampa, sebab bagian pentingnya telah hilang entah ke mana.
"Semalam gue belum sempat baca chat yang lo kirim." Gadis itu melanjutkan, melepas hanya satu earphone di telinga kiri guna melancarkan komunikasi.
Tenggara membuka mulutnya, meloloskan ahh panjang yang nyaris tak terdengar.
Tenggelam dalam kegundahannya sendiri, ia bahkan sempat lupa tentang pesan teks yang semalam ditarik kembali—dengan berat hati.
Padahal, pagi tadi, saat mendapati ponselnya masih sepi notifikasi dari Ganesha, ia sempat galau bukan main. Sampai berteriak-teriak sendiri, seperti pasien dengan gangguan jiwa.
Dan kini, saat topik itu akhirnya disinggung juga, Tenggara malah mendadak tak tahu harus mulai menjelaskan dari mana.
"Sesuatu yang penting?" tagih Ganesha.
Seharusnya kepala Tenggara naik-turun, tetapi tanpa bisa dikendalikan, lelaki itu malah menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sehingga Ganesha tidak lagi punya pilihan untuk meneruskan obrolan.
Setelah mengangguk, gadis itu menyelipkan lagi earphone yang dilepas, siap mengarungi keterdiamannya sendiri tanpa tahu bahwa laki-laki di sampingnya sedang kelimpungan setengah mati.
Nahasnya, belum sempurna earphone terpasang kembali, pesawat mengalami turbulensi. Guncangannya yang cukup hebat membuat benda kecil itu terlepas dari jepitan jemari Ganesha, jatuh menggelinding entah sampai ke mana.
Sementara bagi Tenggara, momen seperti ini adalah kesempatan untuk menarik langkah maju lebih banyak. Seluruh keberanian di dalam dirinya dikumpul, hanya untuk menggerakkan tangannya menggenggam milik Ganesha yang sudah tampak bergetar.
Seketika, kecemasan yang mulai tergambar di wajah Ganesha berubah menjadi raut kebingungan. Obsidian gadis itu menubruk milik Tenggara, mendobrak masuk seakan menuntut penjelasan mengapa sang empunya bertindak demikian.
"Everything will be alright."
Kemudian hanya sebaris kalimat itu yang mampu keluar dari bibir Tenggara. Ia bahkan tidak lagi mampu mempertahankan adu tatapnya dengan Ganesha, memilih--sekali lagi--menjadi pecundang dengan membuang muka.
Sedangkan genggaman tangannya makin kuat, sekuat tekadnya untuk meluruskan segalanya begitu pesawat mereka nanti mendarat.
Sementara Ganesha, gadis itu kembali dibuat kalut karena sikap Tenggara. Ketika dirinya sudah bertekad untuk berhenti berharap, mengapa laki-laki di sampingnya ini selalu punya seribu satu cara untuk menahannya agar tidak pergi?
......................
Entah kapan di masa lalu, Tenggara pernah mendengar seseorang berkata bahwa ada beberapa kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Sore ini, dia menemukan perkataan itu adalah benar.
Ketika dirinya dan Ganesha berjalan beriringan menggeret koper keluar dari gate kedatangan, netranya menemukan eksistensi dua manusia dengan aura yang kontras. Meskipun keduanya sama-sama melambaikan tangan, Tenggara tahu betul bahwa satu di antara mereka berkeinginan kuat untuk menerjang dirinya. Membunuhnya di tempat, kalau ada kesempatan.
Kehadiran kedua orang itu membuat Tenggara tahu bahwa kesempatannya untuk memperbaiki keadaan bersama Ganesha bisa dibilang hampir lenyap. Sebab seperti yang sudah-sudah, ia tahu Kafka dan Selena tidak akan berada jauh-jauh dari Ganesha. Mereka akan menempel, kayaknya perangko di amplop surat.
Keadaan diperparah ketika Ganesha yang semula berjalan sejajar dengan dirinya, mendadak mengayunkan kaki lebih lebar. Gadis itu menggeret kopernya dengan lebih bersemangat, berlarian menghampiri dua sahabat yang entah bagaimana ceritanya bisa menyusul ke kota di mana ia akan pentas.
Tidak punya pilihan, Tenggara menyeret langkahnya ikut mendekat. Kesuraman di wajahnya tergambar jelas, baik Selena dan Kafka seharusnya bisa melihat itu tanpa perlu ada penjelasan lebih banyak.
Namun sepertinya, keduanya pun lebih memilih untuk bersikap bodo amat. Terlihat dari gerakan kompak keduanya yang menggamit kedua lengan Ganesha dan membawa gadis itu berjalan menjauh.
Suara lembut Selena beradu dengan milik Kafka yang berat, sementara Ganesha hanya sesekali terdengar menyahut, lalu ketiganya tertawa kompak. Tanpa perlu dijelaskan pun, semua orang yang ada di sana akan tahu bahwa Tenggara dikecualikan. Bahwa ia tidak diizinkan masuk ke dalam dunia tiga sahabat itu. Bahwa ia hanyalah orang asing, outsider yang keberadaannya pun hanya seperti angin lalu.
Di area penjemputan, mobil yang disiapkan oleh pihak promotor sudah standby lengkap dengan sang sopir. Seharusnya, Tenggara menaikinya bersama Ganesha, lalu mereka akan dibawa ke hotel sebelum diantarkan lagi ke lokasi acara untuk melakukan geladi resik.
Akan tetapi, sang gadis sudah direnggut, dimasukkan paksa ke sebuah taksi bandara tanpa sempat ada prosesi perpisahan yang layak.
Untuk kesekian kalinya, yang bisa Tenggara lakukan hanya mengembuskan napas panjang. Dipersilakannya sang sopir jemputan membantunya memasukkan koper ke bagasi, lalu ia dudukkan diri di kursi penumpang depan sambil masih mengawasi taksi bandara yang Ganesha tumpangi.
Dari taksi yang kacanya diturunkan setengah, sebuah kepala menyembul keluar. Tatapan tajam menyusul bersama suara berat menggelegar berseru, "Buruan jalan, gue ngebuntut di belakang!" Yang sarat akan perintah otoriter anti-bantahan.
Tenggara tidak suka diperintah. Ia adalah Alpha untuk dirinya sendiri dan sebagian besar orang di sekitar. Namun, sore ini, ketika awan-awan kebiruan sudah mulai menyingkir tergantikan semburat oranye keemasan, dia tidak punya pilihan selain berkata lirih, "Jalan, Pak. Jangan terlalu cepat ya, supaya taksi yang itu bisa ngekor di belakang." Kepada sang sopir jemputan.
Hanya oke yang didapat, lalu mobil mulai merayap. Meninggalkan area bandara, juga secercah harapan yang sempat singgah, yang kini entah masih bisa didapatkan di lain kesempatan atau tidak.
Di sepanjang perjalanan, tak lepas netra Tenggara mengawasi taksi di belakang. Tiba-tiba berharap dirinya punya kekuatan super untuk menembus kaca-kaca mobil sehingga ia bisa melihat Ganesha dan menilik seperti apa keadaannya.
Walau pada akhirnya, semua itu sia-sia karena ia hanyalah manusia biasa.
Bersambung.....
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅