PEJUANG NIP

Andini sedikit berbeda karakter dengan Nandang. Ia lebih bar bar dan apa adanya. Jika ada sesuatu yang dia tidak suka, di situ saja dia akan berterus terang. Tanpa memikirkan akibat atau perasaan orang lain yang mendengarkannya. Baginya asalkan jalan pikirannya benar maka akan ia perjuangkan hingga orang lain setuju dengan yang ia serukan.

Nasi goreng ala Andini pun siap disantap. Dengan santainya Andini mengambil dengan porsi banyak. Dua centong nasi kedalam piringnya.

"Sini in. piringmu Nai..." perintah Andini tanpa basa basi.

"Ga.. ga usah An. Nanti aku ambil sendiri saja." Agak sungkan.

"Udah... sini in deh. Kaya sama siapa aja, malu malu gitu." Cerocos Andini yang langsung mengambil piring Naila lalu mengambil nasi dengan centongannya.

"Udah... udah An. Cukup." Pekiknya saat Andini akan mengambilkan nasi pada centongam yang kedua, sama seperti porsinya.

"Hah? ini masih pagi An. Senyum aja tuh ga cukup buat jalani hidup sampe siang nanti."

"Iya... tapi stok lemak di tubuhku juga bisa bantu kelangsungan hidupku untuk bertahan sampe siang."

"Sini ku tambah...!"

"Ga mau..."

"Itu dikit banget. Kamu UTS lho An."

"Terus kalo UTS kenapa? emang jawabnya pake nasi?"

"Ya ga gitu. Harus kuat lah, biar ga pingsan pas jawab soal." Andini terus saja bersikeras ingin menambah porsi makan Naila.

"Ga mau... segini aja pokoknya."

"Tar nyesel lhooo. Nai goreng buatanku enak lho An." Goda Andini lagi masih keukeh.

"Engga... pokoknya enggak." Naila menolak dengan nada yang tidak rendah.

"Ada apa niih, kok di meja makan ribut ribut." Nandang tetiba sudah melangkah mendekati meja makan tersebut.

"Hm... ini si Nai. Sarapan kok dikit banget. Ntar kalo pingsan pas UTS gimana?" Andini melapor pada Nandang, dan mulai mengunyah nasi goreng buatannya.

"Kamunya yang lebay Ndin. Mana ada sarapan dikit bikin pingsan. Sarapan ga perlu banyak kali, asal ada yang masuk saja." Bela Nandang pada Naila, yang ia curigai mungkin ingin mulai berdiet.

"Tuuh... kan An. Yang penting aku sarapan. Wwwweeeek." Ledek Naila pada Andini.

"Ya terserah. Aku hanya mengingatkan. Lagian nasi goreng ini enak. Awas aja ntar nyesel makannya dikit. Mana aku buatnya banyak lagi." Ujar Andini memuji masakannya sendiri.

"Sini biar kakak yang habiskan." Nandang mencuci tangan dan akan sarapan bersama.

"Euis mana? Kok ga makan bareng?" tanya Nandang yang memang tidak pernah menganggap Euis sebagai pembantu di rumah mereka.

"Euis makannya di kamar, katanya mau bareng emak." Jawab Andini menjelaskan pada Nandang.

Naila tampak menikmati nasi goreng buatan Andini, dan sungguh enak. Benar saja yang Andini katakan tadi. Pasti menyesal mengambil dengan porsi sedikit.

Naila melirik lirik pada wadah nasi goreng yang masih bersisa tadi. Sungguh, ingin minta tambah tapi malu. Misal nambah pun pasti akan menyesal.

Nandang membaca kegalauan di raut wajah gadis cinta pertamanya itu. Iseng Nandang berdiri mengambil wadah nasi tadi, lalu menyendokkan nasi ke dalam piringnya, piring Andini juga piring Naila.

Naila terperanjat, mau nolak malu. Tapi memang mau.

"Tanggung. Biar tempatnya bersih dan langsung di cuci. Rejeki ga boleh di tolak." Nandang bicara tanpa memandang siapapun. Hanya menunduk menghadap piring nasinya sendiri dan mai menyantap nasi yang masih tersisa di dalam piringnya.

Andini tertawa menang. Akhirnya Naila pun menyantap makanan dalam piringnya hingga tandas.

"Kamu takut gendut Nai, kalo sarapannya banyak?" tembak Andini masih di meja makan.

"Engga."Jawabnya singkat dan cepat.

"Heru masih nuntut kamu langsing, biar percaya diri jalan sama kamu?" Lagi lagi Andini nyeplos ga pake rehting.

"Hah...?" E... enggak." Jawab Naila agak malu. Sebab Andini ga liat sikon. Bicara soal cowok bahkan di depan Nandang.

"Kali aja dia masih minta kamu ngurangin berat badan. Ku bilangin ya Nai. Cowok kalo masih jadi pacar aja ga bisa terima kita apa adanya itu, tempatnya di bak sampah. Mending kalian putus deh, ga bakalan bahagia kamunya." Lanjut Andini yang tak peduli dengan pelototan mata Naila ke arahnya dan melirik ke arah Nandang.

"Oh... sudah punya pacar." Batin Nandang, pura pura tidak melihat Andini dan Naila, juga pura pura tidak menyimak obrolan keduanya.

"Enak aja main putus putus. Di kira cari pacar gampang apa?" jawab Naila terpaksa jujur.

"Ya... santuy kenapa? Kaya di uber apa aja. Harus banget ya punya pacar?" tanya Andini lagi.

"Ga harus sih. Tapi kayaknya seru aja gitu, ada yang ganggu di pikiran. Ga cuma bengong, kalo tugas kuliah udah selesai." Canda Naila dengan nada biasa.

"Hahaa... dasar kurang kerjaan. Pacar kita beda sih, kalo kamu Heru, dan aku sama hari. Aku cukup repot kalo lagi di kerjain oleh si hari, yang kadang tiba tiba hujan datang. Sebab, otakku selalu tertuju pada cucianku. Wkwk.. wkwkwkkk." Tawa Andini terurai.

Obrolan berakhir, bersamaan dengan cucian piring tadi sudah tengkurep di atas rak pengering. Sedangkan Nandang sudah beranjak lebih dahulu dari dua gadis itu, sembari masih menyendengkan telinganya. Ingin tau kelanjutan keterangan status kekasih Naila.

Hm... baru satu malam Nandang bahagia, bisa berduaan dengan Naula. Dan rencananya akan terus ia gencarkan aksi pendekatannya. Eh, paginya sudah patah hati, setelah tau si jantung hati sudah ada yang memiliki.

Perkuliahan aman, sore itu Nandang bisa sedikit bersantai. Memilih mengajak emak jalan jalan sore, bagi Nandang adalah sesuatu yang ia rindukan, seperti masa emak masih sehat. Yang walau repot selalu menyempatkan waktu untuk menamani mereka bermain walau hanya di sebuah taman kecil tak jauh dari kediaman mereka.

Mata Nandang tertuju pada sebuah pemandangan pasangan yang tampak berbeda genre. Yang satu masih mengenakan pakaian khas kemeja kantor. Dan yang satu lagi menggunakan pakaian olah raga, lengkap dengan jaket parasut, yang dapat membantu pembakaran lemak dengan cepat dan sempurna, begitu iklannya.

Bukan karena pakaian mereka yang berbeda yang membuat Nandang memicingkan mata memandang pasangan itu. Tapi, karena Nandang kenal gadis itu.

Gadis berpakaian olahraga lengkap itj adalah Naila. Mungkin pria itu yang sempat jadi tranding topik mereka pagi tadi di meja makan.

Dan sepertinya benar. Jika lelaki itu menuntut perubahan bentuk fisik Naila. Sebab ia duduk di atas motor memegang stopwacth. Sepertinya, laki laki itu yang menentukan kapan Naila boleh selesai atau tetap berlanjut latihan fisiknya.

Nandang memilih berbalik, dan mengajak emak pulang. Untuk menghindari kontak mata dengan Naila. Agar dia tidak malu, jika kini sedang dalam masa proses memperbaiki bentuk tubuh, menurunkan berat badannya. Yang mungkin benar, sesuai permintaan sang pacar.

Bersambung...